• Pemerintahan
  • Serba-Serbi
  • Fokus
  • Nasional
  • Hukum & Kriminal
  • Internasional
  • Sorotan
  • Ekonomi
  • Pendidikan
  • Tekno
Selasa, Maret 2, 2021
  • Login
  • Pemerintahan
  • Serba-Serbi
  • Fokus
  • Nasional
  • Hukum & Kriminal
  • Internasional
  • Sorotan
  • Ekonomi
  • Pendidikan
  • Tekno
No Result
View All Result
Koreri Trans Media
  • Pemerintahan
  • Serba-Serbi
  • Fokus
  • Nasional
  • Hukum & Kriminal
  • Internasional
  • Sorotan
  • Ekonomi
  • Pendidikan
  • Tekno
No Result
View All Result
Koreri Trans Media
No Result
View All Result
Home Sosok

Aiman Whangyee, Penyair Remaja Pelintas Batas SARA Indonesia – Thailand

21 April 2019
Di Sosok
0
Aiman Whangyee, Penyair Remaja Pelintas Batas SARA Indonesia - Thailand

Aiman Whangyee, Penyair Remaja Pelintas Batas SARA Indonesia - Thailand

Share on FacebookShare on Twitter

Aiman Whangyee, bocah Muslim berwajah Indo-Cina masuk Sekolah Kristen Kalam Kudus Ambon.

Hanya ada dua siswa pemeluk Islam di situ.

Dia mengaku tidak ragu, dan semuanya baik-baik saja.

Itu hanya satu kisah kecil dari serangkaian pengalaman melintas batas SARA dari Kei, Ambon, Medan, dan Thailand.

Reporter Rudi Fofid-Ambon

 

Bengkel Sastra Maluku menggelar acara baca puisi di Lapangan Merdeka Ambon, sekitar tahun 2013.

Acara belum dimulai saat seorang remaja bercelana pendek muncul di situ.

Dia bertanya-tanya  kepada panitia.

“Beta SMP, boleh ikut baca puisi?” tanya Aiman.

Tentu boleh, jawab seorang panitia.

“Mau baca berapa puisi, minta judulnya ya?” tanyanya.

Aiman mengaku tak punya puisi.

“Saya belum punya puisi.  Saya tulis dulu, karena saya tidak sangka akan dapat kesempatan ikut baca di sini,“ kata remaja itu.

Malam itu, belasan penyair Ambon tampil di panggung, termasuk remaja tadi.

Penonton dan para penyair terkesima dengan diksi si remaja, saat membaca puisinya di panggung.

“Dari Timur Indonesia,

Walau dengan suara minor

Kami akan terus terbitkan matahari”

Demikian penggalan puisinya yang menghentak.

Malam itu,  semua penyair berkenalan dengan remaja bernama Aiman Whangyee.

Whangyee, sebuah nama yang asing di telinga.  Orang mana itu? Dari kampung apa?  Begitulah pertanyaan semua orang.

“Beta Evav, beta Ambon, beta Maluku, beta Bugis, beta Indonesia, beta Thailand,” ujar Aiman.

Semua tertawa  mendengar jawaban polos  tetapi sekaligus menjadi teka-teki baru.  Siapa gerangan Aiman?

LINTAS SARA

Dari pernikahan orang tua lintas bangsa, lahirlah Aiman Whangyee di Langgur, Maluku Tenggara,  20 Juni 2000.

Ibunya Dewi Sartika berdarah Bugis dan ayahnya, Ibrahim Whangyee dari kota kecil Thepa di Provinsi Songkhla, Thailand Selatan.

“Beta lahir di Langgur, jadi beta anak Evav,” ujar Aiman kepada Rudi Fofid di Ambon, Kamis (18/4/2019).

Dengan menyandang dwi warga negara, Aiman tetap mengikuti ke mana orang tuanya pergi.

Uniknya,  dia menempuh taman kanak-kanak di tiga kota berbeda. Pengalaman lintas SARA dimulai sejak usia dini.

Mulanya dia masuk TK di Watdek, Langgur, pada 2005 lalu saat masih berkumpul satu rumah dengan ayah-ibu, dan adik semata wayang Mikail.

Ketika ayah yang bekerja di perusahaan perikanan pindah tugas ke Ambon, Aiman ikut pindah ke TK Asisya Ambon.

Tak lama  kemudian, dia pindah ke Medan dan menetap di rumah pamannya.

