Koreri.com, Jakarta (13/12) — Berdasarkan dokumen yang telah dideklasifikasi oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS), pada pertengahan tahun 1960, beberapa pejuang Papua meminta agar AS mendukung gerakan Papua Merdeka dengan memberi bantuan dana dan senjata agar bisa melawan penjajahan di wilayah Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dan hal itu menjadi sebuah catatan awal lahirnya perjuangan Papua Merdeka yang telah berlangsung selama setengah abad hingga hari ini.
Pada dokumen-dokumen itu juga terdapat sejumlah bukti sejarah mengenai keluhan rakyat Papua terhadap Indonesia, pada saat perlawanan terjadi antara rakyat Papua dan pihak keamanan Indonesia dimana para pejuang nasionalis Papua berhasil menarik perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Beberapa dokumen yang dibeberkan ke publik itu terdiri dari ribuan halaman kawat diplomatik antara Pemetintah AS dan Kedutaannya di Jakarta mulai dari tahun 1960.
Sekitar 37 kotak telegram disimpan di Dewan Arsip Nasional AS di Maryland dan para peneliti sedang bekerja keras untuk bisa mempublikasikannya secara online.
Papua, yang merupakan separuh wilayah dari pulau besar New Guinea, tetap berada dibawah penguasaan Belanda setelah Indonesia melepaskan diri dari penjajahan pada perang dunia kedua.
Banyak orang Indonesia pada saat itu menyaksikan kampanye yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mencaplok Papua sebagai suatu kemenangan dari perjuangan kemerdekaan yang dilakukan.
Namun dengan budaya dan sejarah Melanesianya yang sangat berbeda dari masyarakat Asia Tenggara, orang Papua melihat Indonesia adalah sebagai bangsa penjajah.
Seluruh dunia berpaling ketika penentuan pendapat rakyat yang dilakukan secara curang terhadap 1.000 orang yang “dipilih” akhirnya memenangkan kontrol Indonesia atas Papua pada tahun 1969.
Lebih buruk lagi, Belanda yang sebelum aneksasi telah mempersiapakan pemerintahan Papua, juga tidak keberatan dengan keputusan tersebut.
Pemerintah AS, yang pada 1967 menolong Freeport, sebuah perusahaan tambang asal AS mengamankan hak atas eksploitasi deposit kaya tembaga dan emas di Papua, tidak ingin menyia-nyiakan kondisi status quo yang menguntungkan bisnis AS ataupun mengacaukan para pendukung pro AS di Indonesia.
Sebuah kawat diplomatik pada April 1966 dari Pemerintah AS merekam “kefasihan dan intensitas ” Markus Kaisiepo, seorang pemimpin Papua di pengasingan, berbicara kepada seorang petinggi senior AS mengenai “betapa putus asanya rakyat Papua dibawah penjajahan Indonesia.”
Kaisiepo mengatakan bahwa rakyat Papua sangat menginginkan kemerdekaannya namun tidak memiliki kemampuan finansial ataupun peralatan militer yang diperlukan untuk “melawan penjajahan Indonesia.”
Kaisiepo, yang salah seorang anaknya juga adalah seorang pendukung kemerdekaan Papua, meminta agar pemerintah AS menyediakan uang dan senjata secara rahasia untuk membantunya dan gerakan kemerdekaan Papua.
Permintaanya ditolak AS seperti halnya pemimpin Papua lainnya, Nicolaas Jouwe, yang juga memohon hal yang sama kepada pemerintah AS dan Australia pada September 1965.
Pada dokumen-dokumen tersebut juga menunjukan bagaimana Indonesia menjarah wilayah Papua setelah berhasil dianeksasi pada 1962 yang menyebabkan jatuhnya standar hidup rakyat Papua dan memicu kemarahan dan pemberontakan seketika itu juga.
Namun, kemarahan terbesar rakyat Papua adalah penolakan Indonesia untuk mematuhi perjanjian dengan Belanda yang disupervisi PBB dan difasilitasi oleh AS, dimana perjanjian itu memberi mandat bahwa Papua akan memutuskan sendiri nasibnya dalam sebuah referendum apakah akan tetap bersama Indonesia atau menjadi pemerintahan sendiri dikemudian hari.
Menurut kawat diplomatik pada April 1966 mengutip informasi yang disampaikan Kaisiepo, setelah pasukan perdamaian PBB meninggalkan Indonesia, secara sistematis terjadi penjarahan besar-besaran terhadap fasilitas umum dan barang hasil jarahannya dikirimkan ke Jakarta.
Rumah sakit yang dibangun semasa pemerintahan Belanda, mengalami penjarahan termasuk tempat tidur, peralatan X-ray dan obat-obatan.
Selain itu, meja belajar dijarah dari sekolah-sekolah yang ada dan tentara mencuri “barang berharga” dari rumah-rumah penduduk Papua.
Kawat diplomatik lain mengatakan bahwa misionaris asal AS yang bekerja di Papua mengambarkan berkurangnya stok makanan dan bagaimana pegawai Indonesia membeli habis bahan pokok dan mengirimkannya keluar Papua untuk keuntungan semata.
Ketika pengapalan bahan kelontong dan makanan tiba di pelabuhan, barang-barang tersebut langsung dirampas oleh pasukan Indonesia.
