Minta Mendagri Tinjau Keputusannya Soal 3 Pulau, Ketua MRPBD Ungkap Soal Ini

Alfons Kambu MRPBD korericom
Ketua MRPBD Alfons Kambu / Foto : KENN

Koreri.com, Sorong – Sengketa tiga pulau yang melibatkan dua kabupaten yaitu Raja Ampat  di Provinsi Papua Barat Daya dan Halmahera, Maluku Utara masih terus bergulir.

Bahkan belakangan semakin memanas menyusul aksi pembakaran sejumlah unit rumah bantuan  Pemkab Raja Ampat di Desa Umiyal, Kecamatan Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara pada Sabtu (20/9/2025) sebagai protes pengambilalihan pulau Sain, Piay dan Kiyas di perbatasan Kabupaten Raja Ampat.

Sejumlah pihak angkat bicara menyikapi polemik tersebut. Salah satunya datang dari lembaga kultur adat  Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD).

Kepada Koreri.com, Senin (22/9/2025), Ketua MRPBD Alfons Kambu mengakui jika sebetulnya yang berhak menentukan wilayahnya itu adalah masyarakat adat setempat.

Ia kemudian mengungkapkan jika tiga pulau tersebut sesungguhnya adalah milik Papua.

“Karena jika dilihat dari nilai sisi adat bahwa sebelum adanya Papua berintegrasi ke pangkuan ibu pertiwi, tiga pulau itu sudah milik Papua dalam Peta Belanda. Saya tidak bisa bicara keluar dari itu dan dapat diperkuat oleh beberapa sumber data lain dari sisi kehutanan dan juga khusus di bidang perikanan kelautan dalam data geopark yang ada. Pengakuan itu baru beralih pada tahun 2018,” urainya.

Namun, lanjut Kambu, jika diikuti dari sejarah perjalanan Sultan Tidore, Sultan Bacan, itu sudah mengakui bahwa sumpah itu yang menjadi kebersamaan Papua dan Kesultanan. Sehingga wilayah itu tidak bisa dirubah oleh siapapun generasi muda sampai yang ada sekarang ini jika kembali kepada Kesultanan.

“Jadi saya berharap saudara-saudara saya yang ada di wilayah Halmahera atau di Kepulauan Maluku Utara, mari kita duduk sama-sama bicara dari hati ke hati. Yang kedua, disana kita saling mengakui apa yang bisa menjadi kerja sama kita? Karena ini sudah sejarahnya dari Sultan sudah jelas. Jadi dari data kesultanan sudah ada pada saya sebagai Ketua MRPBD dan sumber data yang sudah saya gali tapi saya tidak bisa bicara selengkapnya apa, tapi kami butuh Pemerintah pusat harus memediasi bagian ini,” imbuhnya.

Kambu meyakini, ada sumber-sumber informasi dan pelaku-pelaku yang saat itu mungkin dia keturunan dari siapa pada perkawinan Sultan? Kemudian punya anak saudara perempuan kawin dengan Gurabessy!

“Dan itu semua ada jalan ceritanya. Jadi jangan kita secepatnya saudara-saudara dari Maluku sana datang langsung bakar. Itu ada unsur pidananya yang nanti merugikan kita pribadi. Padahal ini kan bicara dari hati ke hati untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat bersama,” pesannya mengingatkan.

Karena, tegas Kambu, dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sudah menyatakan dengan jelas bahwa kekayaan yang ada di laut dan di darat itu dikuasai oleh negara dan dikelola sepenuhnya untuk kemakmuran bersama.

“Hanya saja pengakuan itu yang kita bicara bahwa itu pengakuan Papua sebelum Papua berintegrasi ke pangkuan ibu pertiwi. Itu pun Sultan juga sudah sumpah demikian. Saya kira itu saja, lebih banyak dari itu saya tidak berkomentar keluar karena kembali kepada pengakuan peta itu yang kita bicara,” tegasnya.

Untuk itu, Kambu berharap Pemerintah pusat memediasi kedua wilayah ini, berbicara bersama sehingga apa yang menjadi keputusan Permen atau SK Mendagri itu ditinjau kembali.

“Kami masyarakatnya adat dan saya sebagai Ketua MRPBD tidak mau ada senggketa atau pertumpahan darah di wilayah itu. Karena di wilayah itu masyarakat menikmati dengan damai, tenang bagaimana mereka sama-sama mencari karena pencaharian itu di permukaan laut. Kita tidak tahu yang ada dibawahnya. Tapi kalaupun ada, itu kan hasil kita Bersama. Yang penting kita bicara pengakuan saja,” pungkasnya.

KENN

Exit mobile version