Menguak Polemik Pemindahan Kotak Suara di Tanimbar: Dugaan Inprosedural KPU

Paslon barsih Broo Kampanye 3 Desa Wertamrian
Calon Wakil Bupati Tanimbar nomor urut 1 Henrikus Serin / Foto : Novi

Koreri.com, Saumlaki – Henrikus Serin, mantan Ketua Bawaslu Maluku Tenggara Barat (sebelum berganti nama menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar pada 2019) mengungkap kejanggalan dalam pemindahan 40 kotak suara dari Kecamatan Selaru ke Saumlaki oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.

Ia menyebut tindakan itu tidak sesuai prosedur dan memunculkan pertanyaan terkait independensi penyelenggara Pemilu.

Menurut Serin, kotak suara tersebut dipindahkan dari Desa Adaut, ibu kota Kecamatan Selaru ke Kantor KPU di Saumlaki untuk dilakukan rekapitulasi tingkat kecamatan.

Namun, setelah sampai di Saumlaki, kotak suara itu dikembalikan lagi ke Desa Adaut untuk proses rekapitulasi yang seharusnya dilakukan sejak awal.

“Saya tidak menandatangani Berita Acara Rapat Koordinasi (Rakor) yang digelar KPU pada 30 November 2024 lalu karena saya menilai langkah tersebut inprosedural. Kotak suara yang belum direkapitulasi sudah dipindahkan ke Saumlaki, dan Rakor baru dilakukan setelah kotak suara itu ada di kantor KPU,” ungkap Serin.

Mengapa Disebut Inprosedural?

Serin menjelaskan, KPU Tanimbar seharusnya mengambil keputusan secara mandiri, bukan berdasarkan informasi dari pihak eksternal seperti Polres atau Penjabat Bupati.

Informasi yang menyebut potensi kerusuhan di Desa Adaut, menurutnya, tidak berdasar.

Faktanya, wilayah tersebut aman tanpa tanda-tanda konflik.

“Mengacu pada PKPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan, penyelenggara pemilu harus mematuhi prinsip-prinsip seperti mandiri, jujur, adil, dan profesional. Namun, KPU justru memindahkan kotak suara tanpa verifikasi lapangan. Mereka seharusnya turun langsung ke Desa Adaut untuk memastikan kondisi sebenarnya sebelum mengambil keputusan,” tegasnya.

Kritik terhadap Proses Pemindahan

Serin menyoroti bahwa kotak suara yang merupakan dokumen negara tidak seharusnya dipindahkan sembarangan, apalagi tanpa pengawalan saksi dari pasangan calon kepala daerah.

“Pemindahan kotak suara hanya dibenarkan jika ada kejadian luar biasa seperti kerusuhan atau bencana alam. Namun, di Desa Adaut, tidak ada kondisi tersebut,” tambahnya.

Serin juga mempertanyakan alasan di balik keputusan KPU yang mengutamakan informasi dari lembaga eksternal.

Baginya, hal ini berpotensi melanggar prinsip kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu. Tindakan ini dinilai tidak transparan dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses pemilu di Tanimbar.

Pelajaran dari Kasus Selaru

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya menjaga integritas dalam setiap tahapan pemilu. KPU sebagai lembaga penyelenggara harus memastikan seluruh prosedur dijalankan sesuai aturan untuk mencegah munculnya polemik yang bisa merusak kepercayaan masyarakat.

Transparansi dan kemandirian dalam pengambilan keputusan menjadi kunci agar proses demokrasi berjalan dengan baik.

Henrikus Serin berharap agar kejadian seperti ini tidak terulang dan penyelenggara pemilu di Tanimbar lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.

“Pemilu bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri,” tutupnya.

NKT