Koreri.com, Manokwari– Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Barat menggelar diskusi sehari bersama pemerintah dan aparat penegak hukum, dalam sebuah pertemuan yang disebut Para-para Masyarakat Adat.
Diskusi bertajuk Anak Negeri Mencari Damai, mengusung tema Siapa (Bisa) Urus Papua?, dengan menghadirkan sejumlah tokoh menjadi nasasumber yaitu, Pangdam XVIII/Kasuari Mayor Jenderal TNI I Nyoman Cantiasa, Kapolda Papua Barat Inspektur Jenderal Tornagogo Sihombing dan Kabinda Papua Barat Vincentius Setiawan Bayu Sasetiyo berlangsung di Ruang Kaimana, Swiswbell-hotel Manokwari, Rabu (15/12)
Sementara, dari pemerintah daerah dihadiri oleh Kepala Biro Pemerintahan Papua Barat Agustinus Rumbino. Dari sisi masyarakat adat hadir Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Zakarias Horota dan Yusuf Sawaki, akademisi dari Universitas Papua (Unipa), Manokwari, dengan moderator Ketua harian LMA Papua Barat Franky Umpain.
Dalam diskusi yang diharapkan mampu memberi perubahan bagi pembangunan di Papua Barat dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dimasa mendatang itu, turut pula dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari tokoh masyarakat dan lembaga adat, tokoh pemuda Papua, aktivis perempuan dan mahasiswa.
Dr. Yohana Watofa sebagai salah satu peserta yang hadir menegaskan dalam diskusi tersebut, bahwa di Papua sudah terlalu banyak organisasi yang berbicara soal Papua Merdeka. Ini sangat disayangkan karena pikiran dan tenaga para kaum muda itu, seharusnya lebih dimaksimalkan untuk membangun Papua kearah lebih baik.
Salah satu pengagas revisi Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) itu pun meminta kepada seluruh kaum muda di tanah Papua untuk kini lebih bisa bertindak dan berpikir bagaimana merebut Indonesia, bukan berpisah dari Indonesia.
“Untuk apa ribut sana-sini, rusak fasilitas tapi ujung-ujungnya juga pake uang pemerintah. Proposal tidak dijawab, ribut. Segala macam dirusak terus bilang bupati tidak berhasil, gubernur tidak berhasil. Apa ukuranmu?. Stop salahkan pemerintah. Belajar perbaiki diri, ingat bahwa kalian itu mahasiswa,” kata dosen STIH Manokwari sejak era 96 itu.
Disisi lain, Watofa kembali menegaskan kepada seluruh pihak untuk tidak selalu berangapan negatif terhadap kehadiran satuan TNI ataupun Polri yang mengajar di perkampungan Papua. Apa yang dilakukan oleh aparat adalah hal mulia karena tak ada satupun guru yang berniat untuk mengajari warga membaca, terlebih lagi di kampung yang terisolir.
Sementara, Anisabami, salah satu aktivis perempuan menegaskan, bahwa memang yang dibutuhkan oleh Papua Barat saat ini adalah rekonsiliasi, bukan untuk bicara merdeka tetapi sebuah dialog untuk menjaga Kepapuaan dalam Keindonesiaan. “Rekonsiliasi bukan untuk merdeka, tetapi sebuah dialog untuk menjaga Kepapuaan dalam Keindonesiaan,” katanya.
Hal senada disampaikan juga oleh Yuliana Numberi, aktivis Perempuan Papua. Dirinya mengutip ungkapan Frans Maniagasi, pengamat politik lokal Papua yang mengartikan Papua adalah proteksi, afirmasi, perlindungan secara universal, dan akuntabilitas.
“Mengutip kata Maniagasi itu, maka kalau kita mau bicara Papua 20 tahun kedepan, jangan ego sektoral. Orang-orang yang berkompeten pada bidangnya harus dilibatkan. Dan sekarang semua kembali pada Pemerintah Papua Barat,” ujar Numberi.
KENN