Kantongi Bukti Ini, LBH KYADAWUN Resmi Pra Peradilankan Polres Biak

IMG 20250328 WA00002 1
Tim Hukum LBH KYADAWUN secara resmi mendaftarkan gugatan Praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Biak Numfor, Rabu (26/3/2025) lalu / Foto : LBH KYADAWUN Biak

Koreri.com, Biak – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) KYADAWUN resmi mendaftarkan gugatan Praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Biak Numfor, Rabu (26/3/2025) lalu.

Gugatan tersebut teregister Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2025/PN Bik tanggal 26 Maret 2025 dengan klasifikasi perkara Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka.

Pemohon dalam Praperadilan ini atas nama Theo Yan Koibur dengan termohon Kapolres Biak Numfor.

Langkah ini berkaitan dengan upaya melawan proses hukum yang dilakukan penyidik Polres Biak selaku termohon terhadap penetapan status tersangka atas nama Theo Yan Koibur (TYK) selaku pemohon Praperadilan yang diduga melanggar sejumlah prosedur.

Dalam hal ini, mulai dari proses penetapan, penangkapan, penahanan tersangka hingga pengiriman SPDP ke Kejaksaan Negeri Biak.

TYK sebelumnya ditetapkan Penyidik Polres Biak sebagai tersangka pada 25 Februari 2025 atas dugaan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUH Pidana.

Beberapa poin yang mendasari adanya gugatan Praperadilan dimaksud, yaitu bermula saat penangkapan TYK oleh penyidik Polres Biak yang tidak dilengkapi surat tugas penangkapan pada tanggal 24 Februari 2025.

TYK selanjutnya dibawa dengan menggunakan mobil Avanza bersama-sama dengan termohon dalam hal ini Anggota Polres Biak Numfor di hari yang sama.

Termohon lantas menerbitkan Laporan Polisi Nomor LP/B/77/II/2025/SPKT/POLRES BIAK NUMFOR/POLDA PAPUA tertanggal 25 Februari 2025.

Kemudian, Surat Penyidikan Nomor SP.Sidik/S-1/22/II/2025/Satreskrim Tanggal 25 Februari 2025 dan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/S-4/32/II/2025/Satreskrim/Polres Biak Numfor/Polda Papua, Tanggal 25 Februari 2025.

Bukti lainnya soal penahanan pemohon (TYK) yang tidak sah dan cacat hukum.

Dalam hal ini, keluarga/orang tua pemohon baru mendapatkan surat perpanjangan penahanan Nomor : B-33/R.1.12.3/Eoh.1/03/2025 dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor SP.Han/S-8.1/23/III/2025/Satreskrim/Polres Biak Numfor dari pemohon saat menjenguk pemohon di dalam Rutan Polres Biak Numfor pada tanggal 18 Maret 2025.

Fakta yang didapat adalah keluarga pemohon dalam hal ini orang tua pemohon tidak mendapatkan surat tembusan penahanan terhadap pemohon bertentangan dengan Pasal 21 Ayat (3) KUHAP,

“Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penahanan dilakukan”.

Namun berdasarkan fakta hukum, keluarga pemohon tidak pernah menerima Surat Tembusan Penahanan dari Termohon hingga permohonan praperadilan ini diajukan.

Direktur LBH KYADAWUN Biak Imanuel A. Rumayom, SH selaku kuasa hukum dari pemohon praperadilan membenarkan langkah yang diambil pihaknya.
Ia kemudian mengungkapkan pokok dari gugatan yang diajukan pihaknya.

“Ini berkaitan dengan proses penetapan tersangka, penangkapan serta penahanan TYK hingga pengiriman SPDP ke Kejaksaan Negeri Biak 0ang menurut kami tidak sah,” terangnya kepada Koreri.com, Selasa (2/4/2025).

Rumayom menyebutkan pihak yang digugat dalam Praperadilan ini adalah Kapolri Cq Kapolda Papua Cq Kapolres Biak Numfor.

Ia kemudian menjelaskan maksud dari Praperadilan ini adalah untuk menguji apakah proses penetapan tersangka, penangkapan, penahanan hingga Pengiriman SPDP yang dilakukan oleh Penyidik Polres Biak Numfor ini sudah sesuai dengan KUHAP (Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana), Peraturan Kapolri atau Peraturan Kabareskrim.

“Sehingga kita bisa memastikan semua berjalan sesuai hukum acara atau tidak,” jelas Rumayom.

Adapun dasar hukum dari Praperadilan sendiri diatur khusus dalam,

Pertama, bahwa salah satu wewenang Praperadilan ialah untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penggeledahan, penyitaan, maupun mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka.

Hal ini didasarkan pada Pasal 77 hingga 83 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21-PUU/XII/2014;

Kedua, bahwa dalam KUHAP Pasal 82 ayat (1) Point b menyebutkan “Dalam memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang”.

Ketiga, bahwa hal ini sejalan pula dengan putusan MK yang memperluas penafsiran kewenangan lembaga Praperadilan dengan melegitimasi penetapan status tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objek dalam praperadilan.
Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 pada pokoknya menyatakan:

“Pasal 77 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”.

Bahwa apabila mengacu pada Pasal 82 Ayat (1) huruf d KUHAP, selama perkara belum dilimpahkan ke Pengadilan Negeri permohonan Praperadilan dapat diajukan;
Menyatakan Pasal 109 Ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.

“Kami sendiri menduga ada pelanggaran prosedur dari proses penangkapan, penahanan, penetapan klien kami sebagai tersangka dan pengiriman SPDP tidak sah. Termasuk juga dugaan adanya tindakan-tindakan kekerasan terhadap masyarakat yang kami dampingi, sehingga kami menguji semua proses ini di Pengadilan,” bebernya.

Menurut Rumayom, harus ada evaluasi dari tahapan ini sehingga benar-benar menempatkan Hak Asasi Manusia diatas segala-galanya dan SOP kerja harus berdasarkan KUHAP menjadi hal yang utama.

Dengan begitu hak-hak sebagai tersangka benar-benar didapatkan sesuai UU yang berlaku.

“Sekali lagi kami perlu tegaskan pula bahwa proses Praperadilan adalah hal yang biasa terjadi dalam proses penegakan hukum sehingga menjadi momentum evaluasi bagi kita semua,” pungkasnya.

RED