“Beta masuk TK Prime One Medan. Jadi, sejak TK sudah berani merantau jauh dari rumah,“ kata Aiman.

Selesai TK di Medan, Aiman mengaku sudah rindu kembali ke Ambon. Sebab itu dia melanjutkan sekolah ke SD Kalam Kudus, sebuah sekolah Kristen favorit, tahun 2006.

“Siswa Islam hanya beta dan anak Haji Dedes. Beta ikut saja bernyanyi lagu rohani, berada dalam suasana doa, tetapi beta tetap Islam.  Tidak ada yang ajak menjadi Kristen, dan tidak ada yang tanya-tanya soal agama,” kisah Aiman.

Dari SD Kalam Kudus,  Aiman pindah ke SD Thaesabal 02 Yala, Thailand Selatan tahun 2007.

Dia harus ulang dari kelas 1, dan mengaku kesulitan di sekolah karena tidak bisa berbahasa Thailand.

Beruntung, seorang ibu guru bernama Suthira merelakan waktu membimbingnya.

“Guru Suthira belajar Bahasa Melayu agar bisa ajarkan beta Bahasa Thailand,” kenang Aiman.

Hal lain yang mendebarkan bagi Aiman, ada banyak isu bom di Yala sehingga anak-anak selalu dikawal tentara.

Di Yala, Aiman tidak tinggal dengan orang tua melainkan dengan keluarga ayah.

Dia senang sebab ada sepupu sebaya Abbas Langputeh, sehingga bisa jadi teman di rumah.

Kabar baik datang dari ayah yang bekerja di Air Salobar, Ambon.

Sang ayah mengundurkan diri dari perusahaan dan memboyong  ibu  dan adiknya pindah ke Yala.

Keluarga yang berpisah tempat tinggal ini, akhirnya berkumpul satu rumah lagi.

Dari Yala, ayahnya Ibrahim  Whangyee memboyong keluarganya pindah ke Bangkok. Aiman pun pindah ke SD Ngammana, Bangkok.

Setelah tinggal di Bangkok selama tiga tahun, 2008-2011, Aiman kembali ke Ambon.

Dia memilih sekolah di SD Negeri 2 Jalan Kakialy Tanah Tinggi.

“Beta merasa senang di sekolah ini, meskipun juga beta merasa guru terlalu memperlakukan beta secara istimewa.  Mungkin karena Bahasa Melayu Ambon beta fals-fals,” bebernya sambil tertawa.

Kali ini, Aiman tidak ke mana-mana lagi.  Dia merasa betah di Ambon, sehingga lulus SD langsung masuk SMP 14 tahun 2012  dan lanjut ke SMA Negeri 1 Ambon tahun 2016.

BUKU PUISI KUMUHNITAS

Sejak perjumpaan Aiman dengan para penyair Ambon di Lapangan Merdeka, dia mengaku mulai suka dan tekun menulis puisi.

Dia bahkan ikut terus dalam beberapa pementasan puisi, termasuk ikut lomba baca puisi.

“Beta juara ketiga dalam lomba baca puisi yang diselenggarakan Kodam XVI/Pattimura,” terang Aiman.

Saking serius menulis puisi, sejumlah puisinya juga termuat dalam beberapa Buku Kumpulan Puisi.

Tahun 2018, ia menerbitkan kumpulan puisinya sendiri berjudul Kumuhnitas

Buku Kumuhnitas (April 2018) berisi 50 judul puisi bertema kritik kepada kekumuhan Kota Ambon.   Ia menyebut kekumuhan itu di sana-sini sebagai komunitas kumuh, disingkat Kumuhnitas.

ARKEOLOGI

Meskipun pernah menjadi juara 2 dan 3 dalam lomba renang antar pelajar di Maluku, juga hobi fotografi, Aiman pernah bercita-cita menjadi penerbang.

Cita-cita itu tiba-tiba dia kubur karena pengalaman dua kali ikut Word Heritage Camp Indonesia 2017 dan 2018, sebagai utusan SMA Negeri 1 Ambon.

Aiman dikirim mengikuti kegiatan tersebut di  tiga kota yakni Yogyakarta, Solo, dan Semarang.  Kota Semarang menjadi sorotan utama.

Barulah dalam kegiatan yang sama di 2018, peserta lebih banyak dari angkatan 2016 dan 2017 ditambah bersama negara ASEAN, peserta membahas tema Yogyakarta: The City of Multi-Layered Heritage. Di sinilah  Aiman makin suka hal arkelogi.

