Koreri.com, Timika — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua saat ini sementara melakukan penyelidikan terhadap dugaan korupsi proyek pembangunan aeromodeling di Kampung Limau Asri (SP 5), Timika, Kabupaten Mimika.
Kejati Papua mengklaim proyek tersebut merugikan negara sekitar Rp40 miliar meskipun pekerjaan tersebut telah tuntas pada 2021 silam.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas PUPR Mimika Robert Mayaut lantas mengungkapkan sejumlah fakta.
Mulanya, terkait temuan kerugian lantaran penyidik Kejati Papua tidak mengakui timbunan di atas lahan yang belum disertifikat.
Secara rinci dijelaskan Kadis, bahwa pada awalnya area tersebut direncanakan untuk stadion sepak bola saat Mimika ditetapkan sebagai salah satu tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON).
Stadion itu direncanakan dibangun di atas lahan seluas 30 hektar yang terletak di jalur SP2-SP5 agar dekat dengan Mimika Sport Complex.
“Namun, saat itu, pembebasan lahan belum dilakukan,” ungkapnya.
Selanjutnya, jelas Kadis, seiring berjalannya waktu, cabang olahraga yang ditetapkan di Mimika berubah menjadi aeromodeling dan lokasi yang telah dipersiapkan untuk stadion sepak bola kemudian dialihkan untuk keperluan cabang baru tersebut.
“Lalu area yang disyaratkan untuk aeromodeling seluas 25 hektar, sesuai ketentuan dari Technical Delegate,” lanjutnya.
Robert menyampaikan bahwa setelah penetapan lokasi, dilakukan proses lelang dan dimenangkan oleh PT KMP.
Selanjutnya, pekerjaan penimbunan dimulai, dengan pengawasan ketat dari konsultan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
“Tugas saya sebagai Pengguna Anggaran (PA), hanya menandatangani pencairan jika progres kerja sudah dinyatakan sesuai oleh pengawas dan PPK,” tegasnya.
Berikutnya yang perlu diketahui bahwa dalam pelaksanaan proyek, Dinas PUPR didampingi oleh Kejaksaan Negeri Mimika melalui Kasie Datun dan Kejari Sutrisno. Setiap pengajuan tagihan harus dipresentasikan terlebih dahulu ke tim pendamping Kejaksaan dan dilakukan pengecekan lapangan.
Penimbunan dilakukan di lahan seluas sekitar 25 hektar dengan ketebalan variatif antara 60 cm hingga 2 meter karena kontur tanah yang tidak rata.
Setelah pekerjaan selesai dan dinyatakan sesuai volume kontrak melalui serah terima (PHO), pencairan dana pun dilakukan.
Namun, muncul permasalahan saat Kejati Papua mempersoalkan bahwa volume timbunan tidak dihitung karena dilakukan di atas lahan yang belum dibebaskan.
Dari total 30 hektar lahan, baru sekitar 12,5 hektar yang dibebaskan pada tahun 2023. Akibatnya, timbunan pada lahan yang belum dibebaskan dianggap tidak ada dan menimbulkan temuan besar oleh Kejati Papua.
“Tugas pembebasan lahan ada pada Dinas Kawasan Perumahan, Permukiman, dan Pertanahan, bukan di PUPR. Ini dilakukan karena desakan waktu penyelenggaraan PON,” ujar Kadis.
Ia juga mengkritik metode penghitungan volume oleh tim ahli dari Kejaksaan yang dianggap tidak akurat.
“Mereka menghitung volume dengan mengambil tinggi dari sisi terendah lalu disamaratakan, padahal ketebalan timbunan sangat bervariasi,” sambungnya.
Kadis menegaskan pula jika dirinya tidak pernah memberikan uang kepada PPK, apalagi untuk menyuap.
“Apa urgensinya saya menyuap PPK Suyani? Tidak ada,” tegasnya.
Terkait proses hukum, Kadis menyebutkan bahwa pada pemeriksaan awal, tim Kejaksaan memberi waktu enam bulan untuk menyelesaikan pembebasan tanah.
Namun proses tersebut terhambat karena pengadaan tanah memerlukan penilaian appraiser dan kewenangan untuk lahan di atas 5 hektar berada di tangan BPN Provinsi.
Kini, sisa lahan seluas 17,5 hektar belum dibebaskan karena adanya ketakutan dari tim pertanahan Pemda untuk melanjutkan proses di tengah permasalahan hukum yang sedang berlangsung.
TIM