Koreri.com, Jayapura – Tim Kuasa Hukum terdakwa Johannes Rettob dan Silvy Herawati hadirkan mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kantor Perwakilan Provinsi Papua, Dr. Kukuh Prionggo, sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara untuk didengar pendapatnya dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (4/8/2023).
Dihadapan Ketua Majelis Hakim Thobias Benggian, SH, didampingi Hakim Anggota Linn Carol Hamadi, SH dan Andi Asmuruf, SH, MH, Ahli memberikan pendapat terkait perkara pengadaan barang dan jasa ini dimana dikatakan ada kerugian negara berdasarkan pelaporan penghitungan kerugian negara hasil audit investigatif oleh lembaga atau kantor akuntan publik Tarmizi Tahir.
Ahli menegaskan bahwa pengadaan Pesawat-Helikopter oleh Pemkab Mimika itu sudah sesuai aturan dan tidak ada kerugian negara.
“Saya sebagai ahli hukum keuangan negara menyatakan tidak ada kerugian negara terkait pengadaan barang dan jasa dalam perkara ini,” tegas Dr. Kukuh Prionggo kepada awak media saat dikonfirmasi seusai sidang.
“Jadi, kata kunci yang saya katakan di depan Majelis Hakim bahwa kerugian negara itu terjadi bukan pada proses adanya suatu peristiwa tetapi akhir proses suatu peristiwa,” sambung Ahli.
Dengan demikian, lanjut Kukuh, apabila di dalam proses pengadaan barang dan jasa semisal ada penyimpangan dan perbuatan melawan hukum dan pada akhir proses suatu peristiwa tidak ada kerugian negara maka itu tidak terjadi kerugian negara.
“Kita berbicara kerugian negara atau daerah itu akan terjadi setelah adanya proses kegiatan pengadaan barang dan jasa,” bebernya.
Ditanyakan soal bagaimana dengan pernyataan declare BPK?
Ahli menegaskan bahwa pernyataan declare ini dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA Nomor 4 Tahun 2016 secara tegas menyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan pemeriksaan ini berdasarkan konstitusional adalah BPK RI.
“Silakan dan sah-sah saja pihak lain melakukan penghitungan kerugian negara atau kerugian daerah tapi yang mendeklar itu adalah BPK RI,” kembali tegasnya.
“Ini sejalan dengan aturan pelaksanaan kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-undang kepada BPK karena sepanjang penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh pihak lain untuk dan atas nama BPK itu boleh saja tapi yang men-declare itu harus BPK,” sambungnya.
Bagaimana dengan hasil audit investigasi yang dilakukan Kantor Akuntan Publik Tarmizi?
“Maka itu saya katakan dari pihak manapun termasuk akuntan publik bisa melakukan audit karena sudah diatur dalam standar pemeriksaan keuangan negara di dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2017,” jelasnya.
Sementara Saksi Ahli Keselamatan Penerbangan Eko Fipianto, menjelaskan bahwa re-ekspor itu artinya pesawat dan helikopter dikeluarkan lagi dari negara Indonesia.
“Dan dari keahlian yang saya tahu, bahwa re-ekspor itu hanya kita mengurus kembali kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara untuk merubah sertifikat kelayakudaraan menjadi sertifikat kelayananudaraan untuk ekspor,” terangnya.
“Jadi menurut pendapat saya semua prosedur dalam proses pengadaan pesawat dan helikopter milik Pemkab Mimika sudah sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.
Ahli kemudian menjelaskan bukti dari prosedur yang sudah ditempuh dalam proses pengadaan pesawat dan helikopter Pemkab Mimika ini.
“Buktinya itu, pesawatnya sudah masuk dan beroperasi di Indonesia khususnya di Timika. Kalau tidak memenuhi prosedur, tidak mungkin pesawat dan helikopter milik Pemkab Mimika ini masuk dan beroperasi di Indonesia,” jelasnya.
Juru bicara tim kuasa hukum, Iwan Niode, mengatakan keterangan Ahli Penerbangan soal pra operasi terkait bagaimana kesulitan dan rumitnya memasukkan pesawat terbang itu menandakan bahwa proses pengadaan pesawat dan helikopter milik Pemkab Mimika ini tidak mudah.
“Kenapa harus swkelola? kenapa harus kerjasama KSO dengan operator penerbangan? Karena sebelum pesawat itu beroperasi maka harus dilakukan yang namanya pra operasi dan itu penting harus dilakukan. Kalau tidak dilakukan, maka pesawat tidak bisa jalan dan beroperasi karena itu biaya,” urainya.
“Justru biaya atau anggaran dikeluarkan untuk pra operasi itu terlalu sedikit cuma 5 miliar. Seharusnya itu di atas 6 miliar rupiah,” sambungnya .
Karena menurut hitungan ahli, biaya pra operasi untuk satu pesawat mencapai 200.000 US Dollar.
EHO