as
as
as

Astaga! Koruptor 10 Tahun “Bebas“ Temui Wapres RI – Menkopolhukam, Pemerintah Kecolongan

Wapres Menkopolhukam Terima Kunjungan Koruptor 10 Tahun
Dokumentasi saat Wapres Mar'uf Amin dan Menkopolhukam Mahfud MD menerima kunjungan John Gluba Gebze yang notabene adalah terpidana korupsi 10 Tahun penjara yang putusannya inkrah sejak 2016 namun hingga kini bebas berkeliaran / Foto : Ist

Koreri.com, Jayapura – Upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan anggaran negara telah menjadi komitmen Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan wakilnya Ma’ruf Amin.

Namun ternyata, komitmen tersebut tak diseriusi bahkan terkesan dipermainkan oleh aparat penegak hukum itu sendiri khususnya pada jajaran di tingkat bawah.

as

Pertanyaannya, apakah para penegak hukum ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, entahlah? Hanya Tuhan, Iblis dan mereka saja yang tahu. Karena fakta itu terbukti dan terjadi di Provinsi Papua Selatan, tepatnya di lingkup jajaran penegak hukum pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Merauke.

Betapa tidak, seorang John Gluba Gebze (JGG) yang notabene adalah terpidana 10 tahun penjara dan terbukti merugikan keuangan negara hingga belasan miliar rupiah sebagaimana hasil putusan peradilan tindak pidana korupsi yang telah inkrah (berkekuatan hukum tetap) pada tingkat Kasasi hingga saat ini masih bebas berkeliaran.

Menariknya lagi, informasi terbaru yang diterima Koreri.com, sang Koruptor tersebut begitu bebas lenggang kangkung berangkat ke Jakarta dan diterima secara resmi di kantor Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Mahfud MD yang jelas-jelas adalah petinggi Negara yang anti pada tindakan pelanggaran hukum.

Menurut laporan, mereka pun terlibat dalam obrolan yang sangat akrab pula termasuk turut dihadiri  beberapa pejabat Kementerian lainnya. Sehingga atas fakta ini, jelas-jelas menjadi bukti bahwa Pemerintah kecolongan !!

Perlu diketahui, mantan Bupati Merauke 2 periode ini telah diputus inkrah sejak dibacakan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Rabu tanggal 27 Januari 2016  lalu sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No 942.K.Pid.Sus/2015.

Majelis Hakim yang diketuai Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LLM dengan Hakim-hakim Anggota :  Prof. Dr. Abdul Latif, S.H., M.Hum dan MS. Lumme, S.H dalam amarnya,

MENGADILI :

  1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / Terdakwa : Drs. JOHANES GLUBA GEBZE Alias JOHN tersebut ; Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I / PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI MERAUKE ;
  2. Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jayapura Nomor: 26/Pid.Sus – TPK/2014/PT – JAP., tanggal 27 Agustus 2014 yang menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jayapura Nomor : 71/Tipikor/2014/PN.Jpr., tanggal 24 April 2014 ;

MENGADILI  SENDIRI :

  1. Menyatakan Terdakwa Drs. Johanes Gluba Gebze Alias John tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama – sama ;
  2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan ;
  3. Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp18.490.838.625,00 (delapan belas milyar empat ratus sembilan puluh juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu enam ratus dua puluh lima rupiah), jika uang pengganti tersebut tidak dibayar paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan jika Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.

Jika dirincikan maka pidana yang harus dijalankan mantan Bupati Merauke dua periode ini adalah 10 Tahun penjara saja apabila membayar denda sebesar Rp200 juta dan uang pengganti sebesar Rp18.490.838.625,-

Namun bila JGG tak membayar denda dan uang pengganti maka ia harus menjalani hukuman selama 14 tahun 6 bulan potong masa tahanan.

Purtusan MA JGGJGG menjadi tersangka korupsi dalam proyek pengadaan souvenir kulit buaya tahun anggaran 2005 – 2010 yang merugikan Negara lebih dari Rp 18 Miliar.

Ia ditangkap oleh tim Mabes Polri di Jakarta, pertengahan September 2013 lalu. Dia dijemput paksa karena beberapa kali mangkir dari panggilan Polisi.

Berkaitan dengan fakta ini, Abdul F. Hadjar, SH, MH Dosen Fakultas Hukum/Wali Amanat Universitas Trisakti Jakarta yang dimintai tanggapan memberikan komentarnya.

“Jika tidak ada lagi upaya hukum yang dilakukan (banding dan kasasi) maka (JGG) harus dieksekusi sesuai dengan putusan kasasi. Pelaksananya adalah Kejaksaan Negeri setempat dimana perkara diadili. Sedangkan upaya hukum peninjauan kembali (PK)  tidak menunda eksekusi. Jadi yang paling bertanggung jawab melaksanakan eksejusi adalah Jaksa,” terangnya kepada Koreri.com, melalui pesan aplikasi WhatsApp, Jumat (16/12/2022).

Abdul kemudian mengingatkan Pengadilan melalui Hakim Wasmat (pengawas dan pengamat) pelaksanaan putusan wajib menegur Kejaksaan supaya putusan dilaksanakan.

“Masyarakat juga bisa mengadu ke Hakim Wasmat di Pengadilan negeri supaya memerintahkan Jaksa untuk mengeksekusi. Jika Kejaksaan tidak atau tidak mau melakukan eksekusi, patut dicurigai ada sesuatunya. Karena itu bisa dilaporkan selain kepada Gakim Wasmat, juga kepada Jaksa Agung dan Presiden,” dorongnya.

Abdul juga memberikan tanggapannya ketika disinggung soal fakta belum lama ini sang terpidana menemui Wapres dan Menkopolhukam di Jakarta.

