Dugaan Pelanggaran Keimigrasian Pejabat Kesehatan PNG : Isu Pemerasan Mencuat

Pejabat Kes PNG Tersangka Pelanggaran Keimigrasian

Koreri.com, Jayapura – Sebanyak empat pejabat kesehatan asal Papua Nugini (PNG) dilaporkan menjadi tahanan Kantor Imigrasi Kelas I TPI Jayapura atas dugaan pelanggaran Keimigrasian.

Menariknya, kehadiran 4 pejabat Kesehatan asal negara tetangga tersebut datang ke Kota Jayapura atas undangan resmi RS Bhayangkara Polda Papua.

Keempatnya, termasuk seorang CEO rumah sakit pemerintah di West Sepik PNG, dikabarkan dijebloskan ke sel tahanan pasca memenuhi undangan resmi tersebut.

Mereka adalah Adrian Lohumbo (CEO West Sepik Provincial Health Authority), Nimbaken Tibli (pejabat keuangan), Amstrong Kupe (perawat), dan Melchior Nemo (petugas kamar jenazah).

Keempatnya datang ke Jayapura pada 12 Mei 2025 atas dasar undangan tertulis Kepala RS Bhayangkara Jayapura guna membangun kerja sama pelayanan kesehatan lintas batas.

Namun alih-alih pulang dengan membawa hasil kunjungan, keempat tamu resmi negara sahabat ini justru ditangkap petugas Imigrasi di sebuah hotel pada 17 Mei 2025 saat hendak pulang kembali ke negaranya.

Ironisnya, setelah sempat menjalani pemeriksaan di Pos Lintas Batas Skouw tanpa masalah, mereka kemudian ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran Keimigrasian.

Sebagaimana dokumen penahanan dari Kejaksaan Negeri Jayapura yang diterima Koreri.com, ke 4 WNA PNG tersebut telah menjalani perpanjangan waktu penahanan.

Dalam Surat Perpanjangan Penahanan Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura No. B-271C/R.1.10.3/Eku.1/06/2025 merincikan uraian singkat perkara bahwa pada Sabtu (17/5/2025) bertempat di Hotel Maxone, Kota Jayapura terjadi Tindak Pidana Keimigrasian yang dilakukan oleh Warga Negara PNG atas nama Adrian Lohumbo, Amstrong Kupe, dan Nimbaken Tibli melanggar Pasal 119 atau 113 UU RI No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo Pasal 55 KUHP.

Karena kepentingan pemeriksaan di tingkat penyidikan yang belum selesai, penahanan ketiganya diperpanjang selama 40 hari terhitung sejak 17 Juni 2025 sampai dengan 26 Juli 2025 di Rutan Lapas Kelas II A Abepura.

Kuasa Hukum keempat WNA Anton Raharusun, mengecam keras penahanan ini dan menilainya sebagai bentuk kriminalisasi.

Ia mengklaim kliennya tak melanggar hukum apa pun dan menegaskan mereka hanya memenuhi undangan resmi Pemerintah Indonesia.

“Kami menilai ini bentuk penjebakan. Kalau memang dokumen mereka tidak lengkap, mengapa dibebaskan lewat pos Imigrasi Skouw, lalu baru ditangkap ketika hendak pulang? Ini ada kejanggalan,” heran Anton.

Bahkan tak hanya itu saja, belakangan muncul pula dugaan praktik pemerasan yang memalukan.

Beber Anton, menurut pengakuan Adrian Lohumbo  bahwa dompetnya sempat diperiksa petugas Imigrasi dan uang tunai sekitar 7 juta rupiah raib begitu saja.

Lebih parah lagi, salah seorang oknum pejabat Imigrasi setempat diduga meminta uang tebusan senilai 80.000 kina atau setara lebih dari Rp300 juta sebagai syarat pembebasan mereka.

“Ini adalah pemerasan terang-terangan. Kami tidak akan diam, kami akan bawa kasus ini ke Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan bahkan kalau perlu ke tingkat internasional,” cetus Anton berang.

Pihak imigrasi berdalih para WNA tersebut masuk tanpa visa resmi, sehingga melanggar Pasal 113 dan 119 UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Namun Anton menegaskan kliennya tak bisa diperlakukan bak penjahat apalagi setelah hadir berdasarkan surat undangan Rumah Sakit milik Polri.

Saat ini keempat warga PNG itu masih ditahan di Lapas Abepura sejak 17 Mei lalu.

Kuasa hukum menuntut penghentian proses pidana dan pemulangan segera ke negara asal guna menjaga hubungan baik Indonesia – Papua Nugini.

“Kami tidak akan mundur, oknum pejabat yang diduga memeras harus dicopot. Ini memalukan, mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia,” tegas Anton.

Sebelumnya, Kepala Kantor Imigrasi Jayapura Sutejo dalam keterangan persnya mengatakan pengawasan terhadap WNA di Jayapura sangat ketat.

Hingga kemudian, Intelijen keimigrasian berhasil mengamankan 8 orang asing asal PNG yang diduga masuk ke Jayapura tanpa dokumen keimigrasian.

Dijelaskan, kedelapan WNA asal PNG diamankan di Hotel Maxone Jayapura yang kemudian dibawa ke kantor Imigrasi untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

“Jadi, berdasarkan hasil pemeriksaan mereka masuk melalui jalur tidak resmi di perbatasan Skouw,” bebernya.

Sutejo menegaskan pula bahwa kegiatan ini dilaksanakan sebagai bagian dari pengawasan terhadap aktivitas orang asing di wilayah Keimigrasian.

Penahanan ke 8 WNA PNG tersebut di Hotel Maxone Jayapura selanjutnya dilakukan pemeriksaan dokumen keimigrasian legal yang masuk ke Indonesia.

Sementara 4 orang berinisial MM, CN, SK dan DY masuk melalui jalan “tikus” tanpa melalui pemeriksaan dokumen keimigrasian.

Satu lagi WNA berinisial AL masuk melalui PLBN Skouw pemeriksaan keimigrasian bersama ketiga rekan lainnya yaitu JT, AK dan NT yang diduga bersembunyi di dalam mobil.

Sementara itu, Roy Rumayauw selaku Kasi Tikim Imigrasi Jayapura juga merespon soal mencuatnya dugaan isu pemerasan oleh oknum petugas Kanim setempat.

“Terkait hal ini saya baru mengetahui, lebih jelas nanti saya konfirmasi setelah menyampaikan kepada pimpinan,” responnya melalui pesan singkat WA, Sabtu (28/6/2025).

Kasus ini tentu menjadi pukulan keras bagi citra penegakan hukum Indonesia, terutama dalam perlindungan tamu negara sahabat.

Apalagi Jika benar ada pemerasan berjubah penegakan hukum, maka masyarakat pantas meminta keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.

EHO

Exit mobile version