Koreri.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mulai menggelar sidang pendahuluan sengketa Pemilihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya (PBD), Kamis (16/1/2025).
Sidang dengan pemohon Paslon Cagub-Cawagub nomor urut 1 Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw dipimpin Ketua MK Prof. Dr Suhartoyo sebagai Ketua Majelis Hakim Konstitusi Panel I didampingi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah masing-masing Hakim anggota.
Sidang juga menghadirkan pihak termohon KPU PBD, Bawaslu dan pihak terkait yaitu paslon nomor urut 3.
Perkara Sengketa PHPU Gubernur Papua Barat Daya nomor : 276/ PHPU.GUB-XXIII/ 2025 ini beragendakan pembacaan gugatan oleh Kuasa Hukum Pemohon Abdul Faris Umlati – Petrus Kasihiw atas Keputusan Termohon (KPU) Nomor 115 tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya Tahun 2024 tanggal 10 Desember 2024.
Pemohon dalam materi gugatannya dibacakan kuasa hukum membeberkan sejumlah fakta dimana ada peran serta termohon secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) sehingga mencemari hasil pelaksanaan Pilkada serentak di Provinsi Papua Barat Daya.
Setelah mendengarkan seluruh isi gugatan Sengketa PHPU Gubernur PBD dari pihak pemohon, Majelis Hakim Konstitusi panel I menskors sidang.
Sidang akan kembali digelar pada 31 Januari 2025 mendatang dengan agenda mendengarkan sanggahan atau jawaban dari termohon, Bawaslu dan pihak terkait.
Kuasa Hukum Paslon 1 Abdul Faris Umlati – Petrus Kasihiw, Dr. Heru Wibowo,S.H dalam keterangan persnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (16/1/2024) menguraikan keberatan yang diajukan dalam gugatan terhadap hasil Pilkada PBD.
Hal itu lantaran sangat banyak pemilih yang seharusnya belum berhak memilih, dimana mereka belum melakukan perekaman e-KTP atau tidak punya e-KTP.
Ironisnya, KPU PBD (termohon) memfasilitasi mereka yang belum memilki e-KTP untuk melakukan pencoblosan pada sejumlah TPS di Kabupaten Sorong, Raja Ampat dan Kota Sorong.
“Berdasarkan Pasal 19 PKPU yang punya hak memilih itu sudah Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan sudah merekam e-KTP. Kami punya daftar nama-nama di 3 Kabupaten Sorong, Raja Ampat dan Kota Sorong,” beber Heru Wibowo didampingi anggota Tim Hukum Paslon ARUS Kariadi, S.H., M.H saat menyampaikan keterangan persnya.
Heru mengklaim bahwa pihaknya telah memiliki sampel pemilih belum punya hak memilih di 553 TPS yang tersebar pada Kabupaten Sorong, Raja Ampat dan Kota Sorong.
Hal ini mengakibatkan perolehan suara kliennya menjadi tercemar.
“Kami mendasarkan pada Yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2020, ketika mengadili Sengketa Pilkada Provinsi Jambi. Pemilih-pemilih yang diberikan kesempatan memilih namun belum punya hak sehingga dibatalkan oleh MK,” bebernya.
Dengan dasar itu, maka pihak pemohon mengajukan kepada Majelis MK agar tiga daerah di Provinsi Papua Barat Daya yaitu Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan kabupaten Raja Ampat dilakukan pemilihan suara ulang atau PSU.
Lanjut Kuasa hukum pemohon, hal ini termasuk pelanggaran yang serius namun tidak perlu didiskualifasi paslon tertentu tetapi semua peserta Pilkada ikut bertarung, tapi dengan syarat pihak KPU melakukan pemutakhiran data pemilih.
“Mereka yang belum merekam e-KTP harus dicoret supaya nanti suaranya murni, tidak tercemar. Karena menurut kami, kalau tidak ada pelanggaran ini, maka tentu hasilnya akan berbeda,” pungkasnya.
Kuasa hukum pemohon juga mengungkapkan pelanggaran lain disampaikan dalam sidang pendahuluan ini yaitu kegiatan Pendamping Desa Tingkat Provinsi PBD yang harusnya itu kegiatan pemerintahan, justru digunakan untuk menjadi mesin pemenangan pasangan calon Gubenur dan Wakil Gubernur nomor urut 3 Elisa Kambu – Ahmad Nausrau.
“Kami sangat berharap MK melihat ini secara bijak, karena apa yang kami sampaikan ini sudah berdasarkan pada bukti-bukti yang kuat,” pungkas Heru Wibowo.
KENN