as

Soal Maraknya Aksi Demo Tuntut Hak Politik OAP, Begini Tanggapan Intelektual Sorong

Tokoh Intelektual Sorong Origenes Nauw / Foto : Ist
Tokoh Intelektual Sorong Origenes Nauw / Foto : Ist

Koreri.com, Sorong – Penyampaian aspirasi yang dilakukan beberapa orang dalam demo menuntut adanya kursi bagi orang asli Papua (OAP) ditanggapi serius Origenes Nauw, salah seorang tokoh intelektual Kota Sorong.

Dalam keterangannya kepada awak media di Sorong, Selasa (12/3/2024), Origenes mengakui bahwa sesungguhnya aspirasi itu sangat baik terutama sekali dalam era demokrasi saat ini.

Menurutnya, sejak Undang-undang (UU) Otonomi Khusus diberlakukan yang mana semangat regulasi tersebut adalah dibuat untuk memproteksi hak-hak dasar OAP terutama dalam bidang politik.

“Kalau masyarakat menghendaki hal itu, maka sangat dipahami bahwa orang Papua harus ada di kursi parlemen atau di DPR-RI atau di DPD RI,” bebernya.

Hanya saja, diakui Origenes, bahwa persoalannya adalah proses penyampaian aspirasi ini sudah di penghujung ketika seluruh proses tahapan itu sudah selesai dan hanya menunggu hasil penetapan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota.

Ia kemudian menyebabkan beberapa hal yang harus perlu diperhatikan yaitu dari segi perundang-undangan.

Dalam hal ini, ada UU yang berlaku secara nasional, ada UU partai, UU Pemilu tapi juga ada UU Otsus di Tanah Papua.

“Ini menjadi dilematis karena kita di Papua menghendaki UU Otsus itu menjadi payung hukum dalam rangka menjamin hak-hak politik kita orang asli Papua tapi hari ini Pemerintah pusat belum melihat itu sebagai salah satu dasar hukum,” beber Origenes.

Pusat kata dia, cenderung menggunakan UU pemilu dan UU partai politik secara nasional.

“Maka itu sebabnya terjadi seperti ini (demo),” sambungnya.

Origenes tak menampik jika aspirasi soal tuntutan akan hak politik OAP munculnya terlambat.

“Menurut saya ini terlambat untuk tahun 2024 ini kita bersuara menuntut hak-hak politik orang Papua di parlemen di pusat,” cetusnya.

Origenes menilai bahwa aspirasi itu seharusnya sudah disuarakan pada saat proses rekrutmen.

“Seharusnya kita mulai pada saat rekrutmen dimana seluruh pemangku kepentingan adat berkomunikasi dengan Pemerintah daerah dan partai politik supaya mengkanalisasi aspirasi itu secara benar entah itu partai A sampai Z itu harus ada komitmen secara jelas,” nilainya.

Dengan begitu, pada saat rekrutmen yang dicalonkan itu paling tidak mayoritas adalah OAP.

“Kalau tidak, maka seperti yang hari ini kita lihat adalah permainan sistem proporsional terbuka yang bebas di lapangan. Dimana siapa kuat maka dia dapat,” paparnya.

“Dan hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa hari ini siapa yang sedang bertarung memperebutkan kursi ini adalah orang-orang yang kuat secara finansial. Itu sebabnya jika memaksakan orang Papua masuk, pada prinsipnya keuangan kita sangat lemah. Karena fakta di lapangan orang main uang,” bebernya.

“Rakyat punya bargaining untuk satu suara saja berapa? Besar sekali. Dan semua yang terpilih ini adalah orang yang main uang. Itu sudah pasti. Nah, dalam bagian yang itu, boleh dikatakan kita anak-anak Papua ini paling tidak punya persiapan yang cukup. Jadi kalau sekarang kita lihat saudara-saudara kita Nusantara mendominasi, itu bukan karena diskriminasi. Karena mereka mengikuti rule-nya atau aturannya,” sambung Origenes.

Untuk itu, agar kedepannya tidak terjadi maka yang harus diperhatikan adalah membenahi peraturan perundang-undangan. Mulai dari UU tentang sistem penyelenggaraan Pemilu, UU partai politik, juga UU tentang Otsus.

“Ini harus dibahas kembali jauh sebelum Pemilu 2029. Saat itu seluruh kesempatan diberikan kepada orang Papua untuk Pemilu diisi, sedang afirmasi diberikan kepada orang Nusantara. Jadi yang 5 – 10 orang itu dikasih ke Nusantara. Yang 30 – 35 orang itu Papua dengan Papua yang bertarung. Kita rubah itu, kita balik supaya jangan orang Papua yang tidak punya kesiapan finansial ini disuruh bertarung dengan orang Nusantara yang sudah punya finansial yang kuat,” tandasnya.

Origenes pun mengapresiasi mereka yang terus bersuara soal tuntutan keberpihakan kepada hak-hak politik orang Papua.

“Saya pikir saudara-saudara yang datang (demo) itu bukan sendiri. Mereka itu adalah orang yang mempunyai keberanian moral poltik untuk bersuara. Jadi kita sangat menghargai itu. Mereka itu mencerminkan suara orang asli Papua yang hari ini diam di mana-mana. Maka kita harus mendorong Pemerintah agar bagian ini yang menjadi masalah politik yang krusial di daerah segera disikapi karena berpotensi sebagai bom waktu yang kemudian akan meledak pada momentum yang pas. Dan kita harap itu tidak terjadi karena akan masif mempengaruhi stabilitas daerah karena menjadi tuntutan yang sama di 6 provinsi se-Tanah Papua,” pungkasnya.

ZAN