Koreri.com, Selaru – Sebuah surat kuasa yang diteken oleh sejumlah tokoh di Desa Adaut, Kecamatan Selaru, mengundang sorotan publik.
Dokumen itu memberi kewenangan kepada Lukas Uwuratuw untuk mewakili masyarakat dalam mengurus lahan seluas 700 hektar (Ha) di kawasan Wesoan, Arin Kulambu, dan Babifeun.
Tapi di balik kertas yang tampak resmi itu, muncul tanda tanya besar: apakah benar masyarakat sudah sepakat?
Surat bertanggal 8 April 2025 ini ditandatangani oleh Kepala Desa, Sekdes, Ketua dan Sekretaris BPD, tokoh adat, hingga seorang perwakilan pemilik lahan. Dan isinya : pemberian kuasa penuh kepada Lukas untuk mengurus lahan atas nama masyarakat.
Tapi investigasi redaksi bersama pakar hukum adat sekaligus putra daerah, Yohanis Laritmas, menemukan sejumlah kejanggalan.
Belum Ada Kesepakatan Kolektif
“Surat ini tidak bisa dibilang sah secara hukum adat,” ujar Yohanis.
Ia menegaskan, dalam tradisi Tanimbar, tanah ulayat bukan milik individu, tapi milik bersama soa (mata rumah).
“Kalau belum semua pihak diajak bicara dan belum ada kata sepakat, ya tidak bisa dilanjutkan. Itu prinsipnya,” tegas Yohanis.
Menurutnya, pemberian kuasa semacam ini seharusnya didahului dengan musyawarah besar yang melibatkan seluruh pemilik hak ulayat.
“Kalau masih ada pro dan kontra, lebih baik dihentikan dulu. Ditinjau ulang,” desak Yohanis.
Ia juga mengingatkan soal prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) yaitu hak dasar masyarakat adat untuk mengetahui, memahami, dan memutuskan secara bebas tanpa tekanan.
“Pertanyaannya sederhana: sudahkah masyarakat tahu isi dan dampaknya? Sudahkah mereka setuju tanpa dipaksa?” tanyanya.
Kejanggalan dalam Surat Kuasa
Beberapa hal yang disorot dari dokumen ini antara lain:
Tidak ada rincian kompensasi
Dalam dokumen tak tercantum ganti rugi atau nilai tukar hak tanah. Hanya disebut “sesuai kesepakatan” tanpa kejelasan mekanisme.
Status Penandatangan Tidak Dijelaskan
Tidak ada kejelasan apakah para penandatangan benar-benar mewakili semua soa yang memiliki hak atas tanah.
Tidak ada bukti musyawarah masyarakat
Tak ditemukan berita acara, daftar hadir, atau dokumentasi keterlibatan masyarakat luas.
Kepala Desa: “Bukan untuk Jual Tanah”
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Adaut Alfaris Titirloloby, membantah bahwa surat kuasa itu untuk menjual tanah.
“Bukan untuk jual. Itu hanya surat agar Pak Lukas bisa urus rencana KEK Selaru di Jakarta. Salah satu syaratnya harus tunjukkan ada lahan 700 hektar,” klaimnya.
Alfaris menegaskan bahwa surat itu tidak memberi wewenang menjual tanah.
“Kades tidak bisa jual tanah orang. Itu hak soa masing-masing. Kami hanya bantu urus proses administrasi,” tegasnya.
Camat Selaru: “Belum Ada Penjualan”
Hal senada disampaikan Camat Selaru Gustav Romroma. Ia mengatakan surat itu lebih sebagai pengantar agar Lukas bisa berbicara mewakili desa di tingkat Kementerian.
“Saya sudah baca suratnya. Intinya, mereka sedang proses koordinasi soal KEK. Sampai sekarang belum ada penjualan tanah. Masih tahapan awal,” ujarnya.
Lukas Uwuratuw: “Saya Cuma Mau Bantu Perjuangkan KEK Selaru. Saya Tidak Pernah Bicara Soal Jual Tanah”.
