as
as

Ombudsman: Pemprov Papua dan Pemkab Mimika Harus Spesifik Soal 4 Persen Saham Masyarakat Adat

WhatsApp Image 2021 03 29 at 09.58.02
Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman Papua, Olive Sabar Iwanggin, saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (29/3/2021). Foto: Seo Balubun

Koreri.com, Jayapura – Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Papua, menegaskan hak 4 persen saham masyarakat adat korban permanen areal tambang PT. Freeport Indonesia harus diakomodir secara spesifik dalam pembagian saham PT. Papua Divestasi Mandiri.

Penegasan tersebut disampaikan Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman Papua, Olife Sabar Iwanggin kepada Koreri.com, di Jayapura, Senin (29/3/2021).

“Jadi, Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika harus membuat aturan hukum dalam Perdasi atau Perdasus yang jelas mengatur pembagian 4 persen saham ini kepada masyarakat adat pemilik hak sulung (Tsingwarop, red),” tegasnya.

Karena menurut Iwanggin, jika dibuat dasar hukumnya supaya jangan jadi temuan nantinya.

“Perdasus itu harus disebutkan secara eksplesit bahwa 4 persen saham Divestasi Papua Mandiri untuk masyarkat adat Tsingwarop, harus disebut! Kalau tidak disebut nanti multitafsir 4 persen itu untuk siapa? Bisa diterjemahkan lain lagi,” sambungnya.

Untuk itu, Iwanggin mendorong agar DPR Papua dalam membuat Perdasus itu menyebut secara spesifik masyarakat adat dapat berapa persen? Jika tidak, maka ini bisa membuka peluang untuk korupsi.

“Harus disebut! Kalau tidak, itu sama saja kasih ruang untuk pejabat korupsi karena akan terjadi perbuatan maladiministrasi, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan prosedur,” tegasnya.

Iwanggin menambahkan maladministrasi itu perbuatan melawan hukum melebihi wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain mengakibatkan kerugian materil maupun inmateriil bagi penerima layanan dalam hal ini masyarakat adat.

FPHS Tsingwarop kantorTindak Lanjut Surat Klarifikasi Ombudsman

Sementara itu, terkait laporan dugaan maladministrasi yang diadukan FPHS Tsingwarop terhadap Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika dipastikan akan terus berlanjut.

Hal itu disampaikan Iwanggin menanggapi sikap Bupati Mimika Eltinus Omaleng yang tak juga memberikan penjelasan atas surat permintaan klarifikasi 1 dan 2 yang dilayangkan Ombudsman Papua dalam kurun waktu 2×14 hari.

Pasalnya, setelah 2×14 hari tidak juga menjawab surat klarifikasi Ombudsman maka dinyatakan hak jawabnya gugur.

Hal itu mengacu pada Pasal 33 Ayat 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

“Pertama, kita sudah kirim klarifikasi tidak dijawab dan kita kirim klarifikasi kedua tidak dijawab juga sehingga kita menganggap bahwa terlapor (Bupati Mimika) tidak menggunakan hak jawab,” tegasnya.

Iwanggin memastikan akan menindak lanjuti ini dengan kembali mengundang kembali Bupati Eltinus Omaleng.

“Kalau tidak datang, kita akan kirim surat pemanggilan 1 sampai 3. kalau tidak datang lagi kita tetap gunakan alat negara untuk panggil paksa karena terjadi maladministrasi yang melanggar ketentuan Undang-undang,” pungkasnya.

Pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc berdasarkan proses perundingan menyepakati untuk melakukan divestasi saham kepada peserta Indonesia sampai dengan 51 persen dalam PT. Freeport Indonesia menjadi milik Indonesia.

Kesepakatan itu kemudian ditindaklanjuti antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Mimika dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dalam sebuah perjanjian induk berisikan Pengambilan Saham Divestasi PT. Freeport Indonesia yang ditandatangani para pihak di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2018.

Pemerintah Indonesia diwakili Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, Ignatius Jonan yang saat itu menjabat sebagai Menteri ESDM dan Menteri BUMN yang saat itu masih di jabat Rini Soemarno.

FPHS Tsingwarop Yafet Beanal Arahan
Ketua FPHS Tsingwarop, Yafet Manga Beanal, memberikan arahan kepada masyarakat di Timika, Senin (21/9/2020)

Gubernur Lukas Enembe mewakili Pemerintah Provinsi Papua serta Bupati Eltinus Omaleng mewakili Pemerintah Kabupaten Mimika.

Sementara PT Inalum (Persero) sendiri diwakili Direktur Utamanya Budi Gunadi Sadikin.

Salah satu poin penting kesepakatan yang menjadi isi dalam perjanjian induk itu terdapat pada pasal 2 poin 2.1 yang menyatakan bahwa para pihak sepekat bahwa porsi kepemeilikan saham Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika secara tidka langsung melalui perseroan khusus sejumlah 10 persen dari total saham dalam PT. Freeport Indonesia.

