Koreri.com, Sorong – Seruan perubahan menggema dari pertemuan para pemimpin gereja yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) Papua Barat Daya dan Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP) Kota Sorong.
Dalam rapat terbatas yang diadakan baru-baru ini, mereka menyuarakan aspirasi umat dan masyarakat luas: meminta Pemerintah Kota Sorong segera menutup lokalisasi Malanu yang dinilai telah menjadi sumber keresahan sosial dan degradasi moral.
Lokalisasi Malanu: Pusat Kota yang Sarat Masalah
Malanu, lokalisasi yang berada di pusat Kota Sorong, selama ini menjadi perhatian khusus. Aktivitas di lokasi tersebut tidak hanya memfasilitasi perzinahan, tetapi juga memicu kemabukan, tindak kejahatan, dan merusak moral generasi muda, termasuk pelajar SMA yang mulai terlibat.
“Ini bukan hanya soal tempat, tetapi dampaknya terhadap moralitas, mentalitas, dan spiritualitas masyarakat,” ujar Pdt. Philipus Yassu, Ketua PGGP Kota Sorong.
“Malanu berada di tengah kota, terbuka untuk siapa saja, termasuk anak-anak yang melewatinya. Hal ini sangat memprihatinkan,” sambungnya.
Doa dan Langkah Nyata: Gereja Berkomitmen
Ketua PGPI Papua Barat Daya, Yaved Tampani, menyatakan bahwa gereja-gereja terus berdoa untuk terobosan moralitas di kota ini.
Sebagai bagian dari solusi, PGPI berencana membangun perumahan bagi para pekerja seks komersial (PSK) yang akan kehilangan mata pencaharian mereka setelah lokalisasi ditutup.
“Ini bukan soal menolak keberadaan orang tertentu, melainkan menjaga moral generasi Papua,” tambahnya.
Panggilan untuk Bersatu: Perbaiki Pintu Gerbang Papua
Pdt. Max Ebe, tokoh gereja Papua, menekankan pentingnya menjaga pintu gerbang Papua.
Gereja menilai, masuknya berbagai bentuk kejahatan dari luar Papua telah merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, mereka mendesak agar regulasi ketat diterapkan untuk menutup lokalisasi, membatasi peredaran minuman keras, dan menegakkan nilai-nilai adat, agama, serta hukum.
Seruan Tobat dan Kolaborasi Semua Elemen
Dalam semangat Firman Tuhan, sebagaimana tertulis dalam 2 Tawarikh 7:14, para pemimpin gereja menyerukan pertobatan dan kerja sama semua pihak: pemerintah, gereja, adat, dan masyarakat.
“Kita tidak bisa membangun Papua di atas dasar yang salah. Mesbah berhala di tengah kota ini harus diruntuhkan. Jika tidak, kita sedang mengorbankan masa depan generasi kita,” tegas Pdt. Max Ebe.
Harapan untuk Masa Depan Papua
Gereja berharap, langkah ini dapat menjadi awal perubahan besar. Mereka mengajak seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, termasuk DPR, TNI, Polri, serta tokoh adat, untuk bersatu memulihkan moralitas kota.
“Papua adalah tanah Injil. Kita harus menjaga kehormatannya di hadapan Tuhan. Mari kita bangun kota ini dengan takut akan Tuhan, agar semua yang datang ke tanah ini membawa kedamaian dan kesejahteraan,” tutupnya.
Aspirasi ini bukan sekadar tuntutan, tetapi langkah konkret untuk memulihkan nilai-nilai luhur Papua sebagai tanah yang diberkati.
NKTan