Koreri.com, Saumlaki – Terpilihnya Ricky Jawerisa sebagai Bupati Kepulauan Tanimbar menandai babak baru dalam sejarah politik daerah ini.
Dengan perolehan suara terbanyak, yakni 19.643 suara, ia berhasil mengalahkan empat pasangan calon lainnya.
Namun, kemenangan ini tidak datang tanpa kontroversi.
Dari dugaan politik uang hingga konflik kepentingan, Ricky dihadapkan pada berbagai tantangan untuk membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang layak dan mampu membawa perubahan di Tanimbar.
Politik Uang dan Integritas yang Dipertanyakan
Sejak awal pencalonannya, rekam jejak Ricky telah memicu perdebatan.
Dugaan bahwa ia meminta “uang ketok palu” sebesar satu miliar rupiah ketika menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kepulauan Tanimbar mencoreng integritasnya.
Lebih parah lagi, keberhasilannya memenangkan Pilkada diduga kuat dipengaruhi oleh politik uang.
Meski laporan pelanggaran ke Bawaslu dan Gakumdu diajukan oleh empat pasangan calon lainnya, semuanya berujung nihil dengan alasan kurangnya bukti.
Jika dugaan ini benar, maka kemenangan Ricky menjadi tamparan keras bagi demokrasi di Tanimbar. Bagaimana masyarakat bisa percaya pada seorang pemimpin yang memanfaatkan uang untuk meraih kekuasaan?
Utang Pihak Ketiga: Masalah Lama yang Menghantui
Warisan utang pihak ketiga (UPH) yang membelit Tanimbar selama lebih dari 15 tahun menjadi salah satu isu utama yang harus segera diatasi oleh Ricky.
Utang ini, yang kabarnya mencapai miliaran rupiah, muncul dari proyek-proyek tanpa kontrak yang dikerjakan oleh pengusaha besar seperti Agus Thiodorus—seorang kontraktor yang juga memiliki hubungan kekeluargaan dengan Ricky.
Keengganan Bupati sebelumnya, Bitzael Temmar dan Petrus Fatlolon untuk membayar utang ini adalah langkah cerdas yang didasari oleh prinsip hukum dan akuntabilitas.
Proyek-proyek yang tidak memiliki dasar kontrak dan dokumen resmi seharusnya tidak menjadi tanggungan pemerintah. Namun, dengan latar belakang hubungan pribadi Ricky dan Agus, muncul kekhawatiran bahwa pembayaran UPH ini justru menjadi prioritas, mengorbankan kebutuhan rakyat yang lebih mendesak.
Tanimbar di Tengah Kemiskinan Ekstrem
Ironi terbesar dari semua ini adalah kondisi ekonomi masyarakat Tanimbar. Dari ujung Molu Maru hingga Selaru, masyarakat berteriak kelaparan.
Kemiskinan ekstrem melanda wilayah ini, namun para pemimpinnya justru sibuk memperjuangkan pembayaran utang miliaran rupiah kepada segelintir orang kaya.
Apakah Ricky akan mengutamakan rakyat atau melanjutkan warisan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elit? Rakyat Tanimbar menanti jawaban atas pertanyaan ini dengan skeptisisme yang besar.
Gugatan di Mahkamah Konstitusi: Harapan Kecil untuk Keadilan
Dua pasangan calon yang kalah, yakni Adolf Bormasa-Henrikus Serin dan Kaka Manyala, masih memperjuangkan hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, dengan selisih suara yang signifikan dan dukungan partai besar seperti Gerindra dan PSI kepada Ricky, peluang mereka untuk membalikkan hasil sangat kecil.
Jika gugatan ini gagal, pertanyaannya bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi juga tentang seberapa besar kepercayaan rakyat Tanimbar terhadap sistem pemilu mereka?
Harapan untuk Masa Depan
Dengan semua kontroversi yang melingkupi terpilihnya Ricky Jawerisa, masa depan Tanimbar tergantung pada langkah awal pemerintahannya.
Jika Ricky memilih untuk melanjutkan praktik nepotisme dan mengabaikan kebutuhan rakyat, maka Tanimbar hanya akan tenggelam lebih dalam lagi dalam jurang kemiskinan dan ketidakadilan.
Sebaliknya, jika ia mampu menunjukkan komitmen terhadap transparansi, akuntabilitas, dan pembangunan yang berkeadilan, ia memiliki kesempatan untuk memulihkan kepercayaan rakyat.
Namun, harapan ini tetap tipis. Sejarah telah menunjukkan bahwa politik di Tanimbar sering kali lebih mementingkan elit daripada rakyat.
Rakyat Tanimbar, yang kini hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, hanya bisa berharap bahwa suara mereka, meski diwarnai kontroversi, tidak akan sia-sia di bawah kepemimpinan Ricky Jawerisa dan wakil Bupati Juliana Ratuanak.
“La tsalan motak” Semoga!!
NKTan