Koreri.com, Timika – Proyek pembangunan Jembatan Gantung Aroanop – Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, kini menjadi sorotan tajam publik.
Selain mangkrak, proyek yang menelan anggaran puluhan miliar rupiah ini diduga sarat penyimpangan mulai dari proses tender hingga pencairan dana.
Lebih jauh lagi, penanganan kasusnya oleh aparat penegak hukum pun disinyalir mengalami “masuk angin”.
Ombudsman RI Perwakilan Papua dan kelompok masyarakat sipil “Kitong Anti Maladministrasi Mimika” menyoroti indikasi kuat terjadinya maladministrasi yang membuka jalan bagi dugaan korupsi proyek tersebut.
Tender Sarat Persengkongkolan
Ketua Kitong Anti Maladministrasi Antonius Rahabav, mengungkapkan bahwa proses lelang proyek ini sudah janggal sejak awal. Dari sekitar 40 peserta tender, hanya tiga perusahaan yang menyerahkan penawaran yang diduga kuat dikendalikan oleh satu pihak.
“Selisih nilai penawaran yang sangat tipis mengindikasikan adanya persengkongkolan. Pokja ULP seharusnya menilai berdasarkan prinsip realistis sesuai Perpres pengadaan barang/jasa.
Tapi yang terjadi, penawar terendah justru menang tanpa pertimbangan teknis memadai,” bebernya.
Menurut dokumen LPSE, pemenang tender tercatat bukan PT Dewi Graha Indah (DGI) seperti yang disebut public melainkan perusahaan lain asal Gowa, Sulawesi Selatan.
“Ini sudah termasuk pembohongan publik. Ketidaksesuaian data ini fatal,” tambahnya.
Dengan HPS sekitar Rp17 miliar, penawaran yang menang hanya sekitar Rp14 miliar. Nilai tersebut dinilai terlalu rendah dan tidak realistis untuk medan berat seperti Aroanop. Hal ini berdampak pada biaya mobilisasi serta kelayakan teknis pelaksanaan proyek yang akhirnya mangkrak.
Dana Cair 100 Persen, Proyek Tak Selesai.
Masalah berlanjut ke tahap pencairan dana. Fisik proyek belum rampung, namun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) justru mendorong pencairan dana 100 persen.
“Bagian Keuangan Pemkab Mimika seharusnya menjadi filter terakhir sesuai UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Tapi ternyata, pencairan tetap dilakukan tanpa verifikasi,” kecam Anton.
Ia menuding adanya konspirasi antara PPK, kontraktor pelaksana, dan bendahara daerah.
“Ini bukan sekadar kelalaian, tapi diduga kuat ada kejahatan administratif yang merugikan keuangan negara,” cetusnya.
Penanganan Kasus oleh Polisi Diduga Bermasalah
Kasus dugaan korupsi proyek ini awalnya ditangani oleh Kejaksaan Negeri Mimika, namun belakangan diambil alih oleh Polres Mimika. Langkah ini kemudian menuai tanda tanya besar karena diduga melanggar etika penegakan hukum dan SOP antar lembaga.
“Jika satu lembaga penegak hukum sudah mulai menangani perkara korupsi, seharusnya lembaga lain tidak bisa mengambil alih begitu saja. Apalagi jika tidak disertai koordinasi atau alasan hukum yang kuat,” sorot Anton.
Lebih lanjut, ia menilai penanganan yang stagnan di Polres Mimika menambah daftar panjang maladministrasi dalam kasus ini.
“Hingga kini tidak ada kejelasan. Publik menunggu kepastian hukum, tapi Polres bungkam.” katanya.
Jaminan Polres untuk PT. DGI Dipertanyakan
Tudingan makin tajam ketika Polres Mimika disebut-sebut memberi ruang bagi PT. DGI untuk melanjutkan proyek yang terbengkalai. Namun pertanyaan besar muncul: siapa yang memberikan jaminan? Dan siapa yang mengawasi pekerjaan tersebut saat kontrak telah selesai dan konsultan pengawas tidak lagi bertugas?
“Jika polisi yang memberikan jaminan, itu sudah menyalahi aturan. UU Tipikor menyebut bahwa pembayaran kembali kerugian negara tidak menghapus unsur pidana. Lalu, siapa yang membuat laporan akhir dan bobot volume proyek?” tanya Anton retoris.
Ia menilai keputusan ini rentan mengarah pada penyalahgunaan wewenang.
“Kalau polisi membiarkan ini, berarti ada celah masuknya korupsi lanjutan dengan modus maladministrasi,” sambungnya.
Desakan Transparansi dan Pertanggungjawaban
Kelompok Kitong Anti Maladministrasi dan publik Mimika kini mendesak Kapolres Mimika untuk angkat bicara.
“Jika benar Kapolres memberi mandat pada PT. DGI untuk lanjutkan proyek, beliau harus berani menyampaikan langsung ke publik,” tegas Anton.
Ia menegaskan bahwa proyek Jembatan Gantung Aroanop bukan sekadar infrastruktur, tapi simbol integritas pemerintah dan penegak hukum di mata rakyat.
“Jika kasus ini tidak ditangani secara transparan dan profesional, maka publik akan menilai bahwa penegakan hukum di Mimika sudah dipermainkan,” tukas Anton.
Dugaan maladministrasi, persengkongkolan tender, pencairan dana fiktif, dan pengambilalihan penanganan perkara secara sepihak menjadikan kasus pembangunan Jembatan Gantung Aroanop sebagai potret nyata kegagalan sistem pengawasan dan penegakan hukum.
Kini masyarakat menunggu: apakah hukum masih bisa dipercaya sebagai alat keadilan, atau justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri?
EHO









