Latar belakang kajian dan prospek
Indonesia merupakan salah satu negara terluas di dunia dengan total luas negara 5.193.250 km2 yang mencakup daratan dan lautan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lautan yang sangat luas yakni sekitar 3.273.810 km2.
Menurut Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan Indonesia masih memiliki cadangan pertambangan yang sangat besar dan masih tersimpan di lautan karena terbatasnya kegiatan eksplorasi. Cadangan-cadangan yang tersimpan di lautan tersebut dapat berupa minyak dan gas bumi atau mineral dan batubara.
Angka-angka cadangan minyak dan gas yang dimiliki Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, saat ini menunjukkan cadangan terbukti minyak bumi berada di angka 3,602.53 MMSTB, sedangkan cadangan potensial diangka 3,702.49 MMSTB. Angka – angka cadangan tersebut menurut Luhut diyakini masih dapat ditingkatkan jika kegiatan eksplorasi dilakukan secara massif.
“Kita secara internasional memiliki hampir 6.000.000 km square sea-bed mining dan sea bed mining kita tersebut belum ada satupun yang kita sentuh,” ujar Luhut usai rapat dengan Komisi VII DPR RI beberapa waktu lalu, Kamis (1/9). Sea-bed mining tersebut lanjut Luhut, terdapat hampir diseluruh wilayah Indonesia baik di utara, timur dan selatan Indonesia.” Sea bed mining inilah yang menjadi target kita untuk dieksplorasi dan saya minta kepada temen-temen ESDM untuk mengeksplor yang namanya sea bed mining ini,”lanjut Luhut.
Dasar laut merupakan tempat terdingin dan paling gelap di bumi, penuh dengan kehidupan laut serta potensi kekayaan alam laut yang belum banyak ditemukan. Hal ini termasuk pada kehidupan dasar laut yang di percaya kaya akan endapan mineral. Dalam beberapa dekade terakhir, dasar laut dalam yang juga sebagian besar terletak diluar kawasan yurisdiksi suatu negara akan semakin banyak dieksplorasi.
Sejumlah pihak menilai ukuran dan luasnya deposit mineral ini dapat menyediakan bahan baku untuk pasokan industri di segala bidang mulai dari kebutuhan produksi baterai, mesin jet, turbin angin hingga pada pembuatan ponsel.
Beberapa penambangan yang dilakukan pada kawasan laut dalam telah berlangsung oleh sejumlah negara seperti: Jepang pada tahun 2017, dan di Papua Nugini dengan operasi penambangan Solwara 1 yang kemudian secara kontroversial harus terhenti. Dalam beberapa masa mendatang perdebatan akan terus berlangsung dikancah internasional tentang bagaimana mengelola sumber daya alam yang berlokasi pada “daerah” dengan konflik batas perairan internasional dengan kedalaman lebih dari 200 meter.
Kondisi demikian akan terjadi mengingat situasi alam laut yang mencakup hampir dua pertiga dari luasan bumi. Pertanyaan umum yang akan muncul terutama tentang siapa yang berhak dan dapat melakukan penambangan, kesepakatan dan regulasi apakah dapat diformalkan dalam bentuk kesepatan yang disusun oleh otoritas yang ditunjuk berwenang. Misalnya oleh Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA-International Seabed Authority), badan yang ditunjuk PBB untuk bertanggung jawab mengelola kekayaan dasar laut sebagai warisan bersama umat manusia diseluruh bumi.
Tantangan yang di hadapi oleh badan otoritas yang menerima mandat ini di pandang kurang memadai untuk dapat mempromosikan pengembangan teknologi penambangan laut dalam dengan tujuan tidak membahayakan lingkungan laut. Beberapa negara anggota pemilik hak voting musti menyetujui bagaimana ekosistem yang rentan akan gangguan serta unik ini akan dapat terlindungi, bagaimana investasi yang bernilai miliaran dolar dapat diatur secara baik, bagaimana keuntungan akan nantinya dibagi secara adil, dan bagaimana hal itu dapat di buat dengan akuntabilitas yang jelas dan transparan.
