as
as
as

Pembeli Batalkan Sepihak Lalu Pidanakan Developer di Jayapura, Ternyata Begini Faktanya

Kantor Pengadilan Negeri Jayapura
Kantor Pengadilan Negeri Jayapura / Foto : Ist

Koreri.com, Jayapura – Salah satu developer di Kota Jayapura I Kadek Ari Nopiantha terpaksa harus jadi pesakitan di Pengadilan Negeri Jayapura.

Padahal sesungguhnya ia menjadi pihak yang dirugikan baik secara materil maupun nama baiknya akibat pembatalan pembelian rumah secara sepihak yang dilakukan oleh teman dekatnya sendiri yaitu Jenesia Ernita Hutah (JEH).

as

Ari pun harus menjalani proses hukum dan ditahan di rutan Polda Papua atas laporan yang tidak mendasar oleh JEH.

Ia pun pasrah menjalani penahanan dengan bukti-bukti yang tidak jelas.

Kaitannya dengan persoalan tersebut, Marajohan Panggabean, S.H., M.H selaku Kuasa Hukum I Kadek Ari Nopiantha membeberkan sejumlah fakta dalam persoalan ini

Menurutnya, perkara ini sebenarnya perdata, karena memang awal dari perkara ini adalah perjanjian jual beli rumah.

’’Dalam perjanjian jual beli tersebut yang disepakati adalah pemberian rumah tipe 70 seharga Rp910 juta dengan uang muka sebesar 400 juta. Perjanjian jual beli rumah tersebut atas permintaan pembeli JEH, yang merupakan teman baik Ari Nopiantha dan istrinya,’’ terangnya saat memberikan keterangan di salah satu café ruko Dok II Jayapura, Selasa (20/8/2024).

Diakui Marajohan, JEH sering datang ke rumah dan mengetahui bahwa Ari Nopiantha adalah developer yang sedang membangun rumah di Kotaraja. Dan dia pun tertarik untuk membeli rumah tersebut sehingga meminta Ari Nopiantha untuk membangun rumah.

Tapi, sebelum dilakukan pembangunan rumah tersebut terlebih dahulu dibuat perjanjian antara Ari Nopiantha dengan JEH, dengan syarat-syarat yaitu rumah yang dibangun adalah tipe 70 seharga Rp910 juta. Sementara untuk uang muka sebesar Rp400 juta.

Setelah ditandatanganinya kesepakatan bersama, JEH langsung mengantarkan sendiri uangnya ke rumah Ari Nopiantha pada malam hari sesuai perjanjian yaitu Rp400 juta.

Kemudian, lanjut Marajohan, Down Payment (DP) rumah tersebut dibayarkan  sesuai perjanjian dan bukan atas permintaan Ari Nopiantha. Berdasarkan perjanjian yang disepakati dalam jual beli rumah dan tanah yang sudah disiapkan untuk membangun rumah dengan ukuran  7,5 × 12 meter.

Sementara lahan disiapkan untuk pembangunan, JEH meminta Ari Nopiantha untuk tipe rumahnya dirubah, bukan tipe 70 tapi tipe 110.

Karena dianggap sebagai keluarga dan sebagai developer, Ari menyetujui saja permintaan customer.

Selanjutnya Ari mengirim desain rumah tipe 110 melalui pesan WhatsApp kepada JEH yang direspon dengan membalas ’’Oke saya setuju!’’ dan hal itu pun telah diperlihatkan di persidangan bukti percakapan singkat antara Ari dengan JEH selaku pembeli.

‘’Karena ada perubahan dari Tipe 70 menjadi 110 maka konsekuensi terjadi perubahan harga, bentuk rumah lebih besar, tanah pun lebih luas. Untuk tipe 70 luas tanahnya 80m setengah namun untuk 110 tanahnya menjadi 203 m artinya lebih dua kali lipat luas tanah,’’ sambungnya.

Lanjut Marajohan, sebelum memulai pembangunan Ari telah mengirim harga rumah namun tidak ada respon dari JEH.

