Koreri.com, Timika – Aksi roling jabatan membabi buta yang dilakukan oleh Bupati Eltinus Omaleng serta pembagian proyek pengadaan barang jasa Pemerintah Kabupaten Mimika Tahun Anggaran 2023 dinilai merupakan kejahatan terstruktur, sistematis dan masif yang dikategorikan sebagai conflict of Interest.
Ketua Umum Perkumpulan Penggerak Aspirasi Masyarakat Minoritas Indonesia Maju (2PAM3) Antonius Rahabav melalui rilisnya kepada media ini, Minggu (24/12/2023) mengatakan, salah satu faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) adalah adanya benturan kepentingan yang merupakan suatu kondisi di mana pertimbangan pribadi mempengaruhi atau dapat menyingkirkan profesionalisme seseorang pejabat dalam mengemban tgugas.
Hal ini kemudian menyebabkan pelayanan yang memburuk di mata publik.
Kebijakan yang tidak efisien, keputusan dan tindakan yang berpotensi menguntungkan pribadi atau orang lain, serta kerugian yang ditimbulkan bagi orang lain atau negara dalam hal pengadaan barang dan jasa yang bersifat arahan Pokja yang pasang badan mengamankan kepentingan suatu mufakat jahat (kick-back) di balik implementasi Surat Keputusan Jabatan dan penentuan paket proyek.
Tentunya tindakan ini menimbulkan pertanyaan soal Integritas dari seorang pelayan publik.
Bahwa benturan kepentingan adalah situasi di mana terdapat konflik kepentingan seseorang yang memanfaatkan kedudukan dan wewenang yang di milikinya baik dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja melalui kepentingan pembisik dari dalam dan luar OPD untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni jabatan balas jasa.
Akibatnya, tugas yang diamanatkan tidak dilaksanakan dengan obyektif dan berpotensi menimbulkan kerugian kepada pihak tertentu.
Tindakan yang di lakukan Bupati Mimika Eltinus Omaleng dan kelompok pembisiknya merupakan benturan kepentingan yang sering terjadi dan berakibat fatal.
Seperti roling jabatan yang menempatkan pejabat yang tidak sesuai dengan kriteria sebagaimana yang disyaratkan Undang-undang.
Kemudian, balas jasa pengamanan kepentingan proyek adalah kebijakan yang berpihak akibat pengaruh hubungan dekat/ketergantungan serta pemberian gratifikasi.
Jadi gratifikasi itu dalam bentuk barang dan uang yang kita buktikan saat ini adalah pembagian paket proyek.
Kemudian pengangkatan pegawai ASN berdasarkan hubungan dekat/balas jasa rekomendasi pengaruh dari pejabat di lingkungan sekitarnya, pemilihan patner/rekanan kerja berdasarkan keputusan yang tidak profesional serta melakukan komersialisasi pelayanan publik.
Dari sisi advokasi hukum, bahwa mendasari permintaan instansi yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban hukum atas tindakan Bupati Mimika EO yang batas waktunya hingga saat ini namun yang bersangkutan tidak melakukan klarifikasi atau pembelaan maka saatnya pengaduan ini di lanjutkan kepada Komisi Pemberantasan korupsi mengingat UU 31 Tentang Tipikor yang dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis korupsi yang dikelompokan yakni benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang serta gratifikasi.
Adapun jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tipikor adalah tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar serta orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau keterangan palsu tetap akan di pidanakan.
Sementara di lain sisi, kisruh roling jabatan dan pembagian proyek yang menjadi wacana publik saat ini seharusnya disikapi DPRD Mimika dengan membentuk Pansus namanya Pansus Konflik kepentingan (Conflict of Interest).
Mengingat kisruh roling dan pembagian proyek telah menjadi perhatian serius publik yang menjatuhkan wibawa suatu pemerintahan daerah maka sangatlah penting disikapi DPRD Mimika.
Saya katakan hal ini meningat jika konflik kepentingan ini terbukti, maka otomatis wibawa Pemetrintah daerah di mata publik sangat buruk dan imbasnya kepada fungsi pengawasan DPRD Mimika dalam konteks pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kalau saya melihat pada Pasal 42 Ayat 1 UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa Pejabat Pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.
Kalau Pasal 45 yakni Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana Pasal 42 dan 43 UU 30 Tahun 2014 menjamin dan bertanggung jawab terhadap setiap keputusan dan/atau tindakan yang di tetapkan dan/atau di lakukannya.
Ayat 2 keputusan dan/atau Tindakan yang di tetapkan dan /atau dilakukan karena adanya konflik kepentingan dapat dibatalkan.
Hal ini terdapat pula pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah pasal 76 ayat 1 yakni Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang :
a. Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
b. Membuat kebijakan yang merugikan kepentingan Umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan.
c dan d, Menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan daerah yang di pimpin.
e. Melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan.
Semua ini produk aturan yang merupakan perbuatan atau tindakan melawan hukum maka harus di hukum.
RLS