Terkait Penembakan 2 Guru di Puncak, Ini Pernyataan Sikap Presiden GIDI

Presiden GIDI Pdt. Pdt
Pdt. Dorman Wandikbo. Foto: Istimewa

Koreri.com, Jayapura – Presiden GIDI Pdt. Dorman Wanimbo menyampaikan keprihatinan dan turut berduka cita yang mendalam atas meninggalnya dua guru, yang menjadi korban aksi penembakan di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua.

Keduanya masing-masing Oktovianus Rayo (43) dan Yonatan Raden (28).

Penembakan dua orang guru tersebut terjadi dalam dua hari dan di lokasi yang berbeda.

Di hari pertama Kamis (8/4/2021), penembakan terjadi atas Oktovianus Rayo. Di hari kedua Jumat (9/4/2021), Yonatan Raden di Kampung Ongolan, Distrik Beoga.

Sikapi aksi itu, Presiden GIDI Pdt. Dorman Wanimbo menyampaikan pernyataan desakan di Jayapura, Rabu (14/4/2021).

Pertama, jangan menyakiti hati guru, bahkan menembak mati guru.  Siapa pun di tanah Papua harus menghargai, menghormati dan melayani guru dengan baik dan menjadi kerabat dalam lingkungan, karena guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Kedua, GIDI minta ditinjau kembali Nota Kesepakatan atau Memorandum of Understanding/MoU yang pernah dibuat pada tahun 2013 antara Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua dan TNI/Polri tentang TNI/Polri mengajar anak-anak sekolah di Papua.

MoU itu kemudian dilanjutkan pada tanggal 30 Januari 2020 oleh Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPPAD) Provinsi Papua Christian Sohilait, yang mengijinkan TNI/Polri untuk mengajar anak-anak di sekolah di Papua.

“Kami tokoh gereja memahami bahwa di Papua ini semua orang menjadi pejabat dimana-mana bukan melalui pengajaran dari TNI/Polri. Tapi semua dilakukan oleh guru- guru yang murni datang dengan injil, setelah itu dilatih untuk jadi guru-guru,” terangnya.

Untuk itu, desak Pdt. Dorman, MoU antara DPPAD Papua dengan TNI/Polri tentang TNI/Polri mengajar di anak-anak di sekolah di Papua perlu ditinjau kembali.

Jika MoU itu terus dilanjutkan, maka bukan hanya guru saja. Tapi semua warga akan menjadi korban.

Ketiga, institusi militer dalam hal ini TNI/Polri melakukan pelanggaran HAM di tanah Papua sepanjang 58 tahun. Hal ini membuat orang Papua mengalami traumatis.

Bukan hanya trauma bicara TNI/Polri, tapi jika mereka memakai seragam loreng saja masuk di kampung-kampung dan desa-desa membawa senjata trauma itu makin besar, mengingat tragedi-tragedi sebelumnya, apalagi mereka berdiri dan mengajar anak-anak di Papua.

“Itu sangat sulit, tapi harus membaca psikologis orang Papua. Psikologis orang Papua ini anak anak Papua kedepan akan menjadi pintar atau tidak kalau TNI yang mengajar itu harus dilihat kembali. Jangan mengambil keputusan untuk masuk sana- sini dan lain sebagainya,” desaknya.

Karena itu kecurigaan dari Dewan Gereja Papua dan juga dirinya sebagai Presiden GIDI bahwa dua guru yang menjadi korban indikasinya ke sana.

“Ini kecurigaan bukan apa tapi kecurigaan atau indikasi bahwa mereka ini mungkin karena ada yang sudah lapor atau lihat kalau mereka ini bukan murni jadi guru, tapi karena sesuatu yang menyamar jadi guru maka guru itu bisa jadi korban, walaupun kami sendiri mau supaya guru tak boleh ditembak dan lain sebagainya,” bebernya.

Hal ini, tegas Pdt. Dorman, tidak boleh terulang kembali.

Dengan demikian, Gereja minta untuk ditinjau kembali hasil keputusan MoU terkait Pemprov Papua kerjasama dengan TNI/Polri untuk mengajar di sekolah-sekolah.

“Kami juga gereja di tanah Papua tidak mau nanti anak-anak Papua yang diajarkan oleh TNI/Polri ini akan berhadapan dengan TPN/OPM. Dan tak boleh membangun jurang pemisah artinya akan jadi konflik antara orang Papua dengan orang Papua dan itu sesuatu selalu dimulai dari pendidikan dari mengajar sesuatu karena hal ini segera yang sifatnya mendesak,” pungkasnya.

SEO