as
as

Ancaman Kepunahan Burung Cenderawasih dari Alam Papua dan Kepulauan Maluku

Burung Cenderawasih2
Foto : Google

Koreri.com, Jakarta – Tanah Papua dan Kepulauan Maluku adalah rumah dari burung surga, yakni Cenderawasih.

Bertepatan dengan Hari Hutan Sedunia yang jatuh pada tanggal 21 Maret 2021, Yayasan EcoNusa berkolaborasi dengan Cornell Lab of Ornithology mengampanyekan pelestarian hutan yang merupakan kawasan habitat Cenderawasih di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku dengan tema “Defending Paradise”.

Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa mengatakan bahwa Defending Paradise adalah sebuah kampanye yang diluncurkan untuk menjaga harmoni alam di Tanah Papua dan Maluku.

“Kita menyebut paradise, karena Papua dan Maluku ibarat sepenggal surga yang jatuh ke bumi, maka harus kita jaga. Paradise juga adalah hutan dan laut di Papua dan Maluku yang menghidupkan kita semua, anak-anak adat Papua dan Maluku. Juga menjadi penjaga iklim terbesar yang ada saat ini di indonesia dan dunia, sehingga merupakan aset yang harus kita jaga untuk mempertahankan kehidupan kita dalam jangka waktu yang panjang. Dan cenderawasih yang juga disebut bird of paradise menjadi ikon dalam kampanye ini,” ujarnya.

Berdasarkan buku Ekologi Papua, Tanah Papua menjadi rumah bagi 2.560 jenis ikan, 552 spesies burung, 191 mamalia, 150.000 serangga dan 15.000-20.000 spesies tumbuhan.

Salah satunya adalah Cenderawasih, burung surga yang telah dikenal hingga penjuru dunia sejak berabad-abad lalu. Dimana sebanyak 9 spesies merupakan Cenderawasih endemik yang hanya dapat ditemui di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.

7 spesies Cenderawasih endemik hanya hidup di wilayah tertentu di Tanah Papua. Sedangkan 2 spesies Cenderawasih endemik lainnya hanya dapat ditemukan di Pulau Halmahera dan Pulau Obi di Maluku Utara.

Sayangnya, Cenderawasih semakin menghadapi ancaman nyata. Burung-burung surga ini terus kehilangan rumahnya. Penebangan hutan, perluasan perkebunan skala besar, pertambangan dan pembukaan lahan mengancam burung surge itu dan seluruh ekosistem alam yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat adat dan penopang iklim dunia.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada periode 2018-2019, Tanah Papua yang tutupan hutannya terluas di Indonesia ini mengalami kehilangan hutan seluas 11.212,2 hektar di Provinsi Papua dan 5.296,1 hektar di Provinsi Papua Barat.  Sedangkan di Kepulauan Maluku, kehilangan tutupan hutan seluas 1.271,8 di Maluku dan 3.326,8 di Maluku Utara.

Berdasarkan analisis Tim Riset EcoNusa, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku total menempati area seluas 11,39 juta hektar. 86 persen dari total luas IUP tersebut berada di hutan alam primer.

Jika hutan di seluruh area pertambangan ini dibuka, maka kemungkinan 10 persen hutan alam primer di Indonesia atau setara dengan 149 kali luas Ibukota DKI Jakarta akan hilang.

Ditambah lagi rencana lumbung pangan di Tanah Papua yang akan mengkonversi 1.304.574 hektare Kawasan hutan dan 734.777 hektare areal penggunaan lain di Kabupaten Merauke.

Rencana pengembangan lumbung pangan ini dinilai akan mengancam keberadaan nilai-nilai kehidupan, sosial, budaya, dan ekonomi suku-suku di Kabupaten Merauke, Mappi, dan Boven Digoel atau suku lain yang akan dijadikan lumbung pangan. Termasuk didalamnya habitat Cenderawasih.

Kehilangan hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku tak hanya mengancam keberadaan Cenderawasih sebagai satwa dilindungi dan identitas budaya masyarakat setempat, melainkan juga mengancam keberlangsungan seluruh rantai kehidupan dalam ekosistem serta kehidupan masyarakat adat dan budaya warisan turun temurun.

Cenderawasih kerap dijuluki sebagai burung surga atau bird of paradise karena keelokan bulunya dan gerakan eksotisnya.

Beberapa budaya masyarakat adat di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku juga menyebutnya sebagai burung matahari atau burung dewata karena keindahannya yang tak tertandingi.

Secara ilmiah, cenderawasih diklasifikasikan ke dalam keluarga Paradisaeidae.

Data dari birdsoftheworld.org Cornell Lab of Ornithology, ada 42 spesies cenderawasih yang ada di seluruh dunia. 29 spesies diantaranya hidup di Indonesia, yakni di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.

Burung-burung surga ini hidup tersebar dari wilayah Waigeo – Raja Ampat, Pegunungan Arfak, Mamberamo, Pegunungan Foja, belantara di pesisir Tambraw, Jayapura, Nimbokrang, Yapen, Taman Nasional Lorentz, Wasur – Merauke, hingga dekat perbatasan Papua Nugini.

Juga di Kepulauan Aru, Pulau Halmahera dan Pulau Obi di Maluku Utara.

Wilayah hutan hujan tropis berkanopi lebat dengan pepohonan tinggi menjulang di Pulau Papua dan Kepulauan Maluku menjadi tempat para burung surga tinggal.

Mereka menghuni hutan-hutan dataran tinggi hingga dataran rendah. Beberapa di antaranya pemakan buah-buahan. Sebagian lagi pemakan serangga.

Hutan adalah tempat para burung surga menggantungkan kehidupan dan berkembangbiak.

Cenderawasih tak hanya menjadi bagian dari mata rantai kehidupan di belantara hutan hujan tropis Papua dan Maluku yang rapat dan sunyi, melainkan juga simbol tradisi, filosofi kehidupan, dan identitas budaya yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat.

Jauh sebelum dunia menyebutnya bird of paradise, masyarakat adat telah memaknai burung Cenderawasih sebagai simbol adat yang harus dijaga, wujud penghormatan manusia terhadap alam yang memberi kehidupan.

Kampanye Defending Paradise dimulai 21 Maret 2021 dan akan terus berlangsung hingga September 2021 melalui sosial media dan platform digital.

Kampanye ini dilakukan untuk menularkan kesadaran terutama bagi generasi muda Indonesia, tentang pentingnya kelestarian hutan hujan tropis dan burung Cenderawasih, sebagai salah satu keanekaragaman hayati di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.

Keberadaan Cenderawasih menjadi tanda bahwa hutan-hutan di wilayah paling timur Indonesia ini masih tegak berdiri, menopang kehidupan dan berkontribusi pada keseimbangan iklim dunia.

VLJ

as