Koreri.com, Manokwari – Penyandang disabilitas di Papua Barat selama ini telah menunjukkan semangat luar biasa dalam berolahraga, namun ekosistem pembinaan mereka masih jauh dari kata ideal.
Dalam konteks ini, langkah Komisi II DPR Provinsi Papua Barat yang mendukung penyelenggaraan Musyawarah Provinsi (Musprov) NPCI setempat patut diapresiasi dan bahkan dipercepat realisasinya.
Musprov bukan sekadar rutinitas organisasi. Giat ini adalah tonggak penting dalam membangun kelembagaan yang adaptif, profesional, dan selaras dengan kebutuhan riil para atlet difabel di daerah.
Ketua Komisi II DPRP Papua Barat, H. Ahmad Kuddus, pada Kamis (1/5/2025) yang lalu telah menyuarakan dukungan agar proses penyegaran kepengurusan NPCI segera difasilitasi.
Ini bukan hanya komitmen politik, tetapi bentuk nyata penghormatan terhadap hak-hak penyandang disabilitas.
Namun, dukungan legislatif tidak cukup. Komitmen eksekutif, dalam hal ini Pemerintah daerah melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Papua Barat juga harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret.
“Sebab kebutuhan pembinaan sangat mendesak, terutama terkait program pusat untuk perekrutan bibit atlet baru dari tujuh kabupaten: Fak-Fak, Kaimana, Wondama, Bintuni, Pegaf, Manokwari, dan Manokwari Selatan,” demikian disampaikan Ketua NPCI Papua Barat, Benone Rahaor, kepada Koreri.com, Minggu (4/5/2025).
Ia menekankan bahwa program ini menyasar 60 penyandang disabilitas usia 18–24 tahun yang sama sekali belum mengenal olahraga sebelumnya.
“Ini berarti, kita sedang berbicara tentang masa depan olahraga disabilitas Papua Barat dari nol, sebuah tugas besar yang tak bisa dibiarkan NPCI bekerja sendiri. Pemerintah daerah wajib turun tangan, bukan hanya soal anggaran, tapi juga soal komitmen moral,” imbuh Rahaor.
Menariknya, para bibit atlet ini tidak akan langsung ditentukan cabang olahraganya secara lokal. Penentuan itu akan dilakukan oleh panitia pusat berdasarkan hasil seleksi dan potensi yang ditemukan.
Artinya, peran daerah adalah membuka pintu seluas-luasnya untuk menjaring dan mendampingi mereka yang berpotensi, sebelum diserahkan kepada mekanisme nasional.
Hingga kini, belum ada langkah nyata menyentuh para bibit atlet ini.
Maka menjadi wajar jika NPCI Papua Barat meminta agar Pemerintah serius menopang program ini. Apalagi waktu semakin sempit menjelang batas Desember 2025.
“Jika terlambat, kita akan kehilangan kesempatan emas untuk memunculkan generasi baru atlet disabilitas yang tangguh dan berprestasi,” sambungnya.
Lebih cepat, lebih baik. Sinergi antara legislatif, eksekutif, dan organisasi olahraga disabilitas bukan hanya soal merancang program, tapi juga soal membangun peradaban yang lebih inklusif.
Olahraga disabilitas bukan sekadar ajang adu fisik, tetapi panggung perjuangan martabat.
Sebagaimana tertulis dalam 1 Korintus 12:22-23, “Malahan, justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan. Dan kepada anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita berikan penghormatan khusus”.
“Ayat ini menjadi pengingat bahwa mereka yang selama ini dipandang lemah justru pantas mendapatkan perhatian dan penghormatan lebih besar dalam masyarakat kita,” tegasnya.
Dukungan terhadap NPCI dan para atlet disabilitas bukan hanya agenda sosial atau politik, tapi juga wujud nyata dari kasih Kristiani.
“Ini adalah bentuk keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia seperti yang Tuhan kehendaki,” pungkas Rahaor.
NKTan