Koreri.com, Sorong – Keluarga Yappen bersama Dewan Adat Suku Besar Moi memasang tanda patok atas batas tanah yang beralamat di Jalan Yos Sudarso no.7 (tikungan Halte Doom ke arah Tembok Berlin) Kota Sorong, Selasa (15/4/2025).
Sebagai pemilik sah dari tanah seluas dua hektar yang diatasnya ada bangunan Gereja New Mahkota, Pastori dan beberapa rumah, Keluarga Yappen mengaku memiliki sejumlah dokumen yang sah sebagai bukti kepemilikan tanah dan bangunan tersebut.
Langkah tersebut sebagai respon atas klaim PT Pelindo Sorong yang bermaksud menggunakan tanah tersebut.
Pemasangan patok ini sebagai tanda penguatan kepemilikan yang sah dari masyarakat dalam hal ini Dewan Adat Suku Besar Moi.
Sebelumnya pihak Keluarga Yappen telah bersikap kooperatif membuka ruang mediasi dengan pihak PT Pelindo Sorong berdialog soal status lahan dimaksud.
Namun setelah beberapa kali dilakukan mediasi dengan bantuan Pemerintah Kota Sorong, Keluarga Yappen dan PT Pelindo Sorong belum berhasil menyepakati apa yang menjadi keinginan masing-masing pihak.
Absalom Balaseme dari marga Malaseme Kalami yang juga adalah pemilik hak ulayat mengungkapkan jika langkah pemasangan patok oleh Dewan Adat Suku Besar Moi adalah semata-mata untuk meluruskan sejarah.
“Jadi kita cuma kasih lurus sejarah tanah ini bahwa keluarga Yappen telah memperoleh tanah ini dari warga Kalami. Itu terjadi sekitar tahun 1950. Dan sering waktu berjalan karena ini diberikan melalui Yayasan Keuskupan Manokwari Sorong kepada keluarga Yappen. Setelah itu ditindaklanjuti oleh keluarga Yappen kepada marga kami untuk melakukan proses adatnya,” ungkapnya kepada awak media, Selasa (15/4/2025).

Seiring berjalannya waktu, sambung Absalom, posisi tanah tersebut masuk pada posisi tanah untuk beberapa marga.
“Yang pertama marga Bebela dalam hal ini Mama Robeka Bebela bersama anaknya, kemudian sebelah ini ada marga yang lain seperti marga Ulin Kwatolo, dan ada marga Kalami. Maka dari sisi ini, saya memandang perlu bahwa kita sebagai generasi muda mari kita meluruskan sejarah tanah ini secara baik supaya kedepan tidak terjadi konflik,” imbuhnya.
“Karena kebetulan kita di Sorong ini sudah tidak seperti dulu lagi, kita sudah berada di posisi ibukota Provinsi Papua Barat Daya dan berada di Tanah Moi sehingga sudah sangat jelas potensi konflik di kemudian hari semakin hari semakin banyak. Oleh sebab itu, yang sudah agak bengkok bengkok sedikit mari kita kasih lurus, jangan kitong kasih bengkok lagi, kira-kira begitu,” tegas Absalom mengingatkan.
Pria yang juga Ketua RT ini mengaku jika dirinya mendapat mandat/kuasa dari warga Beola.
Walaupun dirinya Malaseme, namun dari kultur keluarga mereka semua yang ada di Tanah Moi ini, ia merupakan kakek yang paling tua.
“Yang artinya status tanah ini sudah sah jadi milik keluarga Tonny Yappen dan Rocky Yappen serta keluarga bersama anak cucu berdasarkan surat bukti kepemilikan tanah, surat keterangan saksi sejarah tanah ini serta surat rekomendasi dari Keuskupan Manokwari menjadi bahan pelengkap. Itulah acuan bagi Dewan Adat dan Tua-tua Adat untuk mengeluarkan surat pelepasan tanah adat ini menjadi bagian dari keluarga besar Yappen,” tekannya.
Absalom pun meminta Pelindo agar menjadi perhatian terkait sejarah di Tanah Papua bahwa belum pernah ada gereja yang pindah dari Tanah Moi.
“Gereja GBI New Mahkota bersama gembalanya telah siap pindah tapi setidaknya kompensasi yang diberikan harus sewajarnya sebagai manusia yang memiliki hak karena kita berdiri di tanah ini, berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Jadi ada masalah, mari kita duduk sama-sama dan cari jalan keluarnya sama-sama,” pungkasnya.