Seiring waktu berlalu ISA telah memberikan 29 kontrak eksplorasi selama 15 tahun untuk tiga macam jenis cadangan deposit komoditas tambang pada kawasan dengan lebih dari 1,3 juta kilometer persegi didasar laut Samudra Pasifik, Hindia dan Atlantik. Beberapa dari kontrak tersebut akan berakhir pada tahun 2021, sehingga ISA pada saat itu menetapkan dua pertemuan penting di bulan Februari dan Juli di Kingston, Jamaika, untuk menyelesaikan perjanjian pengelolaan dan memenuhi tenggat waktu tahun 2020.
ISA memberikan petunjuk tentang perjanjian serta menyampaikan ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah, sebuah badan otoritas dan anggota tetapnya di berikan kesempatan untuk menetapkan aturan tambang laut dalam sebelum tahapan eksploitasi dimulai. Beberapa kelompok lembaga sipil dan ilmuwan berpendapat bahwa lautan dunia sudah sangat terganggu oleh dampak iklim dan penangkapan ikan berlebihan. Peraturan yang memberikan tambahan perlindungan sedang dikembangkan namun tanpa pemahaman yang baik dan secara menyeluruh tentang risikonya.
Formasi cadangan mineral di laut dalam mengandung sejumlah logam yang sangat berharga seperti tembaga, seng, mangan, kobalt dan unsur tanah jarang. Cadangan berbentuk nodul polimetalik mendominasi komoditas mangan, bulat bergelombang dengan besaran seukuran kentang yang terlepas dalam lumpur didasar jurang laut yang dalam. Cadangan juga banyak ditemukan pada zona eksplorasi Pasifik timur yang dikenal sebagai Clarion-Clipperton.
Hal ini memberikan petunjuk adanya manfaat komersial yang besar dan diperkirakan akan memiliki lebih banyak lagi cadangan dengan komoditas nikel, kobalt dan mangan. Analisa yang di lakukan terhadap pembiayaan dan manfaat memberikan kesimpulan bahwa penambangan nodul ini akan menguntungkan, dengan potensi pendapatan tahunan hingga 2,2 miliar dolar.
Adapun cadangan lainnya dalam bentuk kelompok Sulfida Polimetalik yang terbentuk melalui aktivitas hidrotermal ketika magma panas dikeluarkan dari dalam perut bumi, terpapar air dingin dan kemudian tersimpan sebagai tumpukan mineral besi, perak dan emas. Sama seperti hal yang terjadi pada gunung api yang ada di permukaan bumi, gunung api di dasar lautan dapat nampak seperti cerobong asap, dan sebagian besar kasus sedemikian terletak di atas gunung berapi semi-aktif yang curam jauh di bawah lautan Pasifik dan Atlantik.
Cadangan dengan kelompok komoditas lainnya adalah berupa kerak kobalt berada di pegunungan bawah laut, sebagian besar pada samudera Pasifik dengan kedalaman 400 hingga 7.000 meter, dan banyak memiliki kandungan unsur tanah jarang. 29 kontrak eksplorasi telah diberikan kepada campuran entitas swasta yang disponsori oleh pemerintah seperti Cina, Prancis, Jerman, India, Jepang, Republik Korea, Federasi Rusia dan Organisasi Bersama lnteroceanmetal (yang merupakan konsorsium Bulgaria, Kuba, Republik Ceko, Polandia, Federasi Rusia dan Slovakia), beberapa negara-negara pulau kecil seperti Kepulauan Cook, Kiribati, Nauru, Singapura dan Tonga.
