Koreri.com, Biak – Kasus dugaan penyelewengan Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Puskesmas (PKM) Paray tahun anggaran 2023 – 2024 di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua yang kerugiannya ditaksir mencapai hampir setengah miliar rupiah itu kini menjadi sorotan publik.
Pasalnya, dibalik kasus dugaan korupsi yang proses hukumnya sementara bergulir di Polres Biak ini telah menjadi awal tersingkapnya tabir aksi penyelewengan uang Negara di Dinas Kesehatan setempat yang membuat semua mata terbelalak.
Hal itu bermula dari terungkap adanya pemotongan sebesar Rp100 juta BOK Tahun Anggaran 2024 pada 21 PKM di Biak Numfor dengan dalih akreditasi, bukan hanya di PKM Paray.
Di tahun 2024 saja, jika pemotongan 100 juta Dana BOK ini ditotalkan maka besaran yang diduga dikorupsi mencapai Rp2,1 Miliar.
Ternyata sebagaimana data yang diterima Koreri.com, modus berupa pemotongan Rp100 juta ini juga berlaku sama di 2022 dan 2023.
Tiga tahun berturut-turut Dana BOK 21 PKM di Kabupaten Biak Numfor itu diduga diraibkan dengan cara yang terstruktur, sistematis dan masif atas nama akreditasi dan modus lainnya.
Yang lebih mengejutkan lagi, para Kepala PKM bekerja sama dengan Bendaharanya tanpa rasa takut dampak hukum yang akan diterima dikemudian hari malah bertindak selaku eksekutor lapangan atas skenario atau titah petinggi di Dinas Kesehatan Biak Numfor.
Akibatnya, Negara berpotensi dirugikan hingga Rp6,3 Miliar selama tiga tahun dana BOK dialokasikan.
Itu baru satu bagian yang ditilep, belum lagi dana BOK Imunisasi, surveillance, kalibrasi/alat kesehatan dan lainnya yang juga mengalami pemotongan yang tidak sedikit untuk kepentingan yang tidak berkaitan dengan lebih kurang 10 program BOK.
Aksi korupsi berjamaah luar biasa ini terorganisir begitu rapi nyaris tak tersentuh sama sekali.
Menariknya, LPJ tahunan terhadap semua bagian ini bisa dengan mudah lolos audit. Siapa yang paling bertanggung jawab?
Persoalan lainnya, berkaitan dengan kelangkaan obat nyaris merata di berbagai Puskesmas yang ada di wilayah itu. Parahnya lagi, kelangkaan itu sudah terjadi sejak 2022 dan baru terungkap ke publik setelah adanya pemberitaan media.
Yang lebih miris lagi, kelangkaan obat itu telah berdampak pada kenaikan angka kasus di Biak Numfor. Kusta adalah salah satu penyakit yang meningkat angka kasusnya belakangan ini maupun beberapa penyakit lainnya.
Pertanyaannya, kenapa obat-obatan bisa langkah di Biak Numfor?
Karena dari sejumlah data yang diterima Koreri.com, Negara mengalokasikan anggaran yang begitu besar untuk pengadaan obat di Dinkes Biak Numfor baik yang bersumber dari APBD, DAU, DAK hingga dana Otonomi Khusus (Otsus) pada setiap tahun anggaran.
Pertanyaannya, bagaimana dengan proses pengadaan obat di Dinas Kesehatan Biak Numfor sehingga kemudian obat menjadi langka di daerah itu??? Apakah melalui tender resmi atau aksi monopoli oknum???
Koreri.com kemudian melakukan penelusuran mendalam pada sejumlah Puskesmas secara khusus berkaitan dengan proses pengelolaan dana BOK, Imunisasi dan anggaran program lainnya.
Begitu pula terhadap pengelolaan dana berkaitan dengan proses pengadaan obat maupun isu penting lainnya.
Dari data-data yang diterima Koreri.com, ternyata ditemukan adanya pola mengaburkan hingga merubah tata cara atau petunjuk teknis (juknis) berbagai tahapan baik dalam pengelolaan BOK, Imunisasi dan anggaran lainnya termasuk pula dalam proses pengadaan obat.
Terindikasi ada gerakan manipulasi dokumen besar-besaran yang luar biasa dan masif demi menyelewengkan anggaran Negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran oknum atau pribadi-pribadi.
Kerja-kerja para oknum yang berada dibalik rekayasa ini ibarat sebuah sindikat yang nyaris sulit di hentikan karena menguasai semua lini.
Dicontohkan, dana BOK Puskesmas di Biak Numfor dicairkan berdasarkan adanya pengajuan Rencana Usulan Kegiatan (RUK) untuk satu tahun anggaran.
