FOPERA Minta Lokasi Pembangunan Kantor Gubernur PBD Dibatalkan, Ini Alasannya!

IMG 20250430 060729

Koreri.com, Sorong– Lokasi pusat pemerintahan provinsi Papua Barat Daya di kilometer 16, bekas stadion Wombik Kota Sorong yang saat ini baru memasuki tahap awal pembangunan kembali bermasalah lagi.

Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (FOPERA) Provinsi Papua Barat Daya menilai bahwa pembangunan kantor Gubenur di lokasi tersebut sangat tidak layak.

Sebagai bagian dari komitmen untuk mengawal pembangunan daerah yang adil, berkelanjutan, dan berperspektif keadilan sosial, FOPERA memberikan pandangan kritis konstruktif terhadap arah kebijakan ini.

Dalam keterangan persnya yang diterima redaksi koreri.com, Rabu (30/4/2025) Ketua FOPERA Papua Barat Daya Yanto Amos Ijie,S.T menjelaskan, ketidaklayakan ekologis kilometer 16 merupakan kawasan ekosistem hutan mangrove yang memiliki fungsi vital dalam menjaga keseimbangan lingkungan, melindungi kawasan pesisir dari abrasi, serta menopang kehidupan ekonomi masyarakat lokal.

Pemilihan lokasi ini dikhawatirkan akan merusak lingkungan, menimbulkan kerugian ekologis jangka panjang, serta berdampak negatif pada kesinambungan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

Selain itu secara geologi, kawasan kilometer 16 ini lokasi yang didominasi oleh formasi tanah berlumpur dan berawa secara alami terbentuk dari endapan mangrove serta zona seismic (pengeboran minyak). Struktur tanah di kawasan ini memiliki karakteristik dengan daya dukung tanah (bearing capacity) yang rendah dan tingkat konsolidasi yang lambat.

Kondisi ini menyebabkan tingkat penurunan tanah (settlement) yang tinggi dalam jangka panjang apabila dibebani konstruksi bangunan besar, sehingga berisiko mengganggu stabilitas struktur serta meningkatkan biaya pemeliharaan dan perbaikan fondasi secara berkelanjutan.

“Kawasan ini tergolong sebagai zona rawan banjir rob dan intrusi air laut, mengingat elevasi tanah yang relatif rendah dan kedekatannya dengan garis pantai. Risiko ini akan semakin diperparah oleh perubahan iklim global yang menyebabkan kenaikan muka air laut. Dari perspektif geoteknik dan mitigasi bencana, pembangunan kawasan perkantoran di lokasi ini tidak hanya tidak ekonomis, tetapi juga berpotensi menghambat operasional pemerintahan akibat gangguan rutin dari banjir dan kerusakan infrastruktur. Oleh karena itu, relokasi ke kawasan dengan struktur geologi lebih stabil dan aman menjadi pilihan yang lebih rasional dan berkelanjutan,” jelas Yanto Ijie.

Kemudian jumlah penduduk Kota Sorong pada tahun 2024 tercatat 284.650 jiwa Kepadatan Penduduk: 420 jiwa/km² Luas wilayah kota sorong 1.105 km² adalah tergolong kota terbesar kedua di wilayah Papua setelah Kota Jayapura.
Kota Sorong merupakan pelabuhan utama pintu masuk barang dan manusia arus laju migrasi penduduk semakin cepat dan juga merupakan kota jasa dan industri, memperhatikan luas wilayah yang kecil tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk tentunya 20 tahun sampai 50 Tahun ke depan akan terjadi kepadatan penduduk dan kemacetan disebabkan daya dukung dan daya tampung lingkungan di kota Sorong over kapasitas, oleh karena kota sorong cukup dijadikan kota jasa sedangkan pusat perkantoran pemerintah Provinsi dicari tempat yang layak untuk dikembangkan menjadi kota baru.

“FOPERA menilai bahwa pembangunan kawasan perkantoran seharusnya tidak tertumpuk pada satu titik melainkan diarahkan untuk mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah baru yang belum tersentuh. Pemerataan ini tidak hanya penting untuk keadilan wilayah, tetapi juga strategis dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik secara merata di seluruh Provinsi Papua Barat Daya,” imbuhnya.

Lebih kanjut dijelaskan Yanto, pembangunan kawasan perkantoran di areal baru memiliki prospek yang lebih menjanjikan, membuka ruang bagi terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan baru. Dalam jangka panjang, kawasan-kawasan baru ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi cikal bakal Kota Baru di masa depan, sejalan dengan visi nasional pemerataan pembangunan wilayah.

Kritik terhadap Proses Amdal.

FOPERA mengamati bahwa proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dilakukan terkesan sekadar menjadi formalitas administratif tanpa kajian objektif dan mendalam. Hal ini berisiko mempercepat pembangunan di lahan yang secara faktual tidak layak, serta mengabaikan prinsip kehati-hatian lingkungan yang wajib diutamakan dalam pembangunan berkelanjutan.
Kewajiban Perlindungan Orang Asli Papua (OAP)

“Pembangunan kawasan perkantoran lokasinya wajib berada di tengah-tengah mayoritas penduduk (OAP) sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 2021 pasal 76 ayat 4 sebagaimana tujuan pemekaraan adalah memperpendek rentang kendali dan mendekatkan pelayanan kepada Masyarakat untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera,” tegasnya.

