Koreri.com, Jayapura – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat Cessna Grand Caravan C 208 B EX dan Helikopter Airbus H 125 milik Pemkab Mimika kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Klas IA Jayapura, Papua, Jumat (28/7/2023).
Sidang dipimpin Hakim Ketua Thobias Benggian, SH, didampingi Hakim Anggota Linn Carol Hamadi, SH dan Andi Matalata, SH, MH dimulai pukul 14.00 WIT hingga pukul 19.30 WIT.
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengikuti sidang masing-masing, Raymond Bierre, Hendro Wasisto, Yeyen Erwino dan Viko Purnama
Sidang kali ini dengan agenda pemeriksaan dua terdakwa yang dihadirkan JPU masing-masing Johannes Rettob dan Direktur Asian One Air Silvi Herawati.
Dalam sidang kali ini, terungkap fakta bahwa tim Kejaksaan Negeri Timika (sekarang Mimika) terlibat langsung dalam proyek pengadaan tersebut yang turut menjadi sorotan.
Kuasa Hukum Imanuel Baru saat diberikan kesempatan mengajukan pertanyaan kepada Johannes Rettob.
“Kalau kemudian ketika itu saudara mengajukan ijin prinsip ke pak Bupati Eltinus Omaleng,” tanya Kuasa Hukum
“Iya benar,” jawab Rettob.
“Baik, kenapa kemudian saudara selaku Kepala Dinas perlu mengajukan ijin prinsip ke pak Bupati?” lanjut Kuasa Hukum.
“Sebagai pimpinan, saya harus laporkan kepada beliau karena ini nilai cukup besar. Walaupun kita tahu bahwa dalam pengadaan Rp100 miliar ke atas itu harus dapat ijin prinsip itu terkait dengan swakelola,” jawab Rettob.
“Baik, itu sudah ada dalam uraian yang saudara jelaskan. Artinya bahwa kalau tidak ada ijin prinsip ke pak Bupati, itu tidak boleh kah?” lanjut Kuasa Hukum bertanya.
“Kalau tidak boleh berarti saya juga tidak melaksanakan proyek ini,” jawab Rettob tegas.
“Baik, berarti saudara ajukan seperti itu. Apakah kemudian ijin prinsip yang dikeluarkan Bupati itu saudara tindak lanjuti diantaranya seperti meminta pendampingan oleh Kejaksaan Negeri Mimika?” tanya lanjut Kuasa Hukum.
“Ya, langsung kami membuat surat meminta pendampingan Kejaksaan Negeri Timika dan Kejari menugaskan tiga orang untuk melakukan pendampingan kajian teknis sampai pesawat dan helikopter tiba di Timika,” jawab Rettob lugas.
“Yang saudara terdakwa cerita ini benar ya?” tanya Kuasa Hukum.
“Iya, benar,” tegas Retob.
“Saudara urus pesawat kenapa minta pendampingan dari Kejaksaan?” lanjut Kuasa Hukum bertanya.
“Untuk persoalan administrasi, jangan sampai hal-hal atau dampak hukum seperti yang terjadi saat ini,” jawab Rettob.
“Tapi sekarang sudah terjadi masalah hukum ini bagaimana? Saudara terdakwa kenapa harus bawa instansi yang tidak ada hubungan dengan pesawat?” Tanya Kuasa Hukum.
“Saya juga tidak mengerti,” jawab Rettob.
Johannes Rettob yang dikonfirmasi terkait keterlibatan Jaksa dalam proses kajian pembelian pesawat sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan, membenarkan itu.
“Jadi, kasus ini mulai tahun 2015 dari awal pada saat saya Kepala Dinas saya langsung buat surat kepada mereka (Kejaksaan) agar mereka turut mendampingi dalam proses kajian ini,” terangnya, Senin (31/7/2023).
Rettob kemudian menyebut salah satunya yang terlibat dalam pendampingan yaitu Johnny William Pardede yang kala itu menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Timika (sekarang Mimika).
“Waktu itu tim Kejaksaan ada tiga orang. Yang lain saya lupa tapi salah satunya adalah beliau (Johnny William Pardede),” tegasnya.
Rettob menegaskan, Johnny Pardede selaku Kajari Timika yang langsung memberikan pengawalan terutama dalam melakukan kajian teknis dan penyusunan kerjasama operasi dan salah satunya juga dalam penyusunan kajian teknis tentang tata cara pengadaan.
“Artinya pendampingan itu tujuannya untuk yang pertama, penyusunan kajian tentang tata cara pengadaan pemasukan dan lain-lain beliau dampingi dalam kasus itu. Terus yang kedua, penyusunan kerjasama operasi dan juga mendampingi dalam proses penyusunan pembelian proses agreement dengan luar negeri. Perjanjian pembelian,” tegasnya.
Pertimbangan Rettob melibatkan Kejaksaan karena punya alasan tersendiri.
“Jangan sampai mereka (pihak penjual) banyak menggunakan bahasa-bahasa hukum. Dulu kan belum ada TP4D, tetapi kalau biasanya ada kegiatan-kegiatan yang besar tetap kami meminta pendampingan dari Kejaksaan,” tandasnya.
Artinya, jelas Rettob, setiap kali pihaknya hendak melakukan sesuatu maka terlebih dahulu harus didiskusi terlebih dahulu.
“Diskusi terkait dengan beli, KSO, segala macam lah terkait dengan perjanjian-perjanjian. Dan itu yang paling penting karena perjanjian-perjanjian ini kan ada bahasa-bahasa hukum kan itu yang saya minta kepada mereka (tim Jaksa),” jelasnya.
Disinggung sekali lagi, soal bahasa-bahasa hukum merupakan masukan dari Jonny Pardede dan tim Jaksanya, Rettob membenarkan itu.
“Ya… ya…. bahasa-bahasa hukumlah. Nanti dibuat mereka (penjual, red) dan dikirimkan dalam bahasa Inggris kemudian saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dan kemudian saya sampaikan kepada mereka (tim Jaksa) dan diskusi dalam bahasa Indonesia. Kemudian baru kami susun kembali dalam perjanjian itu dan kami usulkan kembali. Saya usulkan kembali dalam bahasa Inggris ke sana, itu prosedur selama ini,” urainya.
Selain Tim Kejari Mimika, BPKP Perwakilan Papua juga dilibatkan.
“Orangnya saya lupa (namanya) karena sudah terlalu lama. Mereka yang merekomendasikan atau melakukan kajian teknis terkait bagaimana sewa kelola. Itukan dari mereka,” pungkasnya.
Sementara itu, Kasie Penkum Kejati Papua Aguwani, saat di konfirmasi Koreri.com melalui pesan WA dan panggilan telepon kembali tidak merespon meski nomor hp dalam kondisi aktif.
Bahkan telepon tiga kali berdering tapi tidak di jawab, WA pun cuma check-list dua namun tidak dibalas
EHO