Singkatnya, pada saat dana dicairkan langsung dilakukan pemotongan sebesar Rp100 juta dengan dalih akreditasi padahal tidak diakomodir dalam RUK karena bertentangan dengan juknis.
Saat laporan pertanggungjawaban (LPJ) disampaikan, data-data realisasi anggaran dalam laporan itu terindikasi palsu/fiktif karena hasil manipulasi.
Dan semua ini diduga merupakan kerja-kerja “Sindikat” atau jaringan yang melibatkan banyak orang.
Contoh lainnya, dalam pengelolaan anggaran BOK untuk kegiatan Imunisasi, Surveillance dan 8 program lainnya.
Terungkap fakta bahwa, pada proses pencairan yang seharusnya diajukan menggunakan surat dengan tanda tangan dan cap basah malah telah dirubah polanya.
Setiap penanggung jawab program diwajibkan untuk mengajukan LPT permohonan pembayaran BOK yang dikirimkan ke Kepala PKM dalam bentuk dokumen word atau excel dan dikirim melalui pesan aplikasi WA yang dimungkinkan bisa diubah-ubah.
Yang menarik dalam permintaan tersebut, setiap penanggung jawab program diminta mengosongkan data seperti jumlah pengikut yang akan turun ke lapangan dan tanggal kegiatan.
Ternyata faktanya kemudian, dari hanya 3-4 orang yang turun lapangan dan seharusnya berhak menerima hak penuh atas biaya operasional, malah dipotong haknya dengan berbagai alasan atau dalih yang manipulatif oleh pejabat setempat.
Parahnya lagi, dalam LPT tampak tertera 10-15 nama lainnya yang telah tertulis dalam kolom jumlah pengikut yang kosong tadi. Bahkan dari manipulasi itu seringkali nama-nama yang sudah pindah tugas juga dimasukan dalam kolom kosong tersebut.
Maka tak heran, sejumlah tenaga medis kepada Koreri.com, mengaku hanya menerima Rp50.000 – 100.000,- dari hak mereka yang sebenarnya setiap turun ke lapangan. Sisanya raib entah kemana !
Modus yang sama juga telah diterapkan pada kegiatan lainnya seperti program makanan tambahan yang juga masuk dalam pengelolaan dana BOK.
Dari beberapa data berupa foto yang diterima Koreri.com, penyaluran makanan tambahan tersebut sangat tidak seusai dengan petunjuk dalam juknis BOK. Mirisnya lagi, sangat jauh dari kata layak.
Sementara, realisasi penggunaan sebagaimana LPT yang diterbitkan dimanipulasi agar anggaran yang dialokasikan terealisasi 100 persen.
Yang lebih gila lagi, Dana BOK juga dipotong untuk kepentingan kegiatan SAIL TELUK CENDERAWASIH yang sangat-sangat jauh dari kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat.
Selanjutnya, pola yang sama pula juga terindikasi diterapkan saat Puskesmas melakukan proses pengadaan obat.
Puskesmas yang sebelumnya dalam mengajukan permintaan obat-obatan biasanya menggunakan lembaran yang ditandatangani dan menggunakan cap basah sebagaimana juknisnya ternyata sudah tidak lagi menerapkan aturan itu.
Oleh pihak Dinas Kesehatan Biak Numfor, Puskesmas diwajibkan mengajukan daftar permintaan obat menggunakan dokumen berupa word atau excel yang kemudian dikirimkan melalui pesan singkat Aplikasi WA ke petugas yang akan menerima permintaan tersebut.
Fakta yang terjadi, setelah dokumen tersebut diterima petugas di Dinkes kemudian isi dari permintaan itu dimanipulasi oleh petugas di Dinkes Biak. Dengan tujuan agar eolah-olah obat yang diminta Puskesmas sesuai dengan permintaan.
Dicontohkan, Puskesmas A mengajukan permintaan obat sebanyak 50 dus pada kolom permintaan. Namun, oleh petugas Dinkes, permintaan tersebut kemudian diubah menjadi 25 dus.
Dinkes kemudian dalam dokumen realisasi permintaan obat tertera sebanyak 25 dus seolah-olah sesuai dengan permintaan Puskesmas padahal datanya telah lebih dahulu dimanipulasi dari 50 dus menjadi 25 dus. Sehingga dalam laporannya, obat yang diberikan terkesan telah sesuai dengan permintaan Puskesmas.
Maka, tak heran kelangkaan obat terjadi di Biak Numfor karena memang realisasinya tidak sesuai permintaan Puskesmas alias dimanipulasi datanya.
Lalu pertanyaannya, keberadaan obat sisanya ada dimana??? Apakah memang tidak ada karena anggaran pengadaannya telah ditilep atau dikemanakan???