“Kami melihat bagaimana Sultan dan warga membangun Yogyakarta.  Dari situ, beta tertarik pada dunia misteri.  Ada mahasiswa Arkelogi bernama Rovi dari Jambi memprovokasi beta bahwa Maluku kekurangan arkeolog yang muda-muda, dan beta termakan provokasi itu,” papar Aiman.

Untuk mewujudkan mimpi menjadi arkeolog, Aiman berkeinginan masuk Universitas Gajah Mada.  Sebab itu dia akan menjalani serangkaian proses seleksi.

“Pilihan beta UGM. Papa dan mama sudah oke. Mereka bilang,  yang penting bisa tanggungjawab dan sanggup jalani.  Jadi, semoga beta bisa lulus UGM,“ kata Aiman, yang juga sedang menunggu masa-masa pengumuman Ujian Akhir Nasional (UAN).

Menurut dia, kalau kelak bisa menjadi Arkeolog, dirinya ingin mengarsipkan bahasa-bahasa daerah yang kaya di Maluku, namun ada banyak yang punah.

ANTARA DUA BANGSA

Sampai saat ini, Aiman masih punya dua kewarganegaraan yakni Thailand dan Indonesia.  Sampai usia 21 tahun nanti, dia punya kesempatan untuk memilih salah satu.

“Beta sudah punya keputusan.  Beta pilih warga negara Indonesia, nanti.  Beta sudah jatuh cinta pada Maluku, pada persaudaraan di sini,” akuinya jujur.

Dia tambahkan, dari Kei sampai Ambon, dia memasuki berbagai kehidupan komunitas agama, suku, dan bangsa, namun dia tidak pernah punya pengalaman buruk.  Justru semuanya sangat manis.

Rasa cinta pada Maluku, Ambon, Evav, dia tuangkan dalam sebuah puisi dengan gaya Melayu dan Thailand.

“Bismillahirrahmanirrahim

dalam petang tuh

wau terajut enam

ambo zahir

di nusa antara

ambo zahir

di tanoh Evav“

“Satu alasan lagi beta suka Ambon ketimbang Bangkok karena di sini laki-laki dan perempuan dapat kita bedakan.  Di Bangkok, transgender juga lebih cantik dari perempuan.  Beta lebih baik di Ambon,” pungkas Aiman.

(Rudi Fofid)

Berita Terkait

No Content Available
Berita Selanjutnya
Suasana pelipatan surat suara jelang Pemilu susulan di Kabupaten Kepulauan Tanimbar

23 April, 20 TPS Gelar Pemilu Susulan di KKT

Rekomendasi

Peduli Warga, Babinsa Iniyandit Bantu Sembako bagi Korban Kebakaran

Peduli Warga, Babinsa Iniyandit Bantu Sembako bagi Korban Kebakaran

6 bulan ago
Polisi Tangkap Mahasiswa Pelaku Ujaran Kebencian di Medsos

Polisi Tangkap Mahasiswa Pelaku Ujaran Kebencian di Medsos

11 bulan ago

Populer

  • Inilah Sikap Gubernur Atas Insiden Yang Menimpa Mahasiswa Papua

    Penjelasan Gubernur Enembe Soal Dualisme Pelantikan Sekda Papua

    126 shares
    Share 50 Tweet 32
  • Dilantik Jadi Sekda Papua, Ini Pesan Mendagri Kepada Dance Flassy

    67 shares
    Share 27 Tweet 17
  • Pemprov Papua Klarifikasi Dugaan Penyalahgunaan Dana Otsus 1,8 Triliun

    36 shares
    Share 14 Tweet 9
  • Mendagri Lantik Sekda Definitif, Wagub Papua Lantik Penjabat Sekda

    29 shares
    Share 12 Tweet 7
  • KKB Tembak Personel TNI-Polri di Mile 53 Tembagapura

    24 shares
    Share 10 Tweet 6
Koreri Trans Media

© 2017-2021 Koreri.com
All Rights Reserved

Navigate Site

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Disclaimer

Follow Us

No Result
View All Result
  • Serba-Serbi
  • Pemerintahan
  • Fokus
  • Pendidikan
  • Tekno
  • Sorotan
  • Olahraga
  • Internasional
  • Hukum & Kriminal
  • Inspirasi
  • Ekonomi
  • Kodam XVII Cenderawasih

© 2017-2021 Koreri.com
All Rights Reserved

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In