Kinerja BAF Merauke Dinilai Merugikan, Begini Pengakuan Nasabah

BAF Merauke

Koreri.com, Merauke – Sebuah pengalaman tak mengenakkan baru saja dialami oleh seorang nasabah PT Bussan Auto Finance (BAF) Merauke.

Nasabah berinisial AB ini mengaku merasa dirugikan oleh kinerja perusahaan tersebut.

Pasalnya, perusahaan pembiayaan tersebut dituding tidak transparan dalam menyampaikan informasi penting terkait biaya penitipan BPKB. Bahkan kemudian menaikkan biaya tanpa pemberitahuan yang jelas.

Kepada Koreri.com, AB mengisahkan pengalaman tak mengenakan itu usai mendatangi kantor BAF Merauke yang berlokasi di Jalan Raya Mandala RT04/01, Kelurahan Mandala, pada Jumat (9/5/2025).

Dengan nada kecewa, ia mengaku jika selama dua tahun terakhir tidak pernah mendapatkan pemberitahuan apapun mengenai biaya penitipan BPKB yang ternyata telah membengkak.

“Saya kredit motor di BAF tahun 2022 atas nama adik ipar saya dan saya sudah lunaskan tahun 2023 itu. Tapi saya belum punya uang untuk bayar denda BPKB yang nilainya Rp2.600.000. Karena saya mau berangkat keluar kota untuk bekerja, saya mau ambil BPKB dan bayar denda. Tapi tiba-tiba saya dikagetkan dengan biaya tambahan penitipan BPKB senilai Rp1.230.000,” ujar AB.

Yang lebih mengejutkan, menurut pengakuannya, tidak pernah ada komunikasi resmi dari pihak BAF baik melalui SMS maupun WhatsApp kepada adik iparnya berinisial S yang menjadi pemilik nama dalam kontrak kredit.

“Saya kaget karena selama dua tahun ini saya tidak pernah dapat informasi itu melalui adik ipar saya,” bebernya.

AB mengungkapkan bahwa dirinya sempat datang ke kantor BAF pada 7 Mei bersama adik iparnya. Mereka bertemu dengan salah satu Costumer Service (CS) bernama Dwi.

Saat itu, S mengaku masih menggunakan nomor lama dan menyatakan tidak pernah menerima pemberitahuan terkait biaya penitipan BPKB sebesar Rp2.500 per hari. Ia hanya pernah mendapat satu SMS dua tahun lalu, itupun hanya mengenai keterlambatan pembayaran angsuran.

Merasa tak puas, AB dan S meminta bertemu dengan pimpinan BAF Merauke untuk mencari solusi. Namun upaya mereka sia-sia.

“Kami minta kebijakan dan keringanan, tapi hasilnya nihil. Bahkan saat saya datang lagi siang harinya tadi untuk menanyakan kembali, CS Dwi hanya bilang itu sudah ketentuan dari kantor pusat dan tidak bisa diganggu gugat,” keluh AB.

BAF Merauke2Lebih lanjut, saat AB mencoba kembali meminta akses untuk berbicara dengan pimpinan kantor, ia justru tak diberi ruang. Bahkan nomor kontak atasan pun tak diberikan oleh CS Dwi.

Menurut AB, ini adalah bentuk penutupan akses komunikasi dan ketidaktransparanan yang patut dipertanyakan.

Yang lebih rumit, menurut AB, setelah pertemuan dengan pimpinan BAF Merauke pada 7 Mei lalu, belum ada satu pun solusi atau penangguhan pembayaran yang ditawarkan—sebagaimana biasanya diberikan oleh lembaga pembiayaan lain.

AB yang datang kembali pada 9 Mei dibuat lebih kaget, karena nilai denda penitipan yang semula Rp1.230.000, sudah naik menjadi Rp1.275.000 hanya dalam dua hari.

“Bukannya membantu atau menunda pembayaran, ini malah seperti menjebak nasabah dalam denda yang terus bertambah tiap hari tanpa pemberitahuan. Saya merasa ini tidak adil dan sangat memberatkan,” kecamnya.

Tak hanya itu, AB bahkan diminta untuk mengurus surat keterangan tidak mampu dari kelurahan agar bisa mendapatkan keringanan, tanpa jaminan pengabulan.

“Kalau memang tak ada informasi yang diberikan kepada kami, kenapa kami yang harus menanggung penuh dendanya? Seharusnya ada kebijakan, bukan menyalahkan nasabah atas kelalaian informasi dari pihak mereka sendiri,” herannya.

Hingga berita ini dipublish, pihak pimpinan BAF Merauke belum berhasil dimintai keterangan. Keberadaannya di kantor pun tidak diketahui secara pasti, sementara akses kontaknya tetap ditutup oleh staf meski telah diminta kru Koreri.com.

Kasus ini memunculkan pertanyaan besar soal sejauh mana tanggung jawab lembaga pembiayaan dalam menyampaikan informasi penting kepada nasabah.

Jika memang benar tidak ada pemberitahuan sama sekali seperti yang disampaikan AB dan S, maka bisa jadi ini bukan hanya kelalaian administratif tetapi bentuk ketidakadilan sistemik yang merugikan konsumen.

NKTan