Cap Teroris Yang Diberikan ke TPN-PB Dapat Memperburuk Rasisme

KKB 1 bendera OPM
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) resmi ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Pemerintah Indonesia tanggal 29 April 2021 lalu

Koreri.com – Penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) mendesak agar Pemerintah Indonesia memikirkan kembali klasifikasi terorisme yang diberikan kepada TPN-PB.

Indonesia secara formal menyatakan bahwa pejuang pembebasan Papua Barat adalah teroris, dalam sebuah manuver yang diharapkan dapat memperluas peran militer dalam ruang sipil di Papua.

Namun para penggiat HAM mengingatkan bahwa rancangan baru dibawah undang-undang kontra-terorisme dapat memperburuk rasisme dan masalah HAM di Papua bersamaan dengan peningkatan peran militer di ranah sipil di wilayah Melanesia itu.

Rancangan tersebut disetujui minggu lalu bersamaan dengan peningkatan operasi militer di wilayah Papua setelah terbunuhnya seorang petinggi intelijen oleh pejuang gerilya TPN-PB.

Pada saat konferensi pers terkait kematian petinggi intelijen itu di Jakarta minggu lalu, Presiden Joko Widodo meminta dilakukannya operasi militer di Papua dan mendeklarasikan TPN-PB sebagai kelompok teroris yang sebelumnya dicap sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Seorang peneliti HAM, Andreas Harsono, mengatakan bahwa pembunuhan petinggi intelijen tersebut cukup mengagetkan dan membuat marah publik dan merupakan bagian dari beberapa kekerasan-kekerasan yang terjadi di Papua yang mengalami peningkatan sejak TPB-PB melakukan pembunuhan 17 warga sipil pekerja konstruksi pada akhir 2018 di wilayah Nduga.

Harsono mengatakan dengan memberi cap teroris kepada TPN-PB, jelas bahwa itu merupakan sebuah respon bagi siklus kekerasan yang mematikan di Papua.

Namun, ia mengkuatirkan bahwa klasifikasi teroris yang diberikan dibawah undang-undang kontra-terorisme dapat memberikan militer atau kepolisian kuasa untuk menahan para terduga lebih lama tanpa vonis, bahkan ratusan hari sebelum para terduga disidangkan, bisa meningkatan resiko terduga mengalami kekerasan dan disiksa.

Bahkan dengan cap teroris, militer atau kepolisian akan dengan mudah menahan siapa saja yang mereka anggap sebagai teroris di wilayah Papua yang aspirasi pro kemerdekaannya sangat tinggi.

“Dengan adanya dasar ini, dapat digunakan untuk memberikan kuasa yang tidak terbatas yang bisa melanggar hak-hak pribadi di Papua,” Harsono memperingatkan.

Ia mengatakan bahwa dengan menambah jangkauan militer dalam konteks mengurusi sipil yang seharusnya dilakukan oleh kepolisian bisa memberikan resiko yang serius di Papua, karena tentara tidak dididik dalam hal penegakkan hukum.

Menurutnya, sistem peradilan militer memiliki sebuah rekor yang buruk dalam investigasi dan pendakwaan terkait pelanggaran HAM oleh tentara Indonesia.

“Masalah yang selama ini terjadi di Papua adalah rasisme: rasisme melawan masyarakat dengan warna kulit gelap dan rambut keriting, dan tentunya mereka yang suka lakukan tindakan rasisme terhadap orang Papua yang berkulit gelap dan berambut keriting dan merupakan masyarakat yang dominan beragama Kristen dalam mayoritas masyarakat Muslim Indonesia adalah tentara dan polisi,” klaimnya.

Dengan memberi cap teroris tidak akan membantu dalam hal upaya menyelesaikan masalah yang berlangsung lama di Papua.

Masih menurutnya, Pemerintah Indonesia seharusnya mengakui bahwa melakukan pelanggaran kemanusiaan demi sebuah kata kontra-terorisme sebenarnya menguntungkan pihak ‘eksteremis bersenjata’ dalam jangka panjang.

Harsono mengatakan bahwa ancaman yang dimiliki TPN-PB perlu ditinjau dalam sebuah perspektif yang berbeda.

Menurut perkiraan militer Indonesia, TPN-PB hanya memiliki sekitar 200 senjata dan jumlah ini tidak banyak dan tidak signifikan sama sekali.

Tentunya mereka melakukan tindakan kriminal dengan membunuh orang dan harusnya polisi bertindak.

Tetapi dengan cap teroris, masyarakat Papua yang tinggal di pegunungan dan hutan-hutan demi menjaga tanah leluhur, hutan tradisional, budaya dan suku mereka yang memiliki tradisi membawa anak panah dan busur dalam kesehariannya, ini akan menjadi sebuah kegilaan.

“Ini jelas akan berdampak pada suku-suku asli di Papua dan merupakan sesuatu yang seharusnya ditinjau kembali sesegera mungkin oleh Pemerintah Indonesia dan jika tidak, generasi masa depan bangsa ini akan menanggung dan menyesalinya,” pungkasnya.

AND

Sumber: RNZ.co.nz

Exit mobile version