Kuasa Hukum Sekda Keerom: Putusan Prapid Hakim Tunggal PN Jayapura Sangat Fatal

Tim Kuasa Hukum Sekda Keerom
Iwan Niode, SH, MH (kiri), Juhari, SH, MH dan Dr. Antonius Raharusun, SH, MA (kanan) selaku Tim Kuasa Hukum dari Sekda Keerom Non Aktif / Foto : Ist

Koreri.com, Jayapura – Tim kuasa hukum pemohon, Trisiswanda Indra mengaku kecewa atas putusan Hakim Praperadilan yang menolak gugatan kliennya di Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura, Kota Jayapura, Papua, Rabu (29/5/2024).

Dalam pertimbangan Hakim menolak permohonan pemohon dengan alasan bahwa SPDP bukan objek praperadilan sehingga proses  penangkapan, penahanan, penyitaan dan penetapan Sekda Keerom Trisiswanda Indra sebagai tersangka adalah sah.

“Hari ini saya baru dengar di Pengadilan Negeri Jayapura oleh seorang hakim yang mengatakan bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) itu adalah tidak sah dan bukan menjadi obyek Praperadilan,” kata Tim Kuasa Hukum Anthon Raharusun, Juhari dan Iwan Niode seusai sidang kepada sejumlah wartawan usai sidang.

Menurutnya putusan hakim Prapid ini fatal, padahal dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah sangat jelas bahwa SPDP itulah yang menjadi obyek Praperadilan.

“Lho kenapa hakim kemudian menyatakan bahwa itu tidak sah dan bukan merupakan obyek Praperadilan, sehingga dinyatakan tidak sah. Ini satu kekeliruan yang sangat besar dan ini sangat mencederai rasa keadilan dari Masyarakat,” ujarnya.

Dalam putusan MK menyebutkan bahwa ada pranata baru didalam obyek praperadilan, yaitu mengenai penetapan tersangka dan juga mengenai pemberitahuan dimulainya penyidikan.

Kenapa demikian, karena satu proses dimulainya penyidikan itu ada konsekuensi hukumnya. Kliennya saat dipanggil. Pemanggilannya saja sudah upaya paksa. Apalagi penetapan tersangka, penahanan dan juga SPDP.

“Ini fatal dan putusan seperti ini harus dikoreksi lembaga peradilan seperti ini,” tegasnya.

Dijelaskan, dalam proses penegakkan hukum ada dua hal yang sangat penting. Pertama adalah bagaimana mengenai penegakkan hukum atau menegakkan hukum dan keadilan.

Menegakkan hukum belum tentu menegakkan keadilan atau bersama-sama, dua-duanya menegakkan keadilan. Tetapi menegakkan keadilan sudah pasti menegakkan hukum itu sendiri.

“Dalam prosesnya sekarang ini kita lihat bahwa Keputusan ini sangat fatal dan kami tidak percaya dengan keputusan itu,” kata Anton.

Saatnya KPK dan KY Turun Tangan

Pengacara senior ini sangat menyayangkan sekali karena Praperadilan bukan merupakan bagian dari untuk mengajukan upaya hukum.

“Jadi putusan ini terus terang sangat mencederai rasa keadilan masyarakat dan juga hal ini harus menjadi koreksi,” ujar Anton.

Semestinya, kata Anton, Komisi Yudisial maupun KPK, sudah harus turun mengawasi hakim – hakim disini (PN Jayapura-red).

“Harus melakukan OTT dan ini sangat penting. Sehingga Lembaga peradilan harus memiliki citra yang baik didalam proses penegakkan hukum,” katanya.

Dikatakan, keadilan ini sangat mahal sekarang ini.

“Terus terang kami sedikit kecewa dengan putusan ini, karena hakim berani mengatakan bahwa SPDP itu bukan merupakan obyek praperadilan. Itu sangat fatal,” kata Anton.

“Justru itulah salah satu titik poin untuk menyatakan bahwa tindakan, penangkapan, penahanan dan penetapan seorang tersangka itu adalah tidak sah. Kalau hakim obyektif,” sambungnya.

Tetapi dalam perkara ini jelas – jelas hakim sangat tidak obyektif.

Sementara itu, Iwan Niode dihadapan insan pers membacakan pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa SPDP itu tidak dianggap sebagai bentuk kelengkapan administrasi belaka.

Melainkan dianggap sebagai implementasi prinsip check and balance antara penyidik dan penuntut umum, terlapor, korban pelapor.

Apabila hal tersebut tidak dilakukan. Maka dianggap telah terjadi cacat prosedural dalam tahapan penyidikan. Karena dipandang penyidikan dilakukan tidak transparan dan tanpa adanya pengawasan.

“Ini berbeda dengan putusan hakim Prapid. Bahwa apa yang dianggap MK itu, Tidak dianggap,” beber Iwan.

SPDP menjadi fungsi kontrol di dalam proses penyidikan. Apalagi kasus ini sudah mulai disidik sejak tahun 2021 – 2022 – 2023 dan di tahun 2024 baru ditetapkan tersangka.

Ini proses penyidikan sudah sangat jauh dan yang dikatakan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penyaluran dana Bansos Pemda Keerom Tahun Anggaran (TA) 2018 senilai Rp. 18.258.250.000,- sama sekali tidak diterima oleh kliennya.

Semua jelas di dalam BAP. Bahkan ada oknum jaksa menerima Rp1.120.000.000,-. Kemudian kepada  Rekening Donasi Bencana BPBD Provinsi Papua sebesar Rp100 juta.

Kemudian diberikan kepada tujuh anggota DPRD Kabupaten Keerom sebesar Rp2.506.250.000 atas perintah Bupati Keerom Alm Muhammad Markum.

Kemudian juga untuk ASN yang kemungkinan digunakan untuk biaya studi sebesar Rp1,8 miliar lebih.

“Sangat jelas. Jadi kasus ini juga sangat terkait dengan adanya dugaan konflik kepentingan politik lokal,” kata Anthon menyela.

Kalaupun hakim obyektif bisa saja menyatakan bahwa SPDP itu fatal.

“Hakim (hakim yang memimpin jalannya sidang-red) ini memang bagus. Tapi saya tidak mengerti kenapa sampai membuat putusan seperti ini,” herannya.

Sedangkan Juhari juga membantah putusan hakim tunggal Wempi Willem Duka yang mengatakan SPDP itu bukan obyek pra peradilan.

“Ini yang tidak betul. Jadi Putusan MK No.130 yang merupakan penambahan. SPDP merupakan obyek Praperadilan. Jadi kalau dalam waktu tujuh hari kemudian oleh penyidik telah diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Maka konsekuensi-nya batal demi hukum dan menjadi obyek praperadilan bukan kelengkapan administrasi. Tidak boleh dan tidak betul,” kata Juhari.

Sehingga pertimbangan dari hakim menurut pengacara senior ini dianggap pertimbangan yang ngawur.

“Kita baru tahu putusan hakim model seperti ini,” tegasnya.

Pasalnya kalau hakim obyektif, maka SPDP itu batal dan menyatakan proses penyidikan tidak sah.

Dengan mengacu pada pendapat para ahli yang menyatakan kalau SPDP itu tidak disampaikan. Maka seluruh proses penyidikan harus dianggap tidak sah. Baik itu penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka.

Anthon Raharusun juga menyarankan harus ada kontrol supaya Lembaga pra peradilan harus bersih dan sudah saatnya Pengadilan Jayapura ada pengawasan khusus dari KPK dan KY bila perlu ada OTT.

“Kami bukan mencurigai tapi menduga seperti itu,”pungkasnya.

TIM

Exit mobile version