Kepemilikan itu akan dihitung secara proporsional dengan rincian Pemprov Papua mendapat jatah 3 persen dan Pemkab Mimika sebesar 7 persen termasuk mewakili hak-hak masyarakat pemilik hak ulayat dan masyarakat yang terkena dampak permanen.

Gubernur Lukas Enembe selaku Pemerintah Provinsi Papua kemudian menindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No 7 Tahun 2018 tentang Perseroan Terbatas Papua Divestasi Mandiri.

Adapun didalamnya disebutkan pembagian proporsi saham divestasi PT Freeport Indonesia harus memberi manfaat dan dampak signifikan bagi masyarakat dalam hal ini pemilik hak ulayat di sekitar areal penambangan PT Freeport Indonesia.

Hanya saja pembagian secara spesifik terkait peruntukan saham 4 persen kepada pemilik hak ulayat belum diakomodir dalam Perda dimaksud.

Menyikapi itu, Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) tiga kampung Tsinga, Waa/Banti dan Aroanop (Tsingwarop) di areal tambang PT. Freeport Indonesia, Distrik Tembagapura yang mewakili pemilik hak ulayat setempat kemudian mendatangi Pemerintah Provinsi Papua menyatakan keberatannya atas isi Perda No 7 Tahun 2018 itu.

FPHS Tsingwarop Tantang Bup Mmk Soal 4 PersenMereka meminta bahkan mendesak agar saham sebesar 4 persen bagi masyarakat adat tersebut diakomodir secara jelas dalam Perda tersebut. Meski pihak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua menginformasikan bahwa Gubernur Papua sendiri mengusulkan pembagian saham PT. Papua Divestasi Mandiri 7 persen itu dengan proporsi 3 persen untuk Pemerintah Kabupaten Mimika dan 4 persen utntuk masyarakat adat.

Bahkan, FPHS Tsingwarop melalui kuasa hukumnya Lokataru kemudian menyampaikan surat kepada Gubernur Papua melalui surat nomor : 223/SK-Lokataru/VII/2020 tertanggal 10 Juli 2020, perihal keberatan atas isi Perda No 7 Tahun 2018 tentang PT. Papua Divestasi Mandiri dan meminta untuk segera merevisi peraturan tersebut.

Salah satunya, dalam hal pembagian saham divestasi PT. Feeport Indonesia agar dialokasikan sebesar 4 persen untuk masyarakat adat 3 kampung yaitu Tsinga, Waa/Banti dan Arwanop (Tsingwarop).

Pemerintah Provinsi Papua sendiri kemudian menyatakan bahwa masyarakat adat menjadi penerima saham dan alokasi saham masyarakat adat Tsingwarop akan diambil dari bagian Pemerintah Kabupaten Mimika, dan selanjutnya Perda No. 7 Tahun 2018 akan segera direvisi.

Langkah yang sama juga dilakukan FPHS Tsingwarop melalui kuasa hukumnya Lokataru dengan menyurati Bupati Mimika melalui surat nomor : 248/SK-Lokataru/VII./2020 tertanggal 7 Agustus 2020 terkait permohonan alokasi saham PT. Freeport Indonesia kepada masyarakat adat.

Seiring berjalannya waktu, persoalan mulai timbul menyusul sikap Bupati Mimika Eltinus Omaleng yang tiba-tiba berubah sikap.

Ia semula juga mendukung 4 persen saham diberikan ke masyarakat adat melalui FPHS Tsingwarop yang ditandai dengan dikeluarkannya rekomendasi nomor : 593/918 yang menyatakan bahwa FPHS Tsingwarop merupakan representasi masyarakat adat suku Amungme di Kampung Tsinga, Kampung Waa/Banti dan Kampung Aroanop yang jadi korban permanen di areal tambang PT. Freeport Indonesia.

Bahkan dalam salah satu pertemuan yang digelar di Hotel Cendrawasih 66 tanggal 19 Januari 2019 lalu, Bupati Omaleng sendiri kembali menyampaikan penegasannya di depan publik tentang 4 persen saham adalah milik masyarakat adat korban permanen.

FPHS Tsingwarop 4 Persen Saham Hak TanahBupati kala itu dipuji karena mempertahankan keputusannya yang disampaikan secara publik dan dihadiri oleh seluruh tokoh masyarakat, OPD dan stakeholder di Kabupaten Mimika.

Faktanya kini, sang Bupati sendiri melawan ucapannya. Bahkan penolakan itu ia dilakukan secara terang-terangan, dengan membuat pernyataan bahwa saham 7 persen adalah milik Pemkab Mimika.

