Ngeri! Notaris di Biak Legalkan SHM Jadi Jaminan Utang Piutang Tanpa Klarifikasi Pemilik

Ahli Waris Minta MPD Kemenkum Papua Tindak Tegas

LBH KYADAWUN Biak Laporan Kode Etik Notaris M
Direktur LBH KYADAWUN Biak Imanuel A. Rumayom, SH (kanan) selaku kuasa hukum para ahli waris AY saat menyerahkan laporan pengaduan terkait pelanggaran kode etik serius yang diduga dilakukan Notaris M di Biak, Kamis (20/2/2025) lalu / LBH KYADAWUN Biak

Koreri.com, Jayapura – Seorang notaris di Biak berinisial M resmi diadukan ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) Kementerian Hukum Provinsi Papua, di Kota Jayapura.

Notaris M dilaporkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) KYADAWUN Biak selaku kuasa hukum para ahli waris AJ terkait pelanggaran kode etik serius, Kamis (20/2/2025) lalu.

Adapun penyebab M dilaporkan karena menjadikan sertfikat hak milik (SHM) para ahli waris sebagai jaminan dalam suatu perjanjian di kantor Notaris miliknya di Biak tanpa sepengetahuan dan tanpa melibatkan para ahli waris pemilik sertifikat yang dijadikan Jaminan.

Salah satu yang menjadi dasar pengaduan yaitu Undang-undang No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Di Pasal 16, dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib ”Bertindak Amanah, Jujur, Saksama, Mandiri, Tidak Berpihak, dan Menjaga Kepentingan Pihak yang terkait dalam Perbuatan Hukum”.

Dalam hal ini, Notaris M diduga tidak melakukan prinsip ‘SAKSAMA’ artinya teliti, cermat, tepat benar atau jitu.

Karena dalam hal ini telah jelas bahwa dua sertifikat yang dijadikan Jaminan dalam Surat Perjanjian Penyelesaian Pertanggungjawaban Keuangan Nomor 01/MMG.P/XII/2023 tidak pernah diberikan izin atau para ahli waris tidak pernah mengalihkan atau menjual sertifikat tersebut kepada pihak manapun.

Lebih anehnya lagi, para ahli waris tidak pernah dilibatkan dalam perjanjian tersebut atau tidak secara teliti Notaris yang bersangkutan mengkonfirmasi para ahli waris pemilik sertifikat tersebut.

Sebaliknya, yang bersangkutan malah tetap memfasilitasi Surat Perjanjian Penyelesaian Pertanggungjawaban Keuangan Nomor 01/MMG.P/XII/2023 untuk dileges atau disahkan.

LBH KYADAWUN Biak selaku kuasa hukum ahli waris menduga bahwa Notaris yang bersangkutan tidak menjalankan kewajibannya sesuai UU Notaris.

“Bahwa para ahli waris ini merasa dirugikan karena sertifikat tersebut telah berpindah tangan ke orang lain yang tidak memiliki hak apapun terhadap sertifikat tersebut,  tanpa sepengatahuan para ahli waris,” ungkap Ketua Tim Kuasa Hukum Imanuel A. Rumayom, SH yang juga selaku Direktur LBH KYADAWUN Biak kepada Koreri.com, Sabtu 22/2/2025).

Pihaknya telah memasukan laporan secara resmi ke Kantor Wilayah Hukum Papua yang diterima langsung Kadiv Perundang-undangan Kanwil Hukum Papua Max Wambaruw, S.H, M.H.

Kadiv Perundang-undangan, sambung Rumayom, telah merespon laporan tersebut dan menegaskan akan mendorong proses laporan kode etik ini untuk segera ditindaklanjuti.

Dan selanjutnya akan melaporkan proses ini ke Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Papua yang sementara berada di Jakarta.

Lanjut Rumayom, laporan kode etik beserta bukti-buktinya telah diserahkan secara tertulis ke Majelis Pengawas Daerah Notaris Papua yang ditembuskan ke Kementerian Hukum RI di Jakarta, Kakanwil Kementerian Hukum Papua, Kadiv Pelayanan Hukum dan Kadiv Perundang-Undangan.

“Kami selaku kuasa hukum para ahli waris meminta agar proses kode etik ini segera ditindaklanjuti oleh Badan Pengawas  Daerah Notaris Provinsi Papua. Dengan demikian ke depannya, Notaris bekerja profesional sesuai dengan UU, sehingga tidak ada masyarakat yang dirugikan lagi dalam proses-proses seperti ini,” imbuhnya.

Rumayom juga memastikan pihaknya akan menindaklanjuti dengan laporan pidana terkait kejadian ini karena tanpa persetujuan dari para ahli waris.

“Kami patut menduga terjadi pelanggaran atas Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP,” bebernya.

Pasal 378 KUH Pidana berbunyi :

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Perbuatan tersebut juga patut diduga sebagai tindak  pidana penggelapan sesuai Pasal 372 KUH Pidana berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam karena penggelapan”.

Sementara itu, Henry Paul selaku ahli waris dari AJ meminta Kementerian Hukum melalui Majelis Pengawas Daerah Notaris Papua untuk bersikap tegas terhadap oknum Notaris M yang telah merugikan pihaknya.

“Saya minta ada tindakan tegas terhadap perilaku oknum Notaris ini yang tidak menjalankan profesinya sesuai dengan Undang-undang sampai membuat kami sangat dirugikan dalam hal ini,” pintanya.

Henry Paul mengakui jika hingga saat ini tidak mengetahui keberadaan dua sertifikat miliknya.

“Sampai hari ini kami tidak tahu itu barang (sertifikat, red) ada dimana,” bebernya.

Henry Paul juga menegaskan saat ini pihaknya telah mengambil langkah hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam persoalan ini.