“Tapi menurut perkiraan Ari karena JEH telah menjawab setuju dengan desain rumahnya maka Ari berpendapat bahwa harga baru yang ditawarkan untuk tipe 110 dia disetujui JEH dan tidak ada keberatan dari yang bersangkutan,” bebernya.

Berikutnya, sambung Marajohan, ketika mengajukan penawaran harga dan tidak ada keberatan Ari selanjutnya mengurus sertifikat tanah dan sertifikat pun telah terbit dari BPN Jayapura. Setelah itu pembangunan rumah pun dimulai, diawali dengan pekerjaan talud, tiang pancang dan pondasi.

Namun anehnya, saat pembangunan rumah sementara berjalan, JEH tiba-tiba meminta untuk pembangunan dibatalkan. Bahkan dengan catatan pula, uang DP 400 juta tersebut harus dikembalikan.

’’Sementara Ari selaku kliennya menyampaikan bahwa pembangunan ini sudah ada kesepakatan awal dan sementara pembangunan, sehingga tidak bisa dikembalikan dp-nya,’’ sesalnya.

Marajohan menilai, wajar kalau Ari keberatan karena pembangunan rumah tersebut sementara dikerjakan. Kendati begitu, Ari minta untuk bersabar karena sudah dianggap keluarga.

Kuasa Hukum pun menegaskan pula terkait DP dalam peraturan perundang-undangan dikenal dengan istilah uang panjar sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1464 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan sebagai berikut:

“Jika pembelian dilakukan dengan memberi uang panjar, maka salah satu pihak tak dapat membatalkan pembelian itu dengan menyuruh pemilik mengembalikan uang panjarnya.” terangnya.

Tetapi akibat niat tidak terpuji dari JEH kemudian langsung melaporkan developer Ari Nopiantha ke Polda Papua dengan indikasi melakukan penipuan.

Menariknya, kata Marajohan, masalah ini begitu cepat sekali diselesaikan oleh penyidik Polda Papua karena dalam waktu tidak lama Ari Nopiantha ditetapkan sebagai tersangka.

Ari bahkan langsung ditangkap dan ditahan ke dalam rutan dan dijadikan sebagai terdakwa dalam waktu beberapa hari saja.

’’Kemudian masalah ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jayapura dan saat ini dalam proses persidangan dan sedang persiapan untuk putusan. Perkara ini sudah berlangsung hampir satu tahun,’’ jelasnya.

Padahal menurut Panggabean, pidana tersebut ada batas waktunya. Dan dari fakta-fakta yang ada, sebenarnya perkara ini adalah perdata berdasarkan perjanjian.

“Yang kedua ketika JEH meminta uang kembali 100 atau 150 juta dari 400 juta berarti yang dikehendaki untuk dikembalikan hanya 250 juta,” urainya.

Marajohan PanggabeanAtas permintaan tersebut istri dari Ari sudah mengembalikan 200 juta berarti sisa yang diminta adalah 50 juta, tetapi pembeli tersebut seketika itu langsung mengembalikan uang tersebut kepada Ari.

’’Berarti disinyalir ada niat tidak baik dari pembeli rumah untuk menjadikan Ari sebagai terdakwa,’’ klaimnya.

Jika orientasi mau mencari uang menurut Panggabean, maka pastinya uang Rp200 juta tersebut sudah diambil dan tidak akan dikembalikan tapi faktanya uang tersebut dikembalikan.

“Tapi sangat aneh JEH ini, karena dia kembali meminta Ari untuk mengirimkan Rp10 juta, atas itu dan Ari kembali mengirimkan Rp10 juta di luar Rp200 juta yang dikembalikan. Dan 10 juta yang diminta tersebut diterima. Tetapi perkara ini terus berlanjut. Jadi kesimpulan kita sebenarnya ini bukan soal uang, tapi ada masalah lain dan ternyata terungkap di persidangan,” tandasnya.