China, konsumen dan importir mineral dan logam terbesar di dunia, merupakan pihak yang sangat memberikan pengaruh dengan memberikan kontrak terbanyak. Hal ini di sampaikan oleh Conn Nugent yang adalah seorang direktur Pew Charitable Trusts Seabed Mining Project. Conn Nugent merupakan salah seorang yang mendesak di buatkannya regulasi penambangan dengan tujuan utama pencegahan dan perlindungan lingkungan laut.
Negara yang mensponsori pengusaha tambang Tambang Laut Dalam:
China, China Minmetals Corporation
Cook Islands, Cook Islands Investment Corporation
UK and Northern Ireland, UK Seabed Resources Ltd.
Singapore, Ocean Mineral Singapore Pte Ltd.
Belgium, Global Sea Mineral Resources NV
Kiribati, Marawa Research and Exploration Ltd.
Tonga, Tonga Offshore Mining Limited
Nauru, Nauru Ocean Resources Inc.
Germany, Federal Institute for Geosciences and Natural Resources of Germany
India, Government of India
France, Institut français de recherche pour l’exploitation de la mer
Japan, Deep Ocean Resources Development Co. Ltd.
Saat regulasi telah dibuat dan disepakati, penambangan laut dalam belum tentu akan segera dimulai. Di bawah rancangan aturan ISA, kontraktor harus melakukan penilaian dampak lingkungan dan menunjukkan kapasitas keuangan beserta teknologi yang dimilikinya. Perusahaan Belgia Global Sea Mineral Resources menyampaikan kesiapan mereka untuk memulai penambangan pada awal 2023, namun para pengamat memperkirakan itu hanya dapat terlaksana antara 2025 – 2027.
Di sisi lain masih terdapat pertanyaan tentang keakuratan dan prospeksi dari para ahli geologi untuk memberikan prediksi tentang besaran manfaat yang dipandang cukup dan kemudian dapat berlanjut ke investasi penambangan. Michael Lodge yang adalah sekretaris jenderal ISA, menyampaikan bahwa penambangan di laut dalam dari sisi pertimbangan komersial tergantung pada tiga hal pokok:
1. Regulasi yang mengatur belum banyak ditemui dan memberikan acuan pelaksanaan utamanya menyangkut perijinan.
2. Perkembangan teknologi, adanya tren peningkatan investasi dalam beberapa tahun terakhir perihal teknologi namun belum menunjukkan tingkat kepercayaan yang handal
3. Aspek komersial tentunya akan mengikuti harga pasaran dari logam yang akan di tambang
Kajian pasaran komoditas
Meskipun beberapa upaya eksploitasi mineral laut dalam menunjukkan kegagalan, terdapat beberapa alasan yang menunjukkan fase eksplorasi terbaru bisa lebih akan berhasil. John Parianos, kepala ahli geologi Nautilus Minerals menyampaikan jika hal itu tergantung pada permintaan dari populasi hidup manusia yang makin berkembang dan membutuhkan sumber daya alam tambahan. Tantangan yang di hadapi pada masa kini adalah pasar yang jauh lebih besar berkat industrialisasi yang terus berkembang secara lebih luas. Hal ini kemudian mendorong pada pemenuhan kebutuhan dunia melalui pencarian cadangan sumberdaya baru.
Perkiraan kebutuhan akan sumberdaya alam akan bervariasi, tetapi jika di asumsikan permintaan mineral meningkat sebesar 1% per tahun, maka itu akan menjadi sekitar 60% lebih tinggi pada tahun 2050. Terhadap komoditas tertentu seperti tembaga yang saat ini menjadi popular oleh kebutuhan kelistrikan, kemungkinan terjadi peningkatan lebih besar pada permintaan hingga 341%. ISA memprediksi bahwa 15% dari permintaan global untuk komoditas tembaga dan nikel dapat dipenuhi melalui penambangan di laut dalam.
