Koreri.com, Yogyakarta – Akhir-akhir ini, kembali rakyat disuguhkan dengan perilaku oknum Lembaga Plat Merah yang merampok uang negara secara membabi buta.
Bahkan banyak meme yang bertebaran di media sosial yang memotret kejahatan white-collar crime ini dengan membuat ilustrasi Liga Korupsi Indonesia yang menampilkan oknum dari Lembaga-lembaga yang berlomba-lomba dalam berperilaku korup.
Jumlah uang negara yang dikorupsi sangat fantastis bahkan ada yang hampir menyentuh kuadrantriliun.
Fakta ini sungguh ironis ditengah gempuran biaya hidup yang dikeluhkan masyarakat semakin mahal, gas melon yang susah dicari, nelayan yang sulit mencari ikan akibat lautnya dipagari, bahkan jutaan buruh yang terkena PHK masal atas nama efisiensi.
Sungguh kenyataan ini seolah mengusik nurani karena terpampang jelas aura ketidakadilan di negeri yang konon katanya tanahnya subur dengan hasil bumi yang melimpah ruah, namun dijarah oleh gerombolan oknum yang memperkaya diri dan kelompoknya sendiri.
Perilaku korupsi seolah telah menjadi virus yang semakin hari semakin melemahkan kesehatan negeri ini, bahkan interupsi rakyat melalui pekikan tagar #IndonesiaGelap seolah belum cukup menjadi alarm untuk mengingatkan para elite untuk melakukan taubat nasional. Justru seolah-olah aktor-aktor korupsi silih berganti hadir menghiasi layar kaca dengan berbagai temuan hasil korupsinya.
Model Teoritik Korupsi
Para ilmuwan telah mengidentikkan perilaku korupsi ini dengan tindakan kecurangan (Fraud), misalnya The Fraud Diamond Theory yang dikemukakan oleh Wolfe & Hermanson (2004), terdapat 4 faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku korup, yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalization), dan kapabilitas (capability).
Sementara itu, Bologne (1995) menemukan GONE Theory, yang merupakan paduan dari empat kata: Greedy (rakus, tidak pernah puas), Opportunity (kesempatan/peluang karena celah aturan), Need (kebutuhan atau tekanan seseorang untuk akhirnya korupsi), dan Exposure (pengungkapan atas kasus korupsi yang tidak memberikan efek jera bagi pelakunya).
Ke-dua model teoritik tersebut menyiratkan bahwa orang berperilaku korupsi karena dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dirinya, yaitu adanya sikap rakus, tamak, tidak pernah puas terhadap apa yang telah dimiliki, serta mempersepsikan bahwa korupsi adalah suatu yang lumrah. Sementara faktor eksternal sangat terkait dengan adanya kesempatan dan kemampuan suatu jabatan, wewenang, otoritas, kedudukan, atau pengetahuan atas suatu sistem yang ada yang dapat menjadi faktor pendorong seseorang melakukan tindak kecurangan.
Selain itu lingkungan yang korup menjadi faktor eksternal yang menguatkan konformitas individu untuk berperilaku korup sebagaimana yang dilakukan oleh coleganya.
Upaya Pencegahan & Intervensi Perilaku Korupsi
Klitgaard (1998) menemukan formula untuk mencegah dan mengintervensi perilaku korupsi dengan formula C = M + D – A; yaitu C=Coruption, M=Monopoly, D=Disrection of officials, dan A=Accountability, yang selanjutnya dikenal dengan The Fraud Theory. Korupsi secara sistemik di suatu Lembaga dapat terjadi akibat adanya monopoli yang dilakukan pemerintah ditambah dengan besarnya kewenangan melakukan diskresi yang diberikan pada pejabat pemerintahan.
Namun demikian, korupsi dapat dicegah atau dikurangi dengan adanya akuntabilitas, sehingga memperkecil seorang oknum untuk berperilaku korupsi.
Akuntabilitas dapat dilakukan dengan cara membangun suatu sistem yang transparan dan berkeadilan yang memungkinkan pihak internal maupun eksternal dapat melakukan pengawasan.
Sistem ini bisa berupa tata laksana transaksi keuangan yang jelas maupun dapat diaplikasikan secara digital yang tercatat dan akuntabel.
Meskipun demikian, apabila secara pendekatan secara sistemik sudah tidak mampu lagi dilakukan karena sudah sangat bobroknya nilai moral di suatu Lembaga, maka benteng terakhir upaya pemberantasan korupsi adalah membangun integritas secara pribadi.
Nilai integritas berfungsi sebagai kompas moral yang memandu seseorang untuk selalu berbuat baik meskipun diawasi maupun tidak diawasi oleh siapapun.
Orang yang memiliki integritas akan berpegang teguh pada landasan moral dan dorongan batin yang dikelola oleh proses kognitif dan afektif, sehingga memiliki kepribadian jujur dan kuat (Barnard dkk, 2008).
Orang yang memiliki integritas akan menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidupnya, sehingga probabilitas untuk melakukan tindakan kecurangan sangat rendah.
Tentunya, menciptakan generasi yang memiliki integritas tinggi dapat diawali dari lingkungan keluarga dan pendidikan yang baik. Semakin banyak orang yang memiliki integritas tinggi berkesempatan untuk mendapatkan jabatan public, maka perilaku korupsi yang sudah merebak ibarat suatu virus penghancur dapat diamputasi.
Penulis :
Dosen Psikolog
Universitas‘Aisyiyah Yogyakarta *)