’’JEH sering bermain di rumah Ari dan dengan niat jahat dia membawa diam-diam mbak Nurul pembantu rumah keluarga Ari ke Lombok, Nusa Tenggara Barat,’’ ungkapnya.

Menurut Panggabean, niatnya supaya pembantu ini didatangkan kembali di Jayapura dan bekerja di rumahnya dan ternyata benar.

“Mbak Nurul dibawa diam-diam kembali ke Lombok kemudian diam-diam pula dia datangkan kembali dan dipekerjakan di rumah sendiri,” sambungnya.

Setelah ketahuan, Santi yang adalah istri Ari marah karena kenapa diam-diam JEH mengembalikan pembantu tanpa sepengetahuan dirinya dan dikembalikan lalu dipekerjakan di rumahnya.

’’Akibatnya JEH tersinggung dan menyimpan dendam, jadi secara motif sebenarnya ada dua yang pertama yaitu motifnya karena ingin membalas sakit hatinya terhadap istri Ari yang memarahi dia ketika dia mengembalikan pembantu ke Lombok sehingga dia tersinggung,’’ paparnya.

Motif inilah yang melatarbelakangi untuk orang melakukan sesuatu.

“Jadi,  dugaan saya bahwa dia melaporkan Ari, sebenarnya karena ingin membalas sakit hatinya, supaya istrinya Ari menderita secara fisiologis,” cetusnya.

Motif yang kedua menurut Panggabean, dirinya melihat ada modus lain ketika merubah tipe rumah ke 110 dan harganya lebih tinggi yaitu  Rp1,9 miliar. Karena desainnya sangat mewah sehingga pantas harga rumah tersebut.

Kemudian ketika ditawarkan JEH tidak membantah, tapi ketika  pembangunan rumah tersebut sementara dilakukan maka pembeli tersebut mencari-cari alasan untuk membatalkan pembeliannya.

Bahkan JEH menghubungi bawahan Ari yang membuat rencana anggaran dan biaya tersebut dan dari rab-nya harga rumah tersebut memang Rp1,3 miliar, dan bukan harga jual Rp1,9 miliar.

’’Tetapi sebenarnya motif yang kedua itu, pembeli tersebut tidak mampu untuk membayar harga rumah Rp1,9 miliar,  sehingga dia mencari-cari alasan untuk membatalkan pembelian rumah tersebut dengan mengatakan bahwa harga rumah tersebut tidak wajar,’’ kesalnya lagi.

Karena itu dia mengklaim merasa ditipu, dengan klaim harga rumah di mark-up. Ini motif keduanya dan itu terus berlanjut.

’’Jadi anehnya, dia melibatkan banyak orang dalam perkara ini, melakukan intimidasi bahkan saya sebagai penasehat hukum pun pertama kali dilakukan intimidasi. Tapi bagi saya kebenaran adalah hal yang hakiki,’’ tegasnya.

“Sebagai penasihat hukum, saya mengatakan bahwa dakwaan yang ditujukan oleh Jaksa Penuntut Umum bukan pidana, tapi perdata. Faktanya sangat jelas kalau soal duit sudah dikembalikan 200 juta ditambah 10 juta sementara dia hanya meminta 250 juta dikembalikan. Dan tentu sebagai developer Pak Ari merasa rugi karena pembeli tersebut membatalkan seenaknya saja dan semau dia. Jadi ini fakta-fakta membuktikan bahwa perkara ini sebenarnya adalah perdata bukan pidana,” kembali tegas Panggabean.

Ia pun kita menanti putusan hakim.

’’Jadi kita tunggu putusan hakim, kalau hakim memutuskan tidak sesuai dengan fakta maka kita akan menempuh upaya hukum. Tapi mudah-mudahan Tuhan yang buka hati nurani yang benar dari Majelis Hakim untuk memutuskan bahwa perkara ini bukan pidana melainkan perdata,’’ tutup Marajohan Panggaben.

RED

as