Di waktu yang yang sama, endapan logam yang berada di permukaan bumi dengan berbasis lahan akan menjadi makin sulit dan kurang menguntungkan untuk di eksploitasi. Komoditas Kobalt ditambang hampir secara eksklusif di Republik Demokratik Kongo yang adalah merupakan salah satu negara termiskin dimana terdapat banyak pertikaian dengan pemerintahan yang memiliki tingkat korupsi tinggi di dunia, tentunya akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi para pelaku usaha untuk berinvestasi di sana.
Para pendukung kebijakan penambangan laut dalam berpendapat bahwa kondisi seperti ini dapat memberikan tawaran dan pilihan yang jauh lebih kaya dari melakukan eksploitasi di darat. Dari segi kebutuhan penambangan dan proses memberikan manfaat lain berupa ketersedian sumber bahan baku yang lebih reliabel, bersih dan yang sangat penting adalah memungkinkan penggunaan energi yang berteknologi listrik tinggi, minim pembakaran serta memungkinkan penggunaan energi terbarukan.
Meskipun demikian kajian terhadap permintaan bahan baku komoditas yang mendukung industri kelistrikan menunjukkan tahun 2016 adalah masih dibawah skenario ambisius bilamana dibandingkan dengan target pemenuhan 100% energi terbarukan pada tahun 2050. Dengan demikian kebutuhan ini diproyeksikan masih dapat dipenuhi oleh penambangan dengan cara yang ada saat ini di permukaan yang berbasis lahan, daur ulang logam yang lebih baik, dan banyak pilihan lagi.
Penambangan laut dalam meningkatkan keyakinan bahwa suatu saat akan menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pasokan komoditas mineral. Meskipun demikian perlu di pikirkan dengan cara yang berbeda dan teknologi yang di pilih dapat menjamin minimnya dampak terhadap lingkungan laut. Hal ini di sampaikan oleh Andy Whitmore, dari Deep Sea Mining Campaign (DSMC), sebuah koalisi LSM dan masyarakat lokal Pasifik yang hingga kini masih terus menentang pertambangan laut dalam.
Kajian Dampak Lingkungan
Permintaan kebutuhan akan pasokan komoditas metal yang terus meningkat, industri pertambangan telah membuat beberapa kemajuan besar dari sisi teknologi yang dibutuhkan untuk mengeksploitasi dan memproses mineral pada jenis batuan keras di laut lepas. Sebuah Perusahaan penambangan Belgia menurunkan traktor robot dengan bobot 25 ton ke kedalaman 4.500 meter di laut Pasifik. Berdasarkan rekayasa desain yang di buat, endapan di pompa naik ke kapal yang berada di atas permukaan laut melalui tabung sepanjang beberapa kilometer.
Nodul di kumpulkan oleh peralatan yang berbentuk seperti ulat raksasa yang akan terus berguling di dasar laut, menyuntikkan air ke dalam lumpur untuk membongkar endapan, menyedotnya dan mengeluarkan lumpur ke arah belakang. Jenis kelompok mineral Sulfida ini akan membutuhkan mesin robot besar untuk berguling di dasar laut dan menggunakan gigi mekanis untuk menggiling beberapa meter di atas permukaan dasar laut.
Mesin raksasa ini memiliki berat hampir dua kali lipat dari paus biru dan akan meninggalkan jejak kaki yang cukup berat dan bertahan dalam jangka lama. Proses ini mempengaruhi dasar laut, kolom air yang berada di atasnya dan sekitarnya. Pengikisan dasar laut untuk mengekstrak nodul dapat menghancurkan habitat laut dalam seperti gurita, bunga karang dan spesies lainnya.
Spesies lain yang secara unik beradaptasi dengan kurangnya sinar matahari dan tekanan tinggi air dalam, dapat dipengaruhi oleh tingkat kebisingan yang di ciptakan beserta polusi suara. Area yang akan dicakup pada aktifitas penambangan ini akan sangat besar dapat mencapi hingga 10.000 kilometer persegi,” kata Matthew Gianni, yang adalah salah satu pendiri Deep Sea Conservation Coalition. Gumpalan sedimen bisa saja terjadi pada puluhan kilometer dari areal penambangan itu sendiri. Bahkan jika gumpalan sedimen tersebut bergerak ke beberapa kilometer, mungkin ada dampak keseluruhan dua hingga tiga kali ukuran lokasi penambangan.
