Opini  

Opini: Pengukuhan Lembaga Adat di Papua Barat Daya, Harapan Baru atau Formalitas Belaka?

Majelis Adat PBD
Foto : Novi - Koreri.com

Koreri.com, Sorong – Keputusan Ketua Majelis Masyarakat Adat Doberai Papua Barat Daya, Andi Asmuruf untuk mengukuhkan lembaga adat di Provinsi Papua Barat Daya patut diapresiasi.

Langkah ini tampaknya menjadi wujud nyata dari pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) yang telah lama diharapkan mampu memberikan dampak signifikan bagi masyarakat adat Papua.

Namun, apakah pengukuhan ini benar-benar menjadi tonggak perubahan atau sekadar seremoni formalitas yang tidak membawa perubahan berarti?

Kembali ke Amanat Otsus

Dalam sambutannya, Andi menegaskan pentingnya mengakomodasi hak-hak masyarakat adat, perempuan, dan agama, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Otsus.

Sayangnya, implementasi Otsus selama 21 tahun terakhir sering kali dipertanyakan, terutama terkait transparansi pengelolaan dana.

Jika tujuan lembaga adat ini adalah melindungi dan menguatkan hak-hak masyarakat adat, mengapa baru sekarang upaya seperti ini dimulai secara resmi?
Pengelolaan dana Otsus yang disebut Andi kurang transparan seharusnya menjadi fokus utama. Apakah lembaga adat ini akan memiliki otoritas nyata untuk memastikan dana tersebut dialokasikan sesuai amanat, atau justru menjadi bagian dari sistem yang selama ini dianggap tidak efisien?

Sejarah yang Belum Dimaksimalkan

Lembaga adat Papua memiliki akar sejarah panjang, namun ironisnya baru sekarang mendapatkan pengakuan formal.

Fakta ini mengungkapkan betapa lambannya Pemerintah dalam merespons kebutuhan masyarakat adat. Dengan rekam jejak pemerintah yang belum optimal, sulit untuk tidak mempertanyakan efektivitas lembaga ini dalam menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat adat yang kompleks.

Tantangan Representasi

Andi menyebut pentingnya lima rumpun suku besar di Papua Barat Daya sebagai fokus utama dalam penyusunan Perdasus.
Namun, bagaimana dengan masyarakat adat dari wilayah lain yang belum masuk dalam struktur ini? Apakah representasi ini cukup inklusif, atau malah akan menciptakan ketimpangan baru di antara komunitas adat?

Selain itu, perjuangan untuk memberikan hak representasi di lembaga-lembaga seperti DPRP, DPRK, dan MRP merupakan tantangan besar. Proses ini akan membutuhkan sinergi kuat antara masyarakat adat, pemerintah, dan pihak lain yang terlibat.

Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa sinergi semacam itu sering kali sulit terwujud.

Pengakuan Internasional vs Realitas Lokal

Ketua Panitia, Bernard Jitmau, menyebut pengakuan masyarakat adat sebagai bagian dari pelaksanaan hukum internasional. Namun, pengakuan di atas kertas saja tidak cukup.

Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat yang dijadikan rujukan perlu diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret yang berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat adat di Papua.

Harapan di Tengah Keraguan

Tentu, kita semua berharap pengukuhan ini bukan sekadar seremoni. Tetapi, tanpa langkah nyata yang melibatkan masyarakat adat secara langsung dan transparan, skeptisisme akan terus menyelimuti.

Pengakuan adat seharusnya tidak hanya menjadi simbol, melainkan alat untuk memperjuangkan hak-hak mendasar mereka yang selama ini terpinggirkan. Papua Barat Daya membutuhkan perubahan nyata, bukan janji-janji manis yang sulit terealisasi.

Semangat kebersamaan yang diungkapkan Andi dalam pidatonya adalah awal yang baik, tetapi perjuangan untuk mewujudkan visi besar ini baru saja dimulai.

Masyarakat Papua kini menunggu bukti, bukan hanya kata-kata !

NKTan

Exit mobile version