Sementara itu, Rocky Feller Yappen menegaskan dirinya adalah bagian juga dari Keluarga Wellem Wilhemus Yappen.
Posisinya setelah Wellem Wilhemus Yappen, lalu Tonny Yappen dan dirinya sebagai generasi ketiga.
“Saya perlu sampaikan bahwa posisi kami hadir di Halte Dom jalan Yos Sudarso karena kehidupan kami sudah terjadi semenjak 1963 dimana gereja ini mulai ada ketika militer Belanda memberikannya kepada Keuskupan Manokwari. Dan setelah itu dari 1963 itu, Keuskupan memberikan kepada almarhum Wellem Wilhemus Yappen, kakek saya. Di situlah rentetan benang merah atau kita punya kegiatan kerohanian spiritual itu berjalan sampai hari ini,”urainya.
Dan aktivitas di gedung gereja ini masih terus berlanjut sampai hari ini dirinya menyampaikan pernyataan.
“Sehingga pada prinsipnya, kami sebagai warga negara yang taat hukum kami mengerti dan memahami tentang HPL PT Pelindo. Kalau suatu waktu mau ambil silakan, tapi perlu diketahui bahwa status tanah ini berada di luar HPL PT. Pelindo, yang sudah diakui juga oleh Badan Pertanahan dalam hal ini Deputi Pengkajian Permasalahan RI,” tegasnya.
Bahkan PT Pelindo juga sudah mengakui bahwa status ini berada di luar HPL PT Pelindo.
“Dengan demikian kami sepakat dengan program pemerintah supaya bisa membuat lokasi ini menjadi lapangan kontainer tapi perlu dihargai juga kalau ada yang perlu dibebaskan. Jadi, mari melihat hal ini secara utuh. Janganlah seperti kemarin bahwa keputusan Pelindo hanya membayar bangunannya saja, itu tidak sesuai. Kami ingin supaya dibayarkan secara utuh bangunan dan juga tanah agar kami bisa membangun lagi di tempat lain,” pungkasnya.
Diakui Rocky, upaya penyelesaian telah dilakukan melalui mediasi bahkan melibatkan Wali Kota Sorong namun hingga ini tidak pernah mendapat titik temu.
Dia menduga ada oknum-oknum tertentu yang bermain di balik pengurusan ini.
“Karena pernah kejadian, kami dipaksa dan diintimidasi untuk harus menerima dan memberikan rekening hanya untuk membayar bangunan. Kami tidak sependapat dengan cara-cara seperti itu,” bebernya.

Rocky sekali lagi berharap, adanya penyelesaian secepatnya agar pembangunan di Kota Sorong, Papua Barat Daya ini bisa berjalan dengan baik.
Ia juga mengapresiasi perhatian dari Pemerintah pusat dalam hal ini Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.
“Kami telah menghubungi Wakil Presiden sejak 3 bulan lalu dan telah mendapatkan jawaban untuk reservasi di tanggal 22 April ini sudah harus bertemu dengan Pak Wakil Presiden Republik Indonesia menyangkut penyelesaian tanah ini. Kami keluarga sudah siap bertemu untuk memenuhi undangan Wakil Presiden RI,” pungkasnya.
Sementara itu , Tim Kuasa Hukum dari JAM Law Firm marga Yappen terdiri Dehefsen Borolla, S. H, Areos Borolla, S.H., M.H dan Johand Rahantoknam, S.H menyatakan bahwa pada prinsipnya mendukung penuh apa dilakukan kliennya karena itu adalah tanah adat atau ulayat.
“Karena itu setiap aktivitas dari luar baik itu Pemerintah maupun pihak lainnya harus mendukung apa yang telah diterapkan dalam Undang-undang Otonomi Khusus yaitu hak ulayat. Jadi ini bukan tanah kosong tapi ada pengakuan dalam artian pelepasan yang telah diterima dan harus diakui pemerintah,” tegas Tim Hukum.
Gereja atau Keluarga Yappen dalam hal ini tetap mendukung program pemerintah dan tidak pernah menghalangi.
“Namun ada hal yang harus dibayar secara layak karena di atas tanah ini bukan tanah kosong melainkan ada bangunan gereja, ada rumah-rumah dan masih banyak lagi. Dan bukan tanah kecil. Maka pada prinsipnya kami kuasa hukum sangat mendukung apa yang dilakukan Dewan Adat Suku Besar Moi sebagai pengakuan/pelepasan yang sudah diberikan kepada marga Yappen,” sambungnya.
Dengan begitu, Pemerintah dapat membantu keluarga Yappen terkait dengan dana ganti rugi yang layak.
“Kami tidak akan menghalangi program pemerintah terkait kemajuan daerah namun yang terpenting Pemerintah harus juga melihat hak-hak masyarakat adat di sini atau keluarga di sini khususnya keluarga Yappen terhadap apa yang mereka minta secara layak dan akan segera keluar dari lokasi ini,” imbuhnya.
Tim Hukum menekankan pula bahwa pemasangan papan nama dilaksanakan oleh Dewan Adat Suku Besar Moi Sorong bersama keluarga Yappen.
“Ini adalah sebagai patokan bahwa tanah milik ini keluarga Yappen,” pungkasnya.
ZAN