Koreri.com, Makassar – Sidang perkara video porno dengan terdakwa Pratu RAB, anggota TNI dari Batalyon Infanteri 433/Julu Siri Kostrad telah memasuki agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Oditur Militer III-16 Makassar.
Dalam sidang tersebut, Pratu RAB hanya dituntut hukuman 10 bulan penjara.
Tuntutan ini menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Yoseph Temorubun selaku Direktur YLBH Papua Tengah yang juga kuasa hukum korban.
Menurutnya, tuntutan yang dijatuhkan Jaksa Oditur Militer dinilai sebagai cerminan bahwa belum terjadi reformasi nyata dalam penegakan hukum di lingkungan peradilan militer.
“Tuntutan ini sama sekali tidak berpihak kepada korban. Ini mencederai rasa keadilan, baik bagi korban, keluarga maupun kami sebagai penasehat hukumnya,” beber Yoseph Temorubun dalam keterangannya, Rabu (21/5/2025).
Dijelaskan, kasus ini bermula dari penyebaran video asusila oleh Pratu RAB melalui tiga akun Instagram milik korban, yang ditonton oleh lebih dari 10 ribu pengguna dan mengundang komentar negatif dari publik terhadap korban.
Aksi tersebut telah menyebabkan penderitaan psikologis yang mendalam.
Sebagai perbandingan, dalam kasus serupa pada Februari 2018, seorang anggota TNI dari Kodiklat AD berinisial MGR dipecat setelah menyebarkan konten serupa berdurasi 2 menit 17 detik.
Dua rekannya juga mendapat sanksi pemecatan. Hal ini memperlihatkan ketidakkonsistenan dalam penanganan kasus pelanggaran berat di tubuh TNI.
Pelanggaran yang dilakukan Pratu RAB jelas masuk dalam kategori berat termasuk dalam tujuh pelanggaran berat di lingkungan TNI yang tidak bisa ditoleransi.
Oleh karena itu, sanksi pemecatan dari kesatuan seharusnya menjadi langkah minimal, bukan perlindungan tidak pantas dari institusi.
Lebih jauh, pihak kuasa hukum juga mendesak Komisi III DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Mereka menilai peradilan militer sudah tidak relevan dalam konteks demokrasi dan reformasi TNI saat ini.
“Sidang yang tertutup dari pengawasan publik dan tetap mempertahankan gaya militer menutup akses terhadap keadilan, transparan dan akuntabel,” tegas kuasa hukum Yoseph Temorubun.
Pernyataan ini menegaskan perlunya peninjauan menyeluruh terhadap sistem peradilan militer agar tidak lagi menjadi tempat berlindung bagi oknum yang melakukan pelanggaran hukum.
Melainkan alat keadilan sejati yang menjunjung tinggi hak korban dan supremasi hukum.
EHO