Saat ini, dirinya bersama tiga saudaranya selaku ahli waris AJ telah mengantongi sejumlah bukti atas upaya jahat untuk mengambil alih hak milik mereka.

“Kami selaku ahli waris melalui Kuasa Hukum kami dari LBH KYADAWUN Biak sudah resmi melaporkan dugaan pelanggaran kode etik ke Majelis Pengawas Daerah Notaris Kementerian Hukum Papua. Itu langkah pertama kami dan akan ,” tegas Henry Paul.

Ia kembali memastikan akan menyeret semua pihak yang terlibat dalam persoalan ini.

Seorang Notaris di Biak berinisial M terancam bakal dipidanakan.

Ia diduga melakukan tindak pidana berupa pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat mensahkan Surat Perjanjian Penyelesaian Pertanggungjawaban Keuangan antara PT. Maju Makmur Grup yang diwakili HSP selaku pihak I dan MVGPJ selaku pihak kedua.

Indikasi pelanggaran tersebut berkaitan dengan penyertaan dua sertifikat atas nama AY (Almarhum) yang kemudian dijadikan sebagai jaminan dalam Surat Perjanjian Penyelesaian Pertanggungjawaban Keuangan Nomor 01/MMG.P/XII/2023 yang diduga dilegalisasikan Notaris M.

Dua sertifikat dimaksud masing-masing Sertifikat Hak Milik Nomor M.31/Ambroben seluas 626 ㎡, atas nama pemegang hak AY, Surat Ukur No. 147/1982 tanggal 22-III-1982, diterbitkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II/Kepala Kantor Agraria tanggal 05 April 1982 dan Sertifikat Hak Milik Nomor M.30/Ambroben seluas 762 ㎡, atas nama pemegang hak AY, Surat Ukur No. 146/1982  tanggal 22-III-1982, diterbitkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II/Kepala Kantor Agraria tanggal 05 April 1982.

Dua sertifikat tersebut adalah sah milik para ahli waris yaitu 4 anak kandung almarhum AY masing-masing atas nama JMBJ, JHPJ, ABWJ dan ARDJ.

Sedangkan salah satu pihak dalam Surat Perjanjian Penyelesaian Pertanggungjawaban Keuangan yang diduga disahkan Notaris M yaitu MVGPJ selaku pihak II tidak memiliki hak apapun baik secara hukum positif maupun hukum adat terhadap dua sertifikat dimaksud karena bukan berstatus sebagai ahli waris atau pemilik.

Terhadap dugaan pelanggaran hukum tersebut, para ahli waris dari almarhum AY tidak terima atas tindakan sang Notaris termasuk para pihak yang berada di balik semua ini.

Hal itu lantaran tidak pernah sekalipun ada konfirmasi dari Notaris yang bersangkutan atau pihak manapun untuk meminta ijin kepada para ahli waris untuk menggunakan dua sertifikat tersebut sebagai jaminan dalam perjanjian apapun.

Selain itu juga, tidak pernah para ahli waris menjual atau mengalihkan sertifikat tersebut kepada pihak manapun atau untuk dijadikan jaminan dalam perjanjian apapun.

Langkah hukum akan segera diambil para ahli waris dengan melaporkan dugaan tindak pidana dimaksud ke institusi Kepolisian.

Tak hanya itu, para ahli waris juga akan segera mengadukan Notaris yang bersangkutan ke Kementerian Hukum RI serta organisasi etik Notaris atas dugaan pelanggaran kode etik.

Notaris M sendiri yang telah dikonfirmasi terkait dugaan pelanggaran yang dilakukannya telah mengakui menandatangani dan melegalisasi Surat Perjanjian Penyelesaian Pertanggungjawaban Keuangan Nomor 01/MMG.P/XII/2023.

“Jadi ceritanya itu, kemarin memang sertifikat dikasih ke saya karena MWGPJ ada bikin perjanjian untuk membayar hutang sebesar Rp5 miliar secara cicil. Tapi dari pak S (inisial) yang merasa dirugikan dia ada bikin perjanjian tersendiri dengan MVGPJ secara lisan. Jadi modelnya itu kalau dia (MVGPJ) tidak bisa bayar berarti MVGPJ serahkan tanah,” ungkapnya saat dikonfirmasi Koreri.com melalui telepon selulernya, Jumat (10/1/2025).

Belakangan lanjut Notaris M, MVGPJ tak jadi menyerahkan tanah tersebut.

“Dibelakang hari MVGPJ ngomong (bicara, red) tidak mau serahkan sertifikat tapi mau pakai ambil kredit di bank untuk bayar hutang. Jadi, sempat dimasukkan ke Bank tapi tidak disetujui dengan alasan jaminan tidak mencukupi kalau hanya rumah yang dia bangun di tanah kakeknya,” lanjutnya.

Notaris M mengakui jika ada 2 sertifikat tanah milik AY yang sempat dipegangnya.

“Tapi belakangan saya sudah kembalikan ke pihak Maju Makmur karena memang tidak bisa. Karena awalnya mau balik nama ke MVGPJ tapi pamannya sebagai ahli waris tidak mau. Jadi saya konfirmasi ke salah satu ahli waris dan mereka tidak setuju. Jadi saya bilang ke Maju Makmur bahwa sertifikat ini bagaimana? Lebih baik di ambil kembali saja karena tidak bisa balik nama,” akuinya.

Jadi, dua sertifikat tersebut tegas Notaris M, masih ada di Maju Makmur.

Selanjutnya, terkait dengan surat perjanjian penyelesaian keuangan itu diakui Notaris M, dibuat oleh pengacara (pihak Maju Makmur).

“Tapi tandatangan dan legalisasi sama saya,” ujarnya.

RED

Exit mobile version