Koreri.com, Jakarta – Presiden Joko Widodo merombak enam jajaran menteri, salah satunya Menteri Kelautan dan Perikanan (Men-KP).
Setelah ditinggal mendekam di jeruji besi KPK, kursi Men-KP memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan dalam rilisnya, menyebutkan kasus korupsi ekspor benur yang menjerat Men-KP sebelumnya menyisakan tugas bagi menteri baru untuk memperbaiki celah-celah potensi korupsi dalam rantai bisnis sector perikanan.
Khusus untuk bisnis ekspor benur, menteri yang baru dilantik juga dituntut untuk berani menghentikan praktik eksploitatif yang hanya mengejar dollar dan merugikan nelayan lokal.
Tak hanya lobster, potensi perikanan Indonesia secara keseluruhan juga perlu dilindungi dari over-fishing.
UU 31/2004 Jo. UU 45/2009 dipandang sudah cukup memberikan landasan, arah dan kemajuan kebijakan tata kelola perikanan Indonesia, namun pelaksanaannya dalam dua dekade terakhir belum cukup baik.
Men-KP yang baru harus tegas dalam mengimplementasikan aturan ini di lapangan.
Sebetulnya, periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2019) menunjukkan kemajuan dalam upaya evaluasi dan ketegasan penegakan hukum di bidang perikanan tangkap dengan moratorium perizinan bagi kapal-kapal perikanan yang dibangun di luar negeri (eks asing dan asing).
Sayangnya, 5 Oktober lalu pemerintah justru mengesahkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mempertahankan Pasal 40 UU No. 31 Tahun 2004 yang membuka akses penangkapan ikan oleh kapal ikan asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Sebuah alarm lantang bagi Men-KP baru untuk memastikan potensi perikanan Indonesia tidak akan dikeruk pihak asing, namun dikelola secara lestari untuk nelayan dalam negeri.
UU Cipta Kerja yang penuh penolakan ini menyimpan banyak halangan bagi Men-KP yang baru untuk melaksanakan mandatnya mewujudkan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
Di lain sisi, tugas melindungi anak buah kapal di kapal ikan asing juga menanti.
Dalam kurun waktu November 2019 sampai Juni 2020 saja, Destructive Fishing Watch mencatat 31 ABK Indonesia mengalami kekerasan di kapal ikan asing, bahkan tujuh orang dinyatakan tewas, dan tiga hilang.
Angka kasus kekerasan ini tentu tak ada apa-apanya dibanding total ABK perikanan Indonesia yang mengalami berbagai indikasi perbudakan di kapal ikan asing. Negara, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan harus hadir melindungi para buruh migran sektor perikanan dari praktik perbudakan modern di lautan.
Setelah dilantik hari ini, Men-KP baru harus menuntaskan rangkaian pekerjaan rumah di atas dan mewujudkan sustainable ocean economy di Indonesia. ∓ 2,7 juta nelayan Indonesia yang hidup di ambang garis kemiskinan dan sektor perekonomian pesisir yang menghadapi pelbagai persoalan menunggu kebijakan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berpihak pada mereka.
Pendapat publik dan suara kelompok masyarakat sipil adalah penyeimbang dalam menunaikan kewajiban dari negara. Kritik tak lain adalah penguat strategi.
Tentang KORAL :
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) terdiri dari: IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, KIARA, WALHI, Greenpeace Indonesia, ICEL (Indonesian Center of for Environmental Law), Destructive Fishing Watch (DFW), Yayasan Terangi.
BKL