Koreri.com, Sorong – Keberadaan Undang-undang (UU) Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana perubahannya dalam UU No 2 Tahun 2021 telah memberikan kekhususan dalam pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan di Tanah Papua dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan, akselarasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh masyarakat di wilayah itu.
Namun dalam implementasinya hingga saat ini, belum berdampak secara signifikan bagi masyarakat khususnya terhadap orang asli Papua (OAP).
Menyikapi hal tersebut, Bernard Jitmau selaku Ketua Umum Forum Deklarator Sorong Raya Papua Barat Daya memberikan masukan bagi Pemerintah setempat sebagai provinsi termuda yang baru terbentuk sejak 9 Desember 2022 lalu.
Menurutnya, bahwa berdasarkan amanah dan amanat dari Surat Keputusan DPR Papua No 06/KEP/PIM-DPRP/2009 tanggal 15 Juni 2009 tentang pemberian bantuan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Papua yang disampaikan kepada Presiden RI yaitu berkaitan dengan pemberian bantuan anggaran sebesar 10 persen bagi Pemerintahan Provinsi Papua Barat Daya.
Lanjut Jitmau, mengenai 10 persen dari Dana Otsus untuk mendukung pembangunan di Provinsi PBD telah dikoordinasikan pihaknya dengan Jakarta yaitu ke Kementerian Keuangan melalui Dirjen Anggaran dan sudah didisposisi ke Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan diteruskan ke bagian Direktorat Dana Desa Intensif, Otonomi Khusus dan Keistimewaan.
“Maka saya meminta dukungan dari Gubernur Elisa Kambu untuk menindaklanjutinya ke Kementerian terkait alokasi Dana Otsus 10 persen tadi untuk mendukung pembangunan karena Provinsi Papua Barat Daya ini dilahirkan melalui UU Otsus 2 Tahun 2021 Pasal 76,” urainya dalam keterangan tertulis yang diterima Koreri.com, Minggu (15/6/2025).
Provinsi PBD ini sudah masuk dalam konferensi internasional penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial PBB sehingga mau tidak mau Pemerintah pusat harus bertanggung jawab.
Karena konferensi internasional ini ada kaitannya dengan piagam PBB tahun 1973 yang sudah ditetapkan bahwa Papua telah mendapatkan bantuan karena dananya sudah dianggarkan sejak 1976 untuk pembangunan di Papua (Irian Jaya, sebutan waktu itu).
Jitmau juga menyoroti soal kebijakan Dana Otsus yang selama ini penggunaannya hanya didasari Peraturan Gubernur Papua (Provinsi Papua).
Sementara setiap tahunnya, Pemerintahan Indonesia membuat laporan pertanggungjawaban saat Sidang PBB (Piagam PBB).
Untuk itu, tegas Jitmau, bahwa anggaran yang dikelola Pemerintah pusat dan kemudian ditransfer ke daerah harus disesuaikan dengan aturan karena Papua adalah daerah kekhususan yang mengatur dana untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Usulan Dana Otsus 10 Persen TA 2026
UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021 adalah berkaitan dengan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat setempat.
Pemberian wewenang tersebut dilakukan agar penyelenggaraan Pemerintah dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua dapat memenuhi rasa keadilan, mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat mendukung terwujudnya penegakan hukum dan menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Provinsi Papua khususnya OAP.
Juga, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajemukan masyarakat Papua wilayah kepala burung dalam kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain di Indonesia.
Jitmau lantas menekankan pada aspek hukum Otsus bagi Provinsi Papua sudah diatur menurut Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial di PBB terhadap mekanisme HAM dan telah ditetapkan pada Pasal 18a dan b Ayat 1 dan 2 UUD 1945 amandemen UUD 1945 perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat Pasal 18b ayat 1 dan ayat 2.
Kemudian, diatur juga dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dirubah dan ditambahkan dalam Pasal 399 mengatur tentang Daerah Istimewa, khusus dan Daerah otonomi khusus.
“Maka Forum Deklarator pada pos penerimaan Dana Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan plafon dan alokasi umum nasional selama 25 tahun mengusulkan dana Otonomi Khusus Papua 10% untuk mendukung program pembangunan pemerintahan di Provinsi Papua Barat Daya Tahun Anggaran 2026,” desaknya.
Jitmau juga menyoroti soal indikasi berbagai pelanggaran hukum, manipulasi, penyelundupan hingga penyimpangan hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang diberlakukan Pemerintah RI.
“Sehingga kami tim deklarator mendorong dan mengharapkan sepenuhnya kepada Gubernur Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat Daya serta Ketua dan anggota DPRP Papua Barat Daya dari jalur pengangkatan Otsus, kiranya berkenan untuk dapat segera menindaklanjuti serta berkoordinasi dan sinkronisasi langsung dengan bapak Presiden selaku Kepala Pemerintahan RI melalui Kementerian Keuangan untuk memberikan persetujuan dana anggaran dari Otonomi khusus 10% dimaksud untuk membiayai pelayanan pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua Barat Daya sebagai anak kandung Otonomi Khusus Provinsi Papua,” dorongnya.
Jitmau menegaskan Tim Deklarator dan Panitia Pejuang Pemekaran PBD siap mempertanggungjawabkannya berdasarkan data selama perjuangan menghadirkan provinsi baru ini dengan memberikan rekomendasi kepada Gubernur, Ketua dan anggota MRPBD serta Ketua dan anggota DPRP PBD jalur pengangkatan Otsus untuk segera menindaklanjutinya melalui BP3OKP yang dipimpin Wakil Presiden RI untuk segera memberikan persetujuan anggaran dari Otsus Papua sebesar 10% dalam rangka mendukung program pembangunan Pemerintah PBD tahun 2026 mendatang.
“Kami merasa bertanggung jawab sebagai pejuang yang menghadirkan Provinsi Papua Barat Daya dengan data dan bukan dengan kata-kata sehingga berkenan memberikan rekomendasi dukungan sepenuhnya untuk memastikan dana Otsus sebesar 10% direalisasikan pada tahun anggaran 2026,” tegasnya.
ZAN