Pernyataan Sikap

Berdasarkan hal-hal tersebut, Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (FOPERA) Provinsi Papua Barat Daya menyatakan 6 poin pernyataan sikap.

1.Mendesak Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya untuk mempertimbangkan kembali dan dan membatalkan lokasi pembangunan kawasan perkantoran, dengan memperhatikan aspek kelayakan ekologis, strategis pembangunan, dan prospek jangka panjang.

2.Mengusulkan pencarian lokasi alternatif letak perkantoran Provinsi Papua Barat Daya yang lebih strategis berada ditengah-tengah mayoritas OAP, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua pasal 76 ayat 4. Kami mengusulkan lokasi alternatif arah selatan wilayah jalan bandara Segun arah timur dan utara letaknya di Sayosa dan atau Batu Payung.

3.Memohon pemerintah Provinsi Papua Barat Daya mengusulkan kepada pemerintah Pusat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang khususnya UU Nomor 29 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya pasal 6 tentang letak Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya

4.Mendorong penataan kawasan baru dengan visi jangka panjang yang dapat memfasilitasi lahirnya kota baru di masa mendatang.

5.Menuntut agar proses AMDAL dilaksanakan secara objektif, akuntabel, dan berbasis prinsip keberlanjutan lingkungan, bukan semata-mata formalitas administrasi mendapat pesan sponsor oleh pemrakarsa.

6.Kami tegaskan, pandangan ini bukanlah upaya menghambat proses pembangunan, Proyek Strategis Nasional Bapak Presiden Republik Indonesia yang telah menetapkan program percepatan Pembangunan di daerah Otonomi Baru. Bukan pula bertujuan melemahkan visi dan misi serta janji politik Gubernur terpilih, Sebaliknya, ini adalah bagian dari kritis konstruktif yang bertanggung jawab sebuah bentuk pengawalan agar Provinsi Papua Barat Daya bisa tumbuh lebih cepat, lebih baik, dan lebih terorganisasi dibandingkan daerah otonomi baru lainnya. Sebagai sebuah provinsi baru, Papua Barat Daya perlu menjadi teladan bagaimana pembangunan dirancang bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk 50 hingga 100 tahun ke depan. Membangun tanpa merusak, membangun dengan merangkul alam, membangun demi masa depan rakyat banyak — itulah prinsip perjuangan kami.

Dalam semangat membangun Provinsi Papua Barat Daya secara adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat, khususnya Orang Asli Papua (OAP), Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (FOPERA) Provinsi Papua Barat Daya mengusulkan beberapa solusi konstruktif.

Pertama, kami mendorong pemerintah provinsi untuk mempertimbangkan relokasi pembangunan kawasan perkantoran ke wilayah baru yang lebih layak secara ekologis dan strategis. Kawasan yang dipilih hendaknya berada di luar zona konservasi, seperti hutan mangrove, serta memiliki potensi pengembangan jangka panjang.

Kedua, kami mendorong pemerintah berkenaan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang khususnya UU Nomor 29 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya pasal 6 tentang letak Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya agar berada di tempat yang lebih strategis.

Ketiga, FOPERA mengingatkan bahwa pembangunan kawasan perkantoran wajib memberikan manfaat nyata dan berada di tengah-tengah mayoritas Orang Asli Papua (OAP), Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, khususnya Pasal 76 ayat 4, yang menyatakan:
“Pemekaran harus menjamin dan memberikan ruang kepada Orang Asli Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, dan sosial-budaya.”

Hal ini menegaskan bahwa DOB di Tanah Papua harus memberikan dampak langsung bagi OAP dalam segala aspek, termasuk letak pusat pemerintahan/perkantoram yang bersinggungan langsung dengan OAP.

Keempat, dalam perspektif jangka panjang, kawasan perkantoran baru yang dibangun ini harus dirancang sebagai embrio bagi lahirnya Kota Baru di masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian, setiap pembangunan infrastruktur dasar —seperti jalan, air bersih, listrik, dan jaringan internet-harus dirancang terintegrasi dan mendukung pertumbuhan kawasan secara berkelanjutan.

Kelima, kami menganjurkan adanya penyesuaian terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua Barat Daya.

Penyesuaian ini harus diarahkan untuk memasukkan kawasan-kawasan baru sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan masa depan, berbasis konsep pembangunan “Green City” dan “Smart City” yang berwawasan lingkungan dan teknologi.

Keenam, kami menekankan pentingnya pelaksanaan kajian lingkungan atau AMDAL yang dilakukan secara independen, objektif, dan melibatkan partisipasi publik. Setiap proses pembangunan hendaknya mengedepankan prinsip kehati-hatian lingkungan agar tidak menimbulkan kerusakan ekologis yang akan membebani generasi mendatang.

Ketujuh, kami mengingatkan pemerintah daerah untuk berpikir lebih kreatif dan “out of the box”. Pembangunan kawasan perkantoran tidak hanya berfokus pada gedung-gedung administratif, melainkan sekaligus membangun kawasan baru yang lengkap dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, ruang terbuka hijau, dan area bisnis.

Dengan demikian, kawasan tersebut akan menjadi pusat pemerintahan sekaligus kota baru sebagai motor penggerak pembangunan sosial ekonomi masa depan Papua Barat Daya.

RED