Sumber di Dinas Kesehatan Provinsi Papua yang dikonfirmasi Koreri.com menjelaskan ada dua bentuk tahapan pengadaan obat.
Pertama, obat program yang pengadaannya oleh Kementerian Kesehatan melalui Dinas provinsi dan kemudian disalurkan ke Dinas Kabupaten/Kota untuk seterusnya disalurkan ke Puskesmas di wilayah masing-masing.
Kedua, obat rutin yang pengadaannya dilakukan Kepala Dinkes Kabupaten/Kota sesuai dengan anggaran yang dialokasikan Pemda setempat.
Di Baik Numfor sebagaimana kabar yang diterima Koreri.com, menyebutkan ada permainan oknum pejabat melalui perusahaan milik pejabat yang bersangkutan dalam pengadaan obat maupun barang dan jasa lainnya berkaitan dengan kesehatan di wilayah itu.
Namun demikian, Koreri.com masih berupaya untuk mendapatkan data dan informasi pasti soal kebenaran kabar tersebut.
Merespon berbagai indikasi ini, sejumlah kalangan kepada Koreri.com meyakini bahwa INSPEKTORAT Biak sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kondisi ini.
Bahkan diduga kuat institusi pemeriksa atau APIP ini malah menjadi benteng utama melindungi kerja-kerja sindikat itu yang diyakini bertahun-tahun lamanya dengan mengakomodir berbagai LPJ “MANGGOP” alias fiktif atau rekayasa.
Mereka juga meyakini modus manipulasi juknis, dokumen hingga LPJ yang direkayasa ini tidak hanya terjadi di Dinas Kesehatan Biak saja namun disinyalir tejadi pada sejumlah OPD lainnya dengan pola-pola yang nyaris tidak bisa terdeteksi secara kasat mata.
“Maka kami sangat yakin dengan model-model kerja jahat seperti ini sangat berpotensi kerugian Negara di Pemda Biak Numfor mencapai ratusan miliar rupiah. Ini bukan rahasia lagi,” beber salah satu tokoh setempat seraya menegaskan bahwa lagi-lagi masyarakat Biak harus jadi korban dari ulah dan cara-cara licik seperti ini karena hak-hal mereka sudah disikat bersih tanpa sisa.
“Kami minta INSPEKTORAT Biak harus diperiksa penegak hukum, karena mereka yang paling bertanggung atas semua ini dan semua pihak yang terlibat dalam sindikat ini,” desak para tokoh ini.
Koreri.com telah mencoba mengkonfirmasi terkait LPJ dana BOK yang diduga rekayasa Kepala dan Bendahara PKM selama 2022-2024.
Namun direspon INSPEKTUR Biak Ferry Abidondifu yang menolak memberikan keterangan melalui telepon seluler.
“Selamat siang Pak. Kalau bisa jangan telp. Besok Bapak ke Kantor Inspektorat kita konfirmasi. Terimakasih,” responnya melalui pesan singkat WA.
“Saya berharap kita ketemu supaya kita punya waktu yang cukup dan kita bisa saling diskusi. Saya siap kapan saja jika punya waktu, Terimakasih,” sambungnnya.
“Silahkan Pak. Lebih cepat ketemu, lebih bagus agar jelas, Terimakasih,” merespon balik WA dari kru Koreri.com.
Direktur LBH KYADAWUN Biak Imanuel A. Rumayom, SH dalam keteranganya kepada Koreri.com, Minggu (2/3/2025) berharap indikasi penyelewengan anggaran yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di Kabupaten Biak Numfor ini segera terungkap.
“Semua harus dibongkar, masyarakat harus pro aktif melaporkan Dugaan-dugaan Penyalahgunaan Uang Negara di Kabupaten Biak Numfor. Karena ini semua demi terciptanya kabupaten Biak Numfor yang bersih dari korupsi,” desaknya.
Dengan begitu, semua anggaran yang berasal dari negara benar-benar dipakai untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
“Kami juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan mereka mendukung proses ini, karena cukup banyak dana yang dikirimkan untuk kepentingan kesehatan masyarakat Papua khususnya di Kabupaten Biak Numfor, sehingga hal-hal seperti ini menjadi atensi khusus mereka,” bebernya.
Rumayom kembali mengajak masyarakat harus menjadi Whistleblower untuk mengungkap kasus-kasus korupsi yang sulit terdeteksi.
Dia mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab Pemerintah dan aparat penegak hukum, melainkan seluruh masyarakat.
Partisipasi aktif dalam Whistle Blowing System (WBS) sangat penting untuk mendeteksi dan menindaklanjuti tindak korupsi.
“Dengan sistem pelaporan yang aman dan efektif, serta jaminan perlindungan dari negara, masyarakat diharapkan semakin berani melaporkan penyimpangan yang mereka temui,” pungkasnya.
RED