Koreri.com, Sorong- Program transmigrasi dari pulau Jawa ke Papua yang diwacanakan Presiden Prabowo Subianto mendapat sorotan tajam dari sejumlah tokoh di Tanah Papua, salah satunya Senator Papua Barat Daya Agustinus R. Kambuaya,S.IP.,S.H.
Anggota DPD RI daerah pemilihan Provinsi Papua Barat Daya ini menyebutkan bahwa program transmigrasi ke Papua yang diwacanakan diawal pemerintahan Prabowo – Gibran bukan solusi tapi justru memberikan persoalan baru.
Dalam acara kunjungan dan silaturahmi bersama warga Transmigrasi Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Senin (4/11/2024) Agustinus Kambuaya mendiskusikan informasi tentang sejumlah hal diantaranya UU Nomor 18 tentang Pangan perubahan Kedua UU Nomor 6 dan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja.
Menurutnya, fakta empiris yang diceritakan warga transmigrasi cukup pelik, soal berbicara soal hilirisasi, ketahanan pangan dan peningkatan produksi pertanian. Persoalan paling pokok yang dihadapi warga trans adalah masalah tanah.
Salah satu RT warga klamesen Kabupaten Sorong, Suparlan mengisahkan bahwa tahun 1995 warga Trans ada yang dibagikan sertifikat tanah, sementara ada yang belum memiliki sertifikat hingga saat ini namun setiap tahunnya mereka tetap membayar pajak.
Bahwa instrumen Cipta kerja atau UU pangan sesungguhnya belum mengakomodasi kepentingan Warga transmigrasi, persoalan lahan dan kepemilikan masih menjadi persoalan pelik. Kemudian warga trans yang di kirim ke Sorong saat ini memasuki generasi kedua tapi pada kenyataannya mereka tidak bisa produksi untuk swasembada pangan.
“Masalah utama mereka adalah akses lahan luas, dukungan perekatan, pupuk dan bibit lebih lagi soal akses pasar yang jelas. Selama ini petani Asli Papua atau Warga trans sama-sama menanam. Setelah tanam, produk Pertaminan mereka hanya menuju pasar sentral atau pasar rakyat ujung-ujungnya hasil mereka tidak terjual hasil pertanian busuk dan di buang,” tegas Senator ARK dalam keterangan persnya yang diterima koreri.com, Kamis (7/11/2024)
Dijelaskan mantan anggota fraksi Otsus DPR Papua Barat itu bahwa bukan lagi soal gagal panen tetapi tidak adanya pasar karena itu warga Transmigrasi Kabupaten Sorong juga tidak menginginkan program transmigrasi baru lagi sebab nasibnya sama seperti sebelumnya.
“Tidak produktif dan merubah lagi mata pencaharian dan akhirnya menganggur. Jadi apa yang di hadapi oleh warga trans sama dengan saudara-saudari orang asli Papua. Karena itu program transmigrasi nasional bukan solusi. Warga trans Sorong ada banyak lahan tidur atau tidak produktif tetapi akses modal, akses pasar sulit. Kalau soal swasembada pangan harusnya logikanya bukan soal beras semata, ada sagu, umbi-umbian dll,” tandasnya.
Lebih lanjut dijelaskan ARK bahwa UU Pangan, UU Cipta Kerja dan UU lainnya pada praktiknya belum memfasilitasi aspek paling krusial dalam kehidupan pertanian, perkebunan yang memberdayakan masyarakat asli Papua maupun para warga Transmigrasi angkatan pertama dan kedua. Kehidupan yang sulit membuat banyak warga trans juga sudah kembali ke Jawa atau beralih Profesi dari petani menjadi pekerja dibidang lain yang hasilnya juga tidak menjanjikan.
“Pentingnya pemberdayaan penduduk lokal dan adanya relasi saling menghidupkan antara warga asli Papua dan Warga transmigrasi. Pada kenyataan sama-sama menghadapi kesulitan ekonomi, sosial dan akses terhadap modal, teknologi dan lebih lagi pasar,” tambahnya.
KENN