Koreri.com, Tomer – Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Namun, bagi jemaat Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI) Jemaat Eben Haezar Tomer, itu adalah perjalanan iman, gotong royong, dan pengorbanan.
Kini, di tengah Kampung Tomer, Distrik Noken Cerai, berdiri sebuah rumah Tuhan yang megah, menjadi bukti bahwa kebersamaan bisa mewujudkan impian.
Gereja Eben Haezar Romer baru diresmikan pada Jumat (7/2/2025) oleh Penjabat Gubernur Papua Selatan yang diwakili Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Papua Selatan Soleman Jambormias.
Pembangunan gereja ini menelan biaya sebesar Rp1,35 miliar dengan sumbangan terbesar datang dari seorang anak kampung yang kini menjadi perwira tinggi Polri Brigjen Pol Audie Latuheru.
“Itu adalah perpuluhan saya selama tujuh tahun bersama keluarga,” ujar Brigjen Audie, menegaskan bahwa membangun rumah Tuhan bukan sekadar tanggung jawab panitia, melainkan panggilan iman setiap jemaat.
Gereja yang berdiri di atas lahan 15×20 meter ini juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk bantuan dari Pemerintah Kabupaten Merauke sebesar Rp 150 juta.
Namun, sebagian besar pembangunannya didorong oleh swadaya jemaat dan masyarakat setempat yang berjumlah 300 jiwa.
Salah satu ikon penting dalam gereja ini adalah mimbar berbentuk cawan yang unik, satu-satunya di tanah Papua. Mimbar ini dipesan langsung dari Jepara dengan harga fantastis, meskipun Brigjen Audie enggan menyebutkan nominalnya.
Dalam peresmian gereja, Soleman Jambormias menyampaikan harapannya agar bangunan ini bukan sekadar tempat beribadah, tetapi juga rumah doa dan persatuan umat.
Ia juga mengapresiasi Brigjen Audie Latuheru, yang meski lahir dan besar di Merauke, belum pernah bertugas di Papua.
“Dia seorang polisi hebat, bisa menerbangkan pesawat, mengemudikan kapal laut. Pernah menjabat sebagai Kapolresta Jakarta Barat, Kepala Interpol Indonesia, dan kini menjadi Kepala Badan Diklat Kerja Sama Luar Negeri Polri. Dengan pangkat yang tinggi, ia tetap rendah hati dan peduli terhadap kampung halamannya,” ujar Jampormias.
Ia mengenakan seragam dinas bukan untuk membanggakan diri, tetapi untuk menunjukkan bahwa anak dari seorang guru SD di kampung kecil pun bisa mencapai posisi tinggi jika memiliki tekad dan disiplin.
Meskipun di masa remajanya ia mengakui pernah nakal, ada satu hal yang selalu ia jauhi: minuman keras. Prinsip hidup itulah yang menurutnya turut membentuk jejak kariernya hingga menjadi seorang jenderal.
Lebih dari sekadar pembangunan fisik, kisah Gereja Eben Haezar Tomer menjadi inspirasi tentang kekuatan gotong royong. Jambormias mengajak jemaat Kristen lainnya untuk mengadopsi prinsip kebersamaan dalam membangun rumah Tuhan.
“Jika seribu orang percaya menyisihkan Rp 1 juta saja, maka Rp 1 miliar bisa terkumpul untuk membangun gereja bagi jemaat di daerah yang membutuhkan. Prinsip ini harus kita tanamkan,” ujarnya.
Dibawah penggembalaan Pendeta Sahuleka, perjalanan panjang tujuh tahun ini menjadi bukti bahwa iman, kerja keras, dan kebersamaan mampu membangun lebih dari sekadar bangunan.
Gereja Eben Haezar Tomer kini berdiri tegak, menjadi simbol harapan bagi jemaatnya dan generasi mendatang.
NKTan