Opini  

Opini : Pilgub Papua di Era Baru, Orde Baru Versi Makan Gratis

Oleh: Panji Agung Mangkunegoro

Opini Panji AM
Foto : Panji Agung Mangkunegoro

Koreri.com – Antusiasme berkata-kata mencapai puncaknya tetapi mendengarkan umpan balik ditolak mentah – mentah, komunikasi yang tidak saling sambung pikiran-hati (mutual understanding) bukanlah komunikasi. Kata-kata hanyalah kata-kata, kata-kata dan kata-kata saja

Apalagi yang dibicarakan adalah soal sebesar, serumit dan sedalam kebenaran. Tidak heran pembahasan tentang kebenaran sudah ‘hilang’ dari wacana dunia barat modern. Kalaupun di bahas sangat membingungkan. Batas antara yang benar dan yang salah semakin kabur.

Impor pasca kebenaran mengimplikasikan kita berada pada pusaran kebingungan karena banyak versi merasa paling benar.

Konon, idealnya seseorang dalam menentukan opini mendasarkan pada fakta-fakta. Bukan seperti pasca kebenaran, opini seseorang lebih didasarkan pada perasaan dan keyakinan.

Pemuja perasaan dan keyakinan baik tokoh pun pengikutnya ini dianggap paling bertanggung jawab pada berita bohong, hoaks, termakan demagog dan propaganda. Namun hal ini tidak logis karena mengasumsikan publik begitu bodoh, irasional dan emosional.

Strategi kecurangan MDF sudah dipaparkan oleh Pj Wali Kota Jayapura, tetapi itu di anggap oleh Kepolisan Polda Papua khususnya Sentra Gakkumdu bukan merupakan pelanggaran netralitas ASN.

Bahkan pidana Pemilunya di hadang oleh Gakkumdu sendiri (obstraction of justice). Gakkumdulah yang menghalang – halangi penyidikannya.

Netralitas Polri hari ini diragukan juga tercoreng dan sangat nampak dari penanganan dan penyidikan kasus Pj Wali Kota Jayapura.

Padahal UU Netralitas ASN dan Polri jelas, apa lagi MK sudah mengetok palu pada tanggal 14 November bahwa ASN dan Polri yang tidak netral akan dipidanakan.

Itu UU yang bicara bukan saya !!!

Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan putusan penting yang mengatur sanksi pidana bagi pejabat daerah, anggota TNI, dan Polri yang terbukti tidak netral dalam Pilkada.

Keputusan ini muncul di tengah situasi maraknya praktik “cawe-cawe” oleh aparat negara untuk memenangkan kandidat tertentu.

Keputusan itu diambil MK setelah mengabulkan gugatan terkait Undang-Undang Pilkada, yang sebelumnya dinilai kurang tegas dalam memberikan efek jera terhadap pelanggaran netralitas aparat.

Putusan ini mengatur anggota aktif TNI-Polri dan pejabat yang melanggar prinsip netralitas dapat dikenai hukuman pidana.

Keputusan MK itu lahir karena kegelisahan terhadap UU Pilkada dan Perbawaslu yang masih abu-abu tentang UU netralitas ASN dan TNI-Polri.

Konstitusi memandatkan setiap warga negara punya hak yang sama di mata hukum. Begitu juga partai politik, memiliki hak yang sama.

Hak pilih harus digunakan secara merdeka, bebas, dan berdaulat. Tidak boleh ada kekuatan yang menghalang-halangi kebebasan rakyat untuk memilih. Kepada seluruh aparatur negara, pejabat kepala daerah, TNI, Polri, ASN mulai dari camat sampai kepala desa, untuk bersikap netral dan tidak boleh berpihak.

Netralitas ASN itu sebagaimana putusan MK No.136/PUU-XXII/2024 yang menguji konstitusionalitas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.

Melalui putusan itu, MK memandatkan sanksi pidana bagi ASN yang tidak netral dalam Pemilu dan Pilkada.

Ingat bahwa MK telah mengambil keputusan yang sangat penting bahwa ASN yang tidak netral bisa dikenakan sanksi pidana. Itulah makna putusan MK No. 136/PUU-XXII/2024 ini.

Anehnya mereka para penegak hukum malah buta hukum dan terlibat dalam politik praktis melindungi penjahat demokrasi di Kota Jayapura.

Terlalu banyak aturan dan UU di Negara ini sampai para penegak hukum, lembaga hukum lupa bagaimana cara menjalankan aturan itu.

Netralitas Polri saat ini sangat diragukan karena dari tubuh institusi Polri sendiri ada yang maju menjadi Calon Gubernur Papua yang berstatus masih aktif sampai saat ini dan belum pensiun.

Kendati demikian, KPU dan Bawaslu Papua malah bersekongkol meloloskan yang bersangkutan menjadi paslon Gubernur Papua 2024.

Mereka sedang tersandera kepentingan politik, harus dan tidak harus menjalankan perintah.

Yang kita lawan saat di pilkada 2024 sebenarnya adalah bukan antar partai politik, tapi partai baru yang saat ini bosnya maju menjadi calon Gubernur Papua.

Perjalanan demokrasi bangsa bisa runtuh, sendi-sendi kemajuan bangsa juga akan terkikis dan tergerus, seakan-akan orde baru sudah siap berkuasa di negeri ini. Orde Baru versi Makan Gratis.

 

NKRI (Negara Konoha Republik Indomie)

UU DAN ATURAN TERLALU BANYAK

SEPERTI IKLAN YANG MUNCUL TETAPI MEREKA TIDAK TAHU BAGAIMANA ORANG-ORANG BESAR DAN ORANG-ORANG HEBAT DAN PINTAR MENJADI ADIL BAGI MASYRAKATNYA  ATAU SEBALIKNYA

Sinetron Politik “Konspirasi 9.36” Minum Rokok Isap Kopi

 

Penulis :

Pengamat Politik / Ketua Gempur Papua

(*)