Koreri.com, Sentani – Pemilik hak ulayat tanah Bandara Sentani kembali mendatangi kantor ATR/BPN Kabupaten Jayapura untuk mengecek surat audiens yang dimasukan pada tanggal 3 Agustus 2023 lalu.
Pemilik hak ulayat, Beatriks Felle mengatakan, surat audiens tersebut berkaitan dengan masalah sertifikat yang terbit tanpa ada alas hak dari masyarakat adat.
Pihaknya dalam surat tersebut meminta kepada Pemerintah daerah dan pihak Kanwil Provinsi termasuk Gubernur Papua bahkan Bupati hingga pihak ATR/BPN kabupaten Jayapura untuk duduk bersama.
“Perlu di ketahui bahwa landasan pacu, parkiran pesawat, VIP room, terminal tunggu, terminal penumpang dan sekitarnya sudah diajukan pengukuran ke kantor ATR/BPN, kemudian warka atau dokumen sudah dikeluarkan untuk masyarakat adat, tetapi sertifikatnya terbit atas nama Perhubungan sehingga ini yang masih menjadi tuntutan pemilik hak ulayat,” tutur Beatriks Felle, Rabu (9/8/2023).
Adapun Ketua LSM Gempur, Panji Agung Mangkunegoro dan Ketua FPK Jhon Maurits Suebu mendapatkan mandat sebagai pendampingan untuk mengadvokasi menyelidiki, mengidentifikasi masalah ini.
Panji menjelaskan hasil dari mediasi pertama 12 Juni 2023 itu telah di akui oleh kepala BPN bahwa ada 32 sertifikat yang dia tandatangani. Dan salah satunya adalah sertifikat landasan pacu tanpa pelepasan.
“Waktu itu di mediasi sempat terjadi perdebatan dan kita menanyakan apakah sertifikat itu terbit ada pelepasan adat, Kepala BPN jawabnya ada. Faktanya setelah di cek bawahannya sama sekali tidak ada pelepasan adat,” bebernya.
Namun setelah ditanyakan kepada pihak ATR/BP tidak mengantongi surat pelepasan adat, ternyata hanya ada dokumen Besluit saja.
“Sehingga kami bertanya kepada Kepala BPN Sentani apa arti dari Besluit itu? Tapi kata Kepala BPN pihaknya tidak mengerti bahasa Belanda,” ujar Panji.
Kendati demikian, Kepala BPN mengakui bahwa sertifikat yang terbit atas dasar besluit itu tidak ada pelepasan adat dan selama tidak lebih dari 5 tahun sertifikat itu masih bisa dimediasikan.
“Pihak BPN boleh menandatangani sertifikat tapi pemilik hak Ulayat memiliki dokumen yang lengkap beserta surat pencabutan gugatan dari pengadilan,” lanjutnya.
Disebutkan, ada surat warka yang dikeluarkan oleh ATR/BPN dan ada 2 dokumen negara yaitu, pertama warka milik masyarakat adat sebesar 55 hekktar dan kedua sertifikat yang muncul tanpa pelepasan adat.
“Tuntutan kami, jika sertifikat itu dilegalkan harus ada pelepasan adat. Jika tidak maka harus ada proses mediasi untuk penyerahan pelepasan adat baru pembayaran.
Jadi kami tuntut sertifikat itu harus diselesaikan demi hukum karena landasan pacu bukan tanah kosong tapi sudah ada aktifitas bisnis dan maskapai,” jelasnya.
Lanjut Panji, hak-hak masalah adat harus diperhitungkan dan jangan ada indikasi sertifikat tersebut menjadi milik negara.
“Apakah pihak Perhubungan sudah membayar ke masyarakat atau belum?” tanyanya seraya meminta jangan ada mafia hukum yang ikut bermain sehingga pembayaran tidak sampai ke masyarakat adat yang memiliki tempat sah.
Ditambahkan, BPN Jayapura harus berkomitmen kepada masyarakat adat terkait apa yang sudah di janjikan.
“Tolong hargailah pemilik tempat, layanilah dengan baik melalui proses pelayanan publik yang ada di kantor ATR/BPN dan Kepala ATR BPN Sentani jangan di ganti harus selesaikan permasalahan ini, karena dia yang menciptakan dia juga yang harus selesaikan. Coba buktikan kepada masyarakat adat, bagaimana pelayanan iklan keterbukaan! Jangan hanya ada pengusaha saja yang kalian tangani atau awasi,” kecamnya.
“Kepada pihak ATR/BPN dan Perhubungan jika tidak mau membatalkan sertifikat tersebut maka kami pemilik juga minta supaya direalisasikan pembayaran jangan di gantung. Kepala ATR BPN sentani harus bicara ke media jangan diam,” tegas Panji.
Sementara Sekertaris Forum Peduli Kemanusiaan FPK Kabupaten Jayapura Jhon Maurits Suebu tegaskan jangan hak-hak masyarakat adat ini di kebiri.
“Kami telah lakukan aksi dan rapat bersama pimpinan bahkan staf dan bawahan di kantor ATR/BPN , di sana kami telah menemukan ada beberapa keganjalan,” ungkapnya.
Sehingga sebut Suebu, hak masyarakat adat ini dikebiri dan pihaknya telah menemukan beberapa keganjalan yang terjadi.
Mirisnya, masyarakat bertahun-tahun berjuang untuk menjelaskan hak di atas tanah yang digunakan oleh Perhubungan.
“Seperti yang kami sampaikan bahwa sertifikat yang di buat BPN itu benar-benar kami sebut palsu, karena tidak ada surat alas hak atau pelepasan dari masyarakat adat. Kita melihat bahwa pihak ATR/BPN sendiri dalam mediasi yang pernah kita lakukan, tidak bisa membuktikan surat alas hak kepada masyarakat adat,” bebernya.
Suebu juga mengingatkan Pemerintah dan DPR Kabupaten dan Provinsi untuk turun tangan membantu masyarakat.
“Kami melihat dari sisi kemanusiaan bahwa ada kelompok mafia besar yang tidak punya rasa kemanusiaan,” kecamnya.
TIM