Koreri.com, Jayapura – Para tokoh pesisir dan pegunungan di Provinsi Papua menilai bahwa kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan oleh pemerintah perlu dilanjutkan untuk membangun wilayah paling timur Indonesia ini agar berdiri sejajar seperti daerah lainnya di Nusantara.
“Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI, red) melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001,” akui Ondoafi Sosiri Boas Asa Enoch mengawali pernyataan sejumlah tokoh pesisir dan pegunungan di Kota Jayapura, Rabu (25/11/2020).
Enoch didampingi Sekretaris Peradilan Dewan Adat Suku Sentani (DASS) Philipus Deda, Wakil Ketua DASS Yakob Fiabetauw, Ketua Rayon V Rukun Jayawijaya atau Lapago di Jayapura David M. Hubi bersama Kepala Suku Lapago wilayah Yapis Jayapura Ernest Tabuni, Kepala Suku Lapago wilayah Entrop Andius Tabuni dan Kepala Suku Lapago wilayah Angkasa Waila.
Otsus, cetus dia, diberikan agar Provinsi Papua dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat asli Papua.
Anggaran Otsus yang dikucurkan Pemerintah pusat sejak 2000 hingga 2020 terus meningkat dan difokuskan untuk 4 program prioritas yaitu aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Hal itu menjadi bukti, bahwa perhatian Pemerintah pusat ke Papua begitu besar.
Enoch mencontohkan keberhasilan Otsus itu banyak, seperti dalam bidang pendidikan, dimana ada ribuan anak asli Papua dikirim sekolah ke luar negeri, seperti Australia, Selandia Baru, Jerman, Belanda dan Amerika Serikat serta Cina hingga Jepang dan sejumlah negara di Asia.
Berbagai infrastruktur prasarana dan sarana transportasi di sektor perhubungan darat, laut dan udara seperti pembangunan enam bandara di Provinsi Papua yaitu Bandara Ewer, Kepi, Ilaga, Oksibil hingga Bandara Nabire Baru dan Bandara Mopah di Merauke termasuk juga perbaikan Bandara Sentani.
Bahkan, kata dia, jalan Trans Papua sepanjang 1.071 KM telah tersambung dan terus ditingkatkan kondisinya.
“Yang saya ikuti diberbagai media bahwa hingga kini, jalan Trans Papua yang sudah beraspal sepanjang 743 KM dan sisanya masih agregat atau perkerasan tanah dan terbukti memberikan manfaat untuk kesejahteraan rakyat dengan semakin murahnya harga barang-barang kebutuhan pokok,” bebernya.
Olehnya itu, Enoch menekankan dengan melihat perkembangan pembangunan Papua yang semakin baik, maka sebagai tokoh masyarakat adat Papua mulai dari wilayah pesisir hingga pegunungan mendukung penuh pelaksanaan Otsus yang selama ini telah berjalan.
“Serta mendorong perintah pusat untuk tetap melakukan evaluasi penerapannya sehingga manfaat yang selama ini telah dirasakan dapat ditingkatkan lagi dan dirasakan hingga menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat Papua,” pungkasnya.
Sementara David M. Hubi mengaku bahwa selaku orang tua, dirinya melihat di wilayah pegunungan dengan belasan kabupaten masih banyak ketertinggalan.
Dengan begitu, dibutuhkan sentuhan pembangunan lewat Otsus yang diberikan oleh pemerintah.
“Kami inginkan pembangunan yang setara, sama dengan daerah lainnya karena sauadara kami di gunung masih ada yang tertinggal. Ada 14 atau 16 kabupaten di gunung itu perlu dimekarkan jadi provinsi Pegunungan Tengah Papua agar bisa membangun di segala bidang,” pintanya.
Hubi pada kesempatan itu juga mengingatkan, jika ada pihak yang sengaja mengembangkan isu atau wacana tolak Otsus maka hal itu merupakan pola yang salah karena yang terjadi hingga kini masyarakat di pegunungan masih ada yang belum memakai pakaian (telanjang, red).
“Saya selaku orang tua, karena Otsus kita bisa tahu hitung uang atau pegang uang karena sekolah, jika dibandingkan dengan sebelum kebijakan Otsus diberlakukan hal itu belum terjadi. Inikan aneh jika ada yang menolak,” pungkasnya.
AND