Koreri.com, Jayapura,Sidang lanjutan perkara pidana Praperadilan dengan nomor register: 3/Pid.Pra/2023/PN Jap dengan pemohon H. Syamsunar Rasyid dkk melawan termohon Kapolda Papua Cq Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Gakkum) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jayapura, Papua, Senin (14/8/3023) pagi.
Sidang yang dimulai pukul 10.33 WIT ini dipimpin Hakim Tunggal Korneles Waroy, S.H didampingi Panitera Pengganti Linda, S.H dihadiri para pihak dengan agenda mendengar jawaban pihak termohon secara tertulis dan dianggap dibacakan atas materi Praperadilan yang diajukan pemohon.
Sidang berlangsung kurang lebih 30 menit kembali ditunda untuk dilanjutkan pukul 17.00 WIT, dihari yang sama dengan agenda replik dari pemohon atas jawaban termohon.
“Kami akan ajukan dalam bentuk replik pada sidang berikutnya sebentar sore,” kata Kuasa Hukum H. Syamsunar Rasyid, Hasnia kepada wartawan usai Sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri Jayapura, Kota Jayapura, Senin (14/8/2023).
Kuasa hukum pemohon, Hasnia, S.H, mengatakan pengajuan praperadilan yang diajukan ke PN Jayapura terkait penetapan kliennya H. Syamsunar Rasyid sebagai tersangka pada kasus penimbunan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Youtefa.
“Jadi lewat sidang praperadilan ini, pemohon ingin menguji apakah itu sudah sesuai prosedural atau tidak, dan ini belum masuk kepada materi praperadilan,” terangnya.
Lebih lanjut, Hasnia juga menjelaskan mengenai surat-surat dasar kepemilikan yang menjadi dasar penimbunan seperti sertifikat dan putusan lainnya.
“Yang bersertifikat itu satu hektar, yang sisanya itu merupakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan itu di anggap benar dan harus di hormati. Jadi putusan pengadilan itu sampai dengan di MK,” bebernya.
“Jadi 1,2 hektar yang ditimbun, 1 hektar bersertifikat dan sisanya kurang lebih 2 hektar sekian itu berdasarkan putusan pengadilan,” tambahnya.
Dikatakan Keputusan Menteri Kehutanan dalam menerbitkan bahwa kawasan itu merupakan kawasan konservasi itu tahun 1996, dan juga tidak pernah di sosialisasikan. Sehingga faktanya di lokasi tersebut sudah diterbitkan sertifikat.
Ditambahkan Hasnia, UU Otsus itu sendiri mengakui keberadaan hak Ulayat juga di dalam Perda No 1 Tahun 2004 itu mengaku juga hak Ulayat. Dengan dasar acuan itu kemudian masyarakat adat menjual tanahnya kepada pihak lain.
“Nah pihak lain inilah sebagai pemilik beritikad baik dan sudah menebitkan sertifikat oleh BPN. Kalau kemudian pihak Kehutanan mengklaim itu merupakan kawasan dilindungi harusnya di batalkan dulu kepemilikan haknya baru di kembalikan kepada Negara,” cetusnya.
Dan di Pasal 4 UU Pokok Agraria itu dijelaskan pula bahwa setiap orang memilik hak atas tanahnya berhak memanfaatkan dan mengelola apa yang menjadi haknya.
“Jadi, kalau kita mau mengacu kepada keputusan Kehutanan, kenapa Pemerintah menerbitkan sertifikat kalau sudah di ketahui secara umum,” pungkasnya.
EHO