Tokoh Masyarakat Selaru Lukas Uwuratuw, menjelaskan secara panjang lebar terkait rencana strategis pengembangan kawasan ekonomi di Selaru dan Adaut, yang saat ini sedang diperjuangkannya demi masa depan masyarakat di wilayah tersebut.
Dalam wawancara via telepon pada Selasa (20/5/2025), ia mengungkapkan bahwa inisiasi ini bermula saat kunjungan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia ke Ambon.
Dalam pertemuan itu, sejumlah tokoh Partai Golkar membahas keputusan Presiden yang menetapkan pengelolaan Blok Masela dengan skema onshore (di darat), berlokasi di Desa Lermatang, Pulau Yamdena.
“Waktu itu saya tanya, orang Selaru dapat apa? Maka saya ajukan usulan agar Selaru ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),” ujar Uwuratuw.
Menurutnya, penetapan KEK akan membawa berbagai insentif fiskal dan nonfiskal yang dapat menarik investasi dan mendorong pertumbuhan sektor industri, pariwisata, logistik, hingga teknologi di Selaru.
Salah satu langkah konkret adalah wacana pembangunan kawasan hilirisasi di atas lahan seluas 700 Ha, sebagaimana disampaikan langsung oleh Menteri Bahlil.
“Kalau ada lahan 700 Hektar yang jauh dari permukiman, maka kita akan bangun kawasan hilirisasi di Selaru,” kata Uwuratuw mengutip pernyataan Menteri.
Ia juga memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, pengelolaan Blok Masela bisa menyebabkan penyusutan tenaga kerja. Oleh karena itu, pengembangan kawasan hilirisasi menjadi langkah penting untuk membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Tanimbar.
Setelah pertemuan tersebut, Uwuratuw kembali ke Adaut untuk meminta legitimasi dari masyarakat dan pemerintah desa.
Melalui pengacaranya, Cartes Rangotwat, ia mengirim surat kepada kepala desa, pemangku adat, dan pemilik lahan, untuk menggelar rapat bersama pada 8 April di Balai Desa Ngri Mase.
“Saya tidak meminta tanah 700 hektare itu untuk dijual. Saya hanya meminta legitimasi untuk berbicara mewakili masyarakat pada semua jenjang stakeholder,” tegasnya.
Uwuratuw juga menekankan bahwa meskipun lahan itu merupakan milik soa-nya, Kelane, ia sama sekali tidak memiliki hak untuk menjualnya.
“Jangan salah menafsirkan surat kuasa itu. Saya tidak punya satu meter pun hak untuk menjual tanah tersebut,” ujarnya menegaskan.
Dalam rapat pertama, Ketua BPD Atiti Lodarmase menyatakan bahwa pihaknya perlu menggelar rapat lanjutan bersama masyarakat. Rapat kedua pun digelar oleh BPD dengan mengundang RT/RW, perwakilan dari 10 soa, lembaga adat, dan dihadiri sekitar 100 orang.
Hasilnya, Lukas Uwuratuw diberi wewenang sebagai tokoh masyarakat sekaligus Ketua Umum Forum Pembentukan KEK Selaru untuk mengurus proses pengembangan kawasan hilirisasi, dengan catatan harus tetap berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
“Meskipun saya diserang oleh beberapa kelompok, saya tetap diam. Saya tidak pernah berbicara soal menjual tanah. Kalau nanti ada investor yang mau membeli, silakan berurusan langsung dengan pemilik petuanan, 10 soa, dan pemerintah desa. Saya hanya berjuang demi masa depan orang Tanimbar,” pungkasnya.
Seruan Kritis: “Jangan Ulangi Sejarah Kelam”
Meski dibungkus niat baik, banyak pihak meminta proses ini ditinjau ulang. “Sudah banyak contoh, tanah adat hilang diam-diam karena dokumen seperti ini,” kata Yohanis Laritmas.
“Jangan sampai masyarakat dikorbankan atas nama pembangunan.” Sambungnya.
Yohanis menegaskan, tanah ulayat bukan sekadar aset, tapi identitas dan warisan hidup masyarakat adat.
“Ini bukan soal surat, tapi soal masa depan generasi,” pungkasnya.
NKTan