Hal ini akan menurunkan kualitas ekosistem dan menghilangkan beberapa spesies dasar laut. Dia menambahkan bahwa setelah 30-40 tahun eksplorasi dan terjadi gangguan pada zona Clarion-Clipperton, hanya ada di temui sedikit pemulihan. Setiap pemulihan yang di lakukan secara kasat mata pasti tidak akan terlihat dan memiliki program terpisah untuk pemantauan.
Sebuah artikel di Frontiers dalam ilmu kelautan menyimpulkan bahwa sifat rentan lingkungan laut dalam, dengan penggunaan teknologi yang memadai dapat meminimalkan bahaya, kesenjangan yang signifikan di pandang dari sisi pengetahuan ekologi. Dan dengan adanya ketidakpastian pada program pemulihan akan menunjukkan bahwa industri pertambangan di pandang tidak dapat membuktikan tidak ada gangguan terhadap biota laut.
Area penambangan hanya akan terlihat seperti hamparan lumpur dan batu yang luas, survei kehidupan pada tahun 2016 di zona Clarion-Clipperton menemukan keragaman kehidupan yang mengejutkan. Dari 12 spesies hewan yang dikumpulkan di daerah yang kira-kira seukuran satu lokasi penambangan. Carl Gustaf Lundin, direktur program laut dan kutub global International Union for Conservation of Nature, mengatakan: “Pengetahuan saat ini tentang laut dalam tidak cukup untuk melindungi spesies unik yang hidup di sana dari operasi penambangan.
Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan terutama bila melihat kontrak pertambangan laut dalam diberikan pada daerah-daerah yang sebagian besar belum dijelajahi dan rentan terhadap gangguan ekosistim laut dalam. Badan otoritas dapat memberikan moratorium 10 tahun eksploitasi pertambangan dasar laut, namun kendala penting dalam penambangan yang perlu di Kelola adalah kenyataan bahwa tidak ada pengetahuan yang cukup tentang laut dalam. Jika ada yang membuang sampah tidak akan ada yang pernah tahu kondisi yang terjadi di bawah dasar laut menutut Gianni.
Di lain sisi beberapa ahli percaya bahwa penambangan laut dalam dapat memiliki dampak lingkungan dan sosial yang jauh lebih sedikit daripada operasi penambangan di permukaan dan berbasis lahan. Hal ini di asumsikan melalui perbandingan pengambilan logam di permukaan dengan dampak terhadap manfaat di tempat tersebut (flora dan fauna) versus segala macam manfaat yang ada di laut dalam. Tidak ada vegetasi yang rusak, perubahan kontur alam, tidak ada polusi air tawar, ini akan jauh baik untuk lingkungan.
Tentunya jika hal ini bisa di lakukan secara benar dan di dukung oleh teknologi yang memadai. Beberapa ahli lainnya juga berpandangan bahwa beberapa dekade peraturan yang mengatur penambangan di darat juga telah gagal mencegah bencana ekologis. Jika di lakukan penambangan laut dalam, kekhawatiran mendalam oleh ketidaktersedian peraturan yang mengatur untuk memastikan perusahaan dapat melindungi lingkungan. Terlebih karena dampak yang di timbulkan tidak begitu dapat terlihat mata manusia, sehingga memerlukan program pemantauan yang dapat terukur dan di percaya.
Rancangan peraturan ISA mengutip perlindungan lingkungan laut sebagai prinsip dasar, tetapi belum secara detail dan terstruktur di atur tentang bagaimana perlindungan itu akan di lakukan. Pertimbangan peraturan perlu mendefinisikan apa yang dapat di ukur dan di klaim sebagai terjadinya kerusakan lingkungan dan mengembangkan pedoman bagi perusahaan pertambangan untuk melakukan penilaian serta menyepakati otoritas atau badan untuk melakukan pemantauan.
