as

Provinsi Maluku Peringkat 4 Termiskin di Indonesia

Provinsi Maluku Termiskin ke 4 di Indonesia

Koreri.com, Ambon – Provinsi Maluku termasuk dalam peringkat keempat sebagai daerah termiskin se-Indonesia sesuai dengan hasil dari segi pengeluaran.

Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku dalam mengatasi kemiskinan yang terjadi di daerah ini, banyak hal yang harus lakukan dalam perubahan sistem atau dinamika yang ada sekarang ini.

Sementara berdasarkan kemiskinan ekstrim, Maluku menempati posisi kelima terbawah se-Indonesia.

Belum lama ini, “prestasi” baru kembali ditorehkan Maluku sebagai provinsi dengan peringkat kedua nasional atas ketidakcukupan gizi masyarakat.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Maritje Pattiwaellapia mengatakan, kemiskinan ekstrim didefinisikan sebagai mereka yang pendapatannya di bawah US$ 1,9 per kapita per hari.

“Kita setarakan dengan nilai rupiah (menjadi) Rp 11.924 per kapita per hari. Kalau per bulan Rp 362.692. Jadi kalau (pendapatan) sudah dibawah itu, seseorang dia dikatakan miskin ekstrim,”ucapnya.

Maka dari itu Pemerintah Provinsi Maluku melalui Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Maluku menggelar kegiatan Coffee Morning bersama awak Media di kota Ambon, yang berlangsung di The View cafe, Jln. Piru Iya (Depan Kantor DPRD Provinsi). Karang Panjang Ambon,(3/12/2024).

Dengan tema “Refleksi Pembangunan Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Maluku Tahun 2024.”

Menurutnya, kemiskinan ekstrim itu dinamis. Ketika orang yang dengan kemiskinan ekstrim kronis mendapat bantuan dari pemerintah, dia akan bangkit. Namun, bisa terpuruk kembali lantaran tidak memiliki pendapatan atau hal lainnya.

Dalam Coffee Morning tersebut, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pattimura (Unpatti) Prof. Teddy Christianto Leasiwal, mengatakan, kemiskinan ekstrim kalau dilihat dari perspektif Bank Dunia menggunakan ukuran standar pengeluaran seseorang dalam hal konsumsi.

Menurut dia, kemiskinan ekstrim didasari pada kondisi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dengan baik. Sanitasi, kebutuhan pangan, akses kesehatan dan pendapatan atau akses berusaha semuanya tidak terpenuhi dengan baik.

“Itu menyebabkan terjadinya kemiskinan ekstrim. Nah, akibat dari tidak terpenuhinya semua itu orang jadi tidak punya uang yang sesuai standar (Rp 362.692 per bulan) itu,”terang Leasiwal.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dan Bisnis Unpatti itu menyarankan agar kemiskinan ekstrim diatasi dengan adanya intervensi pemerintah lewat penyediaan sanitasi yang baik bagi keluarga.

Selain itu, akses pendidikan ditingkatkan dan pemberian makanan gratis dilaksanakan untuk meningkatkan kecukupan gizi keluarga.

“Kalau intervensi itu terpenuhi barulah bisa ditetapkan standar (pengeluaran),” ujarnya.

Namun, imbuhnya, bila kondisinya adalah seseorang bisa makan dengan baik tanpa mengeluarkan uang, atau nilai makanannya ketika dikonversi tidak sebesar Rp 362.692 yang menjadi standar pengeluaran, lantas dia dianggap berada pada kondisi miskin ekstrim, maka pemerintah harus mengintervensi dengan menyediakan infrastruktur.

“Dirinya berharap, ada intervensi pemerintah lewat infrastruktur yang dibuka, sehingga ada akses orang untuk bekerja, kesehatan, dan dapat makan dengan baik, tentu kemiskinan ekstrim akan berkurang,” tandasnya.

Sesungguhnya, patokan standar pengeluaran Rp 362.692 per orang per bulan tidak linier dengan kondisi sebagian besar masyarakat Maluku yang bermukim di pegunungan, di mana mereka ini dikategorikan miskin ekstrim.

Faktanya, wilayah pegunungan merupakan daerah produksi, dimana semua masyarakatnya hidup dari bertani.

Masyarakat pegunungan bisa hidup tanpa mengeluarkan uang, lantaran stok makanan dari hasil berkebun atau berladang tersedia di dalam rumah.

Kalaupun ada jenis makanan tertentu yang mereka inginkan, namun tidak tersedia di dalam rumah, bisa diperoleh lewat jalan barter.

Diketahui, standar pendapatan di bawah US$ 1,9 per kapita per hari merupakan definisi kemiskinan ekstrem yang ditetapkan oleh Bank Dunia pada 2011.

Namun, sejak 2022, Bank Dunia mengubah standar kemiskinan menjadi US$ 3,2 per kapita per hari. Perubahan ini didasarkan pada angka Paritas Daya Beli atau Purchasing Power Parity (PPP) 2017, yang menggantikan PPP 2011.

BKL