“Ya, seharusnya juga dilaporkan kepada Menkopolhukham supaya mengetahui dan menegur Kejaksaan untuk melaksanakan eksekusinya. Dengan diterima oleh Wapres dan Menkopolhukam artinya pemerintah kecolongan,” bebernya.

Abdul bahkan menyarankan buat surat saja secara rinci ke Menkopolhukham.

“Minta supaya eksekusi dijalankan,” pungkasnya.

Sorotan juga datang dari Karel Riri, mantan tenaga pengajar hukum perguruan tinggi di Indonsia.

“Itu berarti Jaksa sebagai eksekutor negara lalai dalam menjalankan tugas eksekutorial perintah pengadilan. Perintah pengadilan itu perintah undang-undang. Keputusan yang sudah inkracht van gewijsde itu harus segera dieksekusi. Jaksa yang harus segera mengeksekusi terpidana. Siapapun dia,” sorotnya, Selasa (20/12/2022).

Pria yang pernah berkarier di Komisi Yudisial RI ini menekankan pula bahwa Indonesia adalah negara yang berasaskan kepada hukum atau Rechtsstaat bukan kekuasaan atau Machtstaat. Ia menyoroti kabar jika Jaksa berpatokan bahwa yang bersangkutan itu tokoh atau pemuka masyarakat sehingga tidak berani mengeksekusi.

“Negara ini didirikan bukan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan di mana orang-orang memiliki kekebalan hukum tertentu. Tidak ada imunitas personal by law, tidak ada itu ! Karena di negara ini tidak menganut asas itu, siapapun dia,” tekannya.

“Apa gunanya fungsi criminal justice system dalam penegakan hukum yang pro justisi pada saat dia melakukan pelanggaran. Semestinya keputusan yang inkracht itu langsung dijalankan oleh jaksa bukan terbalik,” herannya.

Wapres Menkopolhukam Terima Kunjungan Koruptor 10 Tahun2Tetapi faktanya, Jaksa tidak menjalankan fungsi eksekutorial.

“Nah, kalau dia tidak menjalankan fungsi eksekutorial maka Jaksa sudah melakukan Abuse of Power. Jaksa melakukan pelanggaran kekuasaan. Artinya dia bisa mengambil keputusan yang mendiskresikan  perintah undang-undang untuk kemudian membebaskan orang dari jeratan hukum.  Untuk itu, Jaksa perlu dilaporkan. Dan sebaliknya kita berharap, kalau Wakil Presiden dan Menkopolhukam tidak mengetahui kalau orang yang baru diterimanya itu seorang terpidana yang harus dihukum dan dieksekusi,” desaknya.

Disinggung soal dugaan gratifikasi atau jaksa menjadikan terpidana sebagai ATM berjalan, lulusan AIMS Mexico ini mengaku hal itu bisa saja terjadi.

“Bisa saja, kalau dilihat dia (JGG) dengan bebas berkeliaran tanpa dieksekusi maka itu bisa saja. Dan semua orang punya hak untuk mencurigai dan semua orang punya hak untuk membantah apa yang dicurigai. Sepanjang itu tidak menyerang pribadi atau institusional tapi memberi kritik bahwa bisa saja dipakai sebagai ATM berjalan,” bebernya.

Untuk itu, Riri mendesak masyarakat pencari keadilan atau pelopor awal atau wartawan atau media massa dalam hal ini harus memblow-up masalah ini ke permukaan untuk kemudian publik bisa mengetahui bobroknya jaksa sebagai eksekutorial tidak menjalankan tugasnya mengeksekusi sesuai perintah UU.

Menurutnya, moral dari jaksa begitu pula institusional Kejaksaan khususnya di Papua harus dipertanyakan.

“Jaksa Agung harus mengevaluasi lagi Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri di sana dan jajaran jaksa yang ada di bawahnya. Karena ini jelas-jelas sebuah pelanggaran, bukan pelanggaran administratif tapi pelanggaran hukum yang terang benderang, yang jelas-jelas melanggar UU. Atau dengan kata lain, Jaksa melanggar perintah UU dalam hal ini putusan pengadilan oleh Jaksa dalam mengeksekusi terpidana yang sudah dinyatakan bersalah sesuai dengan keputusan yang sudah Inkracht. Maka Jaksa telah melakukan extra ordinary action,” tegasnya.

Sementara itu, pihak Kejaksaan Negeri Merauke yang dikonfirmasi Koreri.com tidak juga memberikan respon atau klarifikasi baik melalui telepon maupun pesan aplikasi WhatsApp atas ketidaktaatan lembaga itu yang melakukan pembiaran terhadap terpidana JGG yang bebas berkeliaran hingga berita ini dipublis pasca putusan inkrah 2016 lalu.

Begitu pula, Kepala Kejaksaan Tinggi Papua P. Witono yang dikonfirmasi Koreri.com via pesan WA pun terkesan menghindari.

“Saya belum dapat laporan. Nanti saya tanya kan dulu ke Kajari (Merauke),” balasnya, Jumat (16/12/2022).

“Silahkan langsung ke Kajari, Kajari sudah siap,” balasnya tiga hari kemudian.

Menteri Polhukam RI Mahfud MD pun yang diminta klarifikasi terkait terpidana JGG tak membalas atau merespon Koreri.com, Jumat (16/12/2022)

Untuk kepentingan klarifikasi dimaksud, Koreri.com juga mengirimkan dokumentasi foto pertemuan Wapres juga Menkopolhukam bersama JGG di Jakarta serta salinan putusan MA atas kasus JGG.

Meski status WA yang dikirimkan sudah centang biru, namun hingga berita ini dipublish pria yang sangat getol dan tegas menyuarakan penegakan hukum di Indonesia ini tetap tak memberikan respon atau membalas.

RED

as

as