Sebagaimana mengutip berita yang dirilis pada 25 Agustus 2020 oleh media Seputar Papua dengan topik “Bupati Tegaskan 7 Persen Saham Freeport Mutlak Milik Pemkab Mimika”

Pernyataan ini sekaligus mempertegas ambisi sang Bupati untuk menguasai penuh saham tersebut tanpa mempedulikan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang menjadi tuntutan Pemerintah pusat.

Berbagai manuver pun dilakukan meski sekalipun melanggar aturan perundang-undangan.

Selain itu, disinyalir ada skenario yang sengaja dimainkan oleh oknum-oknum eksekutif dan legislatif di DPRD Mimika dalam upaya memuluskan ambisi Bupati Eltinus Omaleng melalui perusahaan pribadinya.

Tak heran, karena hal ini pun sudah menjadi konsumsi publik di kabupaten itu.

Menanggapi itu, FPHS Tsingwarop tak tinggal diam.

Selaku forum yang diakomodir secara resmi sebagai perwakilan pemilik ulayat 3 kampung korban permanen di areal tambang Freeport Indonesia melakukan perlawanannya.

Melalui kuasa hukumnya, Lokataru, forum ini menyurati lembaga Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Papua melaporkan adanya dugaan maladministrasi atas tidak ditanggapinya pengaduan yang disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Papua melalui surat nomor 223/SK-Lokataru/VII/2020 tertanggal 10 Juli 2020, perihal keberatan atas isi Perda No 7 Tahun 2018 tentang PT. Papua Divestasi Mandiri dan meminta untuk segera merevisi peraturan tersebut.

Kemudian, surat nomor : 248/SK-Lokataru/VII./2020 tertanggal 7 Agustus 2020 terkait permohonan alokasi saham PT. Freeport Indonesia kepada masyarakat adat yang ditujukan ke Pemerintah Kabupaten Mimika.

Merespons laporan tersebut, Ombudsman Perwakilan Provinsi Papua menindaklanjutinya dengan menyampaikan surat permintaan klarifikasi kepada kedua pemerintahan itu untuk memberikan penjelasan terkait pengaduan FPHS Tsingwarop.

FPHS Tsingwarop Bup Omaleng Tak Tahu Diri

Sebagaimana data yang dimiliki redaksi Koreri.com, Ombudsman RI Perwakilan Papua resmi melayangkan surat pertama kepada Bupati Mimika dengan nomor : 0002/KLA2/1388.2020/JKT/Jpr-01/III/2021 tertanggal 20 Januari 2021 perihal Permintaan Klarifikasi I dengan tenggat waktu selama 14 hari.

Setelah 14 hari surat pertama tak dijawab, Ombudsman Papua kembali melayangkan surat kedua dengan nomor : 0008/KLA2/1388.2020/JKT/Jpr-01/III/2021 tertanggal 08 Maret 2021 perihal Permintaan Klarifikasi II.

Faktanya, kedua surat tersebut tak juga direspons Bupati Mimika,

Meski dalam surat kedua ditegaskan pula bahwa sesuai Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI menyebutkan bahwa jika terlapor (Bupati Mimika, red) tidak juga memberikan penjelasan secara tertulis, dalam waktu 14 hari maka terlapor tidak dianggap tidak menggunakan hak jawabnya (gugur, red).

Kini publik tinggal menunggu rekomendasi Ombudsman RI Perwakilan Papua dalam penuntasan persoalan ini.

Tentang FPHS Tsingwarop

FPHS Tsingwarop telah ditunjuk secara resmi sebagai perwakilan masyarakat 3 kampung yang jadi korban permanen di areal tambang PT. Freeport Indonesia.

Bupati Mimika Eltinus Omaleng telah mengeluarkan rekomendasi dengan nomor : 593/918 yang menyatakan bahwa FPHS Tsingwarop merupakan representasi masyarakat adat suku Amungme di Kampung Tsinga, Kampung Waa/Banti dan Kampung Aroanop yang jadi korban permanen di areal tambang PT. Freeport Indonesia.

Selain rekomendasi Bupati, ada juga Rekomendasi Gubernur Papua Nomor: 540/56.19/367, Rekomendasi LEMASA Nomor: 028/REK/PJS – LEMASA/V/2016, Rekomendasi DPR Papua Nomor: 593/861, Rekomendasi MRP Nomor: 593/156/MRP, Rekomendasi DPRD Nomor: 590/104/DPRD, dan tanggapan Dirjen Minerba Nomor: 561/30/DBM.HK/2019.

Penerusan Surat BUMN Nomor: S – 1/Wk1.MBU.B/07/2020, Penerusan Surat Permohonan Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dari Ketua Forum Pemilik Hak Sulung Wilayah Operasi PT. Freeport Indonesia 3 Wilayah kepada Presiden RI Nomor: B – 18/Kemensetneg/D-2/SR.02/07/2020.

Perwakilan ini juga didasarkan pada dokumen-dokumen yang sudah FPHS kantongi serta berbagai penjