Koreri.com, Manokwari – Penyampaian pandangan umum Gabungan Fraksi DPR Papua Barat atas Nota Keuangan Raperda APBD 2025 membawa banyak catatan kritis yang patut menjadi perhatian serius.
Meski ini adalah ritual tahunan dalam siklus penganggaran, substansi yang diangkat dalam pandangan umum tersebut menyiratkan satu hal: ada ketimpangan yang belum juga tuntas dalam proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran di Papua Barat.
Dari berbagai poin yang disampaikan, defisit anggaran menjadi masalah mendasar.
Fraksi mencatat bahwa berkurangnya pendapatan berpotensi memangkas alokasi belanja, sesuatu yang sering berulang setiap tahun.
Pertanyaannya, apakah penyebabnya semata soal penyerapan anggaran yang rendah oleh OPD teknis? Jika benar demikian, berarti ada masalah kinerja birokrasi yang harus segera diselesaikan. Tidak mungkin kesejahteraan rakyat bisa dicapai jika eksekusi program masih jauh dari optimal.
Selain itu, Gabungan Fraksi juga menyoroti perbedaan signifikan antara KUA-PPAS dan Nota Keuangan, terutama terkait SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran).
Ini bukan perkara teknis biasa, tetapi mengindikasikan adanya persoalan perencanaan yang kurang matang. Ketidakcocokan angka semacam ini bisa menjadi ancaman serius bagi efektivitas pengelolaan anggaran dan pembangunan.
Satu hal menarik adalah fokus terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang disebut mengalami peningkatan. Fraksi memberikan dukungan pada upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber PAD.
Namun, lagi-lagi muncul pertanyaan: apakah pemerintah daerah memiliki SDM yang kompeten untuk mengelola sumber pendapatan tersebut? Optimisme terhadap peningkatan PAD akan percuma jika tidak ada tenaga yang mampu mengelola potensi itu secara efektif.
Tak hanya itu, Gabungan Fraksi menyatakan keraguannya terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Papua Barat, yang dihadapkan dengan fakta inflasi dan penurunan pendapatan daerah.
Bagaimana target pertumbuhan ekonomi dapat tercapai jika kondisi fiskal tidak mendukung? Keraguan ini sangat wajar karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bisa berdiri di atas fondasi fiskal yang rapuh.
Dari aspek pembangunan infrastruktur, pandangan umum Parlemen menggarisbawahi minimnya perhatian terhadap ruas jalan provinsi, sarana transportasi, serta program ketahanan pangan yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Beberapa proyek strategis seperti jalan menuju pedalaman, pembangunan puskesmas pembantu, hingga revitalisasi pasar Sanggeng Manokwari, semuanya diangkat sebagai kebutuhan mendesak.
Sayangnya, belum terlihat alokasi anggaran yang memadai untuk mewujudkan itu semua.
Hal lain yang patut dicermati adalah rekrutmen 1.000 honorer menjadi ASN. Ini adalah langkah yang baik dalam memperluas jangkauan pelayanan publik. Namun, perlu diingat, jangan sampai kebijakan ini justru menambah beban keuangan daerah jika tidak dikelola dengan bijak.
Pandangan DPR Papua Barat ini menggambarkan bahwa masih ada ketidaksinkronan antara kebutuhan pembangunan dan kebijakan anggaran. Keberpihakan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, infrastruktur, ketahanan pangan, dan pemerataan pembangunan menjadi sorotan yang tegas.
Sebagai masyarakat, kita tentu berharap dialog konstruktif antara DPR dan Pemprov Papua Barat dapat menghasilkan APBD yang lebih realistis, transparan, dan tepat sasaran.
Sebab pada akhirnya, anggaran daerah bukan hanya sekadar dokumen administratif, tetapi instrumen nyata untuk mewujudkan janji-janji pembangunan dan kesejahteraan rakyat Papua Barat.
Redaksi