Di antara persetujuan dan regulasi yang di buat perlu juga di tetapkan adanya zona larangan penambangan pada daerah dengan ekologis penting, hal ini lebih banyak di kenal sebagai Rencana Pengelolaan Lingkungan Regional”, atau REMP (Regional Environmental Management Plan). Kawasan ini bisa mencakup hingga 32% dari area yang memungkinkan untuk di tambang. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah apakah penambangan juga akan bermanfaat bagi zona ventilasi hidrotermal.
Bagi banyak orang ada reaksi naluriah mengatakan bahwa penambangan itu bercitra merusak dan berbahaya (berdasarkan persepsi orang tentang pertambangan berbasis lahan). Tetapi penting untuk mempertimbangkan persoalan penambangan laut dalam dalam konteks yang lebih luas juga. Penambangan laut dalam memerlukan pengawasan penggunaan laut yang juga ketat. Ini adalah satu-satunya bagian dari kepentingan bersama global yang dikelola oleh badan otoritas internasional.
Tidak ada negara atau entitas yang dapat mengeksplorasi atau mengeksploitasi dasar laut kecuali berdasarkan kontrak dengan ISA, dan ini telah disetujui oleh semua 168 negara anggota. Beberapa perusahaan penambangan telah menghabiskan bertahun-tahun mempersiapkan penambangan dasar laut dalam, namun tidak persis apa yang harus dilakukan untuk merencanakan, mengelola dan meminimalkan dampak terhadap lingkungan. Ketertarikan pada mineral laut dalam juga telah menyebabkan peningkatan besar dalam pendanaan untuk ilmu laut dalam, yang sebagian besar secara khusus ditujukan untuk lebih memahami lingkungan laut.
Kesimpulan dan tantangan pada benturan kepentingan
Setiap manfaat yang dihasilkan dari penambangan laut dalam akan mengikuti aturan yang di keluarkan oleh otoritas perihal pembagian manfaat dan pendistribusiannya di antara negara-negara anggota dengan juga turut mempertimbangkan kebutuhan negara-negara berkembang lainnya. Struktur dan metode pembayaran masih dalam kajian dan ISA telah mengontrak MIT (Massachusetts Institute of Technology) untuk melakukan kajian dengan membandingkan sejumlah model ekonomi yang tepat.
Beberapa negara mulai menyadari bahwa operasi penambangan tidak akan membayar banyak royalti jika dibagi oleh 167 negara di tambah Uni Eropa. Tetapi negara-negara anggota ini dapat menghasilkan profit yang berpotensi bernilai besar melalui apa yang disebutkan sebagai negara sponsor. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberlakuan pajak kepada perusahaan pertambangan secara langsung. Konflik kepentingan ini menjadi perhatian para pemerhati ekonomi dan masalah social, beberapa ahli menyampaikan kekhawatirannya jika ISA menciptakan aturan dan pada saat yang sama menghasilkan uang dari aturan yang dibuatnya.
Hubungan antara perusahaan dan negara-negara menciptakan situasi yang tidak sehat terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Bahkan dengan peraturan yang telah dibuat secara efektif perusahaan dengan financial yang cukup kuat dapat saja mendorong industri ini maju dengan mengabaikan beberapa aturan. Dari aspek kontrol ini juga akan menjadi sangat sulit untuk mengatakan tidak kepada negara yang menginginkan ataupun menyetujui penambangan laut dalam ini berdasarkan keputusan yang dibuat ISA.
Ini kemudian menciptakan potensi pengembangan yang tak terkendali pada penambangan laut dalam lebih dari ratusan ribu kilometer dan ISA akan kemudian memiliki sangat sedikit sistim kontrol untuk membatasi industri itu.