Koreri.com, Timika – Masyarakat adat pemilik hak ulayat di areal pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI) bersama warga terdampak permanen dari wilayah Tembagapura, Tsinga, Arwanop, Waa/Banti dan sekitarnya, mendesak Pemerintah pusat untuk segera membuka transparansi pengelolaan saham 10 persen hasil Perusahaan tersebut yang dijanjikan bagi masyarakat Papua.
Desakan itu disampaikan melalui pernyataan sikap resmi Forum Masyarakat Adat Pemilik Hak Ulayat dan Masyarakat Berdampak Permanen Areal Freeport Indonesia yang ditujukan langsung kepada Presiden RI Prabowo Subianto, Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani, dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, di Jakarta.
Dalam pernyataannya, masyarakat adat Papua secara langsung menyoroti ketidakjelasan soal saham 10 persen.
Mereka menyatakan kekecewaan karena hingga kini atau delapan tahun setelah pengambilalihan 51 persen saham PTFI oleh Pemerintah Indonesia pada 2018 lalu, belum juga ada kejelasan mengenai realisasi dan pembagian deviden saham 10 persen yang dijanjikan untuk Papua.
Mereka juga menilai, meskipun saham tersebut secara administratif dikelola melalui PT Papua Divestasi Mandiri (PDM) dan MIND ID (PT Indonesia Asahan Aluminium), namun tidak ada laporan terbuka mengenai posisi saham, jumlah deviden yang diterima, maupun mekanisme distribusi hasil kepada masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah tambang.
“Kami belum pernah melihat laporan keuangan, pembagian deviden, atau penjelasan resmi tentang dana hasil saham 10 persen itu. Informasi yang kami peroleh, dana tersebut justru dikelola dan disimpan di Jakarta tanpa kontrol dari perusahaan daerah Papua,” demikian isi pernyataan yang diterima Redaksi Koreri.com, Rabu (29/10/2025).
Forum adat itu juga menuding kebijakan Kementerian Investasi dan Kementerian ESDM mengabaikan semangat Otonomi Khusus Papua dan prinsip keadilan sosial bagi orang asli Papua.
Mereka menilai, pengelolaan dana hasil tambang yang tidak transparan adalah bentuk pengabaian terhadap hak masyarakat pemilik tanah adat.
“Jika benar deviden selama hampir delapan tahun ini disimpan di Jakarta tanpa akuntabilitas publik, maka itu berarti hak masyarakat Papua telah dilucuti secara diam-diam,” tegas perwakilan forum adat.
Forum masyarakat adat juga mengutip sejumlah dasar hukum, antara lain UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (dan perubahannya, UU No. 2 Tahun 2021); Perdasus Papua No. 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; U No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba); serta hasil mediasi Ombudsman RI Tahun 2021 yang menegaskan keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan saham melalui PT Papua Divestasi Mandiri (PDM).
Namun, hingga kini, keputusan strategis terkait saham tersebut dinilai masih terpusat di Jakarta melalui MIND ID dan Kementerian teknis.
Melalui pernyataan sikap ini, masyarakat adat menyampaikan tiga tuntutan utama:
1. Kepada Presiden RI Prabowo Subianto :
Memerintahkan audit nasional atas pengelolaan saham 10 persen PT Freeport Indonesia, termasuk laporan deviden, posisi dana, dan distribusi manfaat bagi masyarakat adat.
2. Kepada Menteri Investasi dan Menteri ESDM :
Memindahkan pengelolaan saham dan deviden ke Papua melalui PT PDM serta melibatkan langsung masyarakat adat pemilik hak ulayat dalam struktur pengambilan keputusan.
3. Kepada PT Freeport Indonesia dan MIND ID:
Membuka laporan keuangan dan pembagian hasil secara transparan di hadapan publik Papua, serta melibatkan lembaga adat dalam penentuan penggunaan deviden dan investasi sosial.
Masyarakat adat dalam pernyataannya juga menegaskan bahwa tuntutan mereka bukan bentuk penolakan terhadap investasi atau pembangunan nasional, melainkan dorongan untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat pemilik tanah tambang.
“Tanah kami sudah diambil, gunung kami digali, dan hutan kami rusak. Sekarang hasilnya pun di tahan di luar Papua. Kami minta Presiden Prabowo bertindak tegas agar hak masyarakat adat dikembalikan,” bunyi pernyataan itu.
Diharapkan agar pemerintah pusat tidak menutup mata terhadap aspirasi rakyat Papua yang selama ini menjadi bagian penting dari sejarah pertambangan nasional.
EHO













