Koreri.com, Merauke – Sungguh sangat ironis ! Proyek pembangunan Gereja Katolik Santa Maria Fatima tahap II di Kelapa Lima, Merauke, yang seharusnya menjadi sarana ibadah dan lambang iman umat Katolik, kini justru menjadi sorotan karena dugaan korupsi besar-besaran.
Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Merauke dan resmi ditahan di Lapas Klas IIB Merauke.
Ketiga tersangka itu adalah M.Y.A, pejabat pembuat komitmen di Dinas PUPR Kabupaten Merauke; P.W.T, Direktur CV. Buako; dan VN alias A, yang diduga sebagai pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner) dari perusahaan pelaksana proyek.
“Dari hasil penyidikan dan ekspose perkara, penyidik menyimpulkan telah cukup bukti untuk menetapkan ketiganya sebagai tersangka,” ungkap Kepala Kejaksaan Negeri Merauke, Sultan Sitohang, dalam konferensi pers pada Rabu (30/4/2025).
Dari keterangan Kajari, M.Y.A diduga lalai dalam menjalankan tugas sebagai PPK, termasuk dalam penetapan rancangan kontrak, penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), serta proses pembayaran prestasi kerja.
Sementara itu, P.W.T dianggap tidak memenuhi tanggung jawab kontraktual, terutama dalam kualitas serta volume pekerjaan.
Namun peran paling mencolok justru datang dari VN alias A. Meski tidak tercatat secara resmi, VN diduga menjadi pengendali sebenarnya atas proyek ini.
“VN secara nyata mengendalikan pekerjaan dan keuangan proyek, termasuk menikmati kelebihan pembayaran dari negara,” kata Sitohang lagi.
Data dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Papua menyebutkan bahwa kerugian negara mencapai Rp4.820.769.805,27 dari total anggaran sebesar Rp9,27 miliar.
Proyek yang seharusnya membawa berkat itu justru berubah menjadi ladang korupsi yang mencederai umat.
Salah satu tokoh gereja di Merauke yang enggan disebut namanya mengaku kecewa berat.
“Kami berharap pembangunan gereja bisa selesai dengan baik dan transparan. Tapi kalau uangnya diselewengkan, umat yang jadi korban. Ini menyakitkan,” ujarnya dengan nada kecewa.
Kasus ini membuka mata bahwa proyek keagamaan pun tidak luput dari jeratan mafia anggaran. Patut diduga bahwa kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak skema serupa yang terjadi dalam proyek-proyek daerah.
Pertanyaannya, berapa banyak lagi rumah ibadah yang dijadikan kedok untuk meraup untung pribadi?
Sudah saatnya aparat penegak hukum menggali lebih dalam. Jangan hanya berhenti pada tiga nama. Siapa pemilik jaringan? Apakah ada pejabat lain yang ikut bermain di belakang layar? Jawaban dari pertanyaan ini sangat dinantikan masyarakat.
NKT