Victor Yeimo, seorang petinggi gerakan pro kemerdekaan KNPB mengatakan bahwa dokumen-dokumen itu sangat penting sebab menyediakan bukti kejahatan terhadap orang Papua oleh militer Indonesia dan juga peran AS dalam menghambat penentuan nasib sendiri rakyat Papua.
Secara administratif, Indonesia telah membagi wilayah yang tadinya adalah Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat, namun orang Papua tetap berpegang pada satu nama yakni Papua Barat.
“Informasi yang didapat dari dokumen-dokumen ini menunjukan dunia dan generasi saat ini bahwa AS dan Indonesia telah secara lama bekerja sama dalam menyembunyikan kebenaran ini. Kepentingan ekonomi dan politik memainkan peranan penting dalam penjajahan Papua Barat. Kami, Orang Papua, telah dijagal sejak Indonesia memasuki tanah kami dan hingga hari ini. Dan kami tidak melihat adanya keadilan sampai dengan hari ini,” kata Victor Yeimo.
Orang Papua bukannya tanpa pendukukung di Kedutaan Besar AS, namun pandangan para pendukung Papua tersebut tidak berhasil menang.
Pada Agustus 1965, seorang petugas politik kedutaan bernama Edward E. Masters merekomendasikan departemennya untuk membocorkan peningkatan kekerasan terhadap Indonesia di wilayah Papua kepada lembaga pers dunia.
Tanpa adanya publisitas, orang Papua akan menderita “penaklukan kolonial yang sempurna” oleh Indonesia, tulisnya pada sebuah kawat untuk memperingatkan.
Mengutip peran AS dalam melakukan negosiasi perjanjian 1962 antara Belanda dan Indonesia, Masters menulis “kami tampaknya memiliki sebuah tanggung jawab penting untuk memastikan bahwa semua kesepakatan terkait perjanjian tersebut yang mewakili harapan orang Papua, harus dihormati dan ditaati.
Sebaliknya, menurut sebuah kawat diplomatik lain yang ditulis Duta Besar Marshall Green, Ia menggambarkan orang Papua sebagai masyarakat “jaman batu.”
Pandangan mereka “sangat terbatas” dan menurut kabel tersebut, orang Papua tidak mampu membuat keputusan untuk mereka sendiri di masa yang akan datang, dimana pernyataan ini bertentangan dengan penilaian yang dilakukan terhadap duta-duta Papua yang menyuarakan harapan untuk merdeka.
Kata kekerasan kembali meningkat dan mulai bocor keluar Papua, yang dimulai pada Maret 1965, ketika misionaris AS mengunjungi Jakarta dan petugas kedutaan menyadap informasi dari militer Indonesia.
Pada Juni 1965, pemberontak melakukan serangan dengan skala penuh ke pos pemerintahan Indonesia di Wamena yang menyebabkan terbunuhnya sekitar 12 tentara Indonesia dan beberapa orang papua lainnya.
“Jumlah orang Papua yang terbunuh tidak diketahui tetapi sebuah informasi menggambarkan hal itu sebagai pembantaian massal karena hampir seluruh senjata yang digunakan oleh orang Papua di daratan tinggi tersebut hanya pisau dan panah dalam perlawan itu,” menurut kawat diplomatik yang dikirim 2 bulan kemudian.
Dokumen yang sama melaporkan bahwa pemberontak menyerbu Manokwari, sebuah kota pelabuhan, di awal Agustus dan menguasai kota itu selama seminggu hingga dikalahkan oleh tentara Indonesia.
Pembunuhan massal yang dilakukan oleh tentara Indonesia diduga sebagai alasan gerakan Papua Merdeka melakukan serangan balasan.
Seorang misionaris asal Belanda mengatakan kepada seorang pejabat AS bahwa pemberontak telah menembak 3 prajurit Indonesia yang mengibarkan bendera di lembah dekat Manokwari di akhir bulan Juli.
“Reaksi Indonesia sangat brutal,” berdasarkan kawat yang dikirim pada September 1965.
“Prajurit melakukan tembakan membabi-buta pada setiap orang Papua yang mereka temui dan banyak orang tidak berdosa di jalan ditembaki. Hal itu menyebabkan sakit hati orang Papua yang tercipta sangat sulit untuk diobati.”
Pada tahun 1967, ada desas-desus di Indonesia dan di luar negeri bahwa ada sekitar 1.000 sampai 2.000 orang Papua dibunuh oleh Angkatan Udara Indonesia dengan menggunakan bom dari udara.
Kawat diplomatik yang dikirim pada April 1967 menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia membantah dan menegaskan bahwa sekitar 40 orang terbunuh oleh bom Angkatan Udara sebagai respon atas serangan terhadap polisi paramiliter.
Polisi yang terluka akibat serangan oleh pemberontak Papua sebanyak 2 orang.
Beberapa waktu lalu, media nasional sempat dibuat heboh oleh pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryacudu yang mengatakan bahwa aktifis yang menghadiri pertemuan pro kemerdekaan Papua di Vanuatu seharusnya ditahan pada saat kembali ke Indonesia.
ARD
Sumber: Stephen Wright | apnews.com