Koreri.com, Jayapura – Sidang praperadilan penetapan tersangka Plt Bupati Mimika, Johannes Rettob dan Direktur PT. Asian One, Silvi Herawati kembali berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura, Selasa (14/3/2023).
Rettob dan Silvi ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pengadaan pesawat Cesnna Grand Caravan dan Helicopter Tahun 2015 di Dinas Perhubungan Mimika.
Sidang lanjutan antara pemohon (Kuasa Hukum Plt Bupati Mimika Johannes Rettob) melawan termohon (Kuasa Hukum Kejaksaan Tinggi Papua) dipimpin Hakim tunggal Zaka Talapaty SH, MH sejak pukul 15.35 WIT dengan agenda kesimpulan para pihak.
Dalam tahapan kesimpulan dari masing-masing pihak, Hakim meminta kepada para pihak untuk membacakan kesimpulan, baik pemohon maupun termohon.
Sebelumnya dari kuasa hukum Pemohon, Juhari SH, MH, meminta agar kesimpulan dianggap telah dibacakan, sehingga tak perlu dibacakan di Pengadilan. Namun hal itu tak dikabulkan hakim.
Dalam pembacaan kesimpulan, kuasa hukum Pemohon mengatakan bahwa Termohon/ Kejaksaan Tinggi Papua tidak dapat membuktikan dalilnya dan meminta kepada Hakim yang menyidangkan perkara ini untuk mengabulkan gugatan praperadilan Pemohon untuk seluruhnya.
Selanjutnya Pemohon menegaskan bahwa penetapan tersangka kepada Johannes Rettob dan Selvi Herawaty tidak dapat dibuktikan dan menyatakan perkara yang saat ini tengah ditangani oleh pihak Kejaksaan adalah tidak sah serta batal demi hukum.
Untuk itu Kuasa Hukum Pemohon meminta agar Termohon segera menghentikan penyidikan dalam kasus Pesawat Grand Caravan dan Helicopter Airbus serta meminta putusan yang seadil-adilnya bagi kliennya.
Sementara itu, kuasa hukum Pemohon Marvey J. Dangeubun, SH, MH juga meminta agar Hakim memutuskan penetapan tersangka oleh Termohon tidaklah sah dan batal demi hukum.
Hal ini disertai alasan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya tidaklah mendasar, karena belum adanya perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan lembaga resmi yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Unsur penting dalam perkara tindak pidana korupsi harus ada hasil audit dari BPK. Jika belum ada audit BPK, maka perkara tersebut gugur dengan sendirinya,” tegasnya.
Termohon tolak alasan Pemohon.
Sementara itu dari pihak Termohon dalam kesimpulannya mengatakan terhadap keberatan Pemohon yang menyatakan penetapan tersangka tanpa didasarkan adanya hasil Audit BPK RI sesuai SEMA Nomor 4 Tahun 2016.
Dimana berdasarkan penjelasan pasal 32 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara “adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau Akuntan Publik yang ditunjuk’’.
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 pada pokoknya perhitungan kerugian keuangan negara dapat dilakukan oleh BPK, BPKP, Inspektorat, Penyidik atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/ atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.
Bahwa penetapan tersangka dalam perkara ini telah didasarkan minimal 2 alat bukti yang sah termasuk adanya hasil audit dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad Nomor : 00176/2.0604/AP.7/09/0430/1/XI/2022 tanggal 11 November 2022 dan juga berdasarkan Laporan BPKP Perwakilan Provinsi Papua Nomor : PE.11.03/LHP-323/PW26/3.2/2022 tanggal 08 Agustus 2022, yang didalamnya terdapat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Provinsi Papua Nomor : 06/ML/XIX.JYP/05/2022 tanggal 23 Mei 2022.
Bahwa adanya SEMA Nomor 4 Tahun 2016 pada Rumusan Kamar Pidana poin 6 yang menyatakan instansi yang berwenang menghitung kerugian negara adalah BPK, tidak harus diikuti dan dapat dikesampingkan, karena berdasarkan fakta persidangan Hakim dapat menilai sendiri adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara, hal ini membuka peluang bagi para Hakim mengesampingkan rumusan SEMA tersebut.
Apalagi kedudukan SEMA berada dibawah ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai mana yang telah tersebut diatas dan juga dibawah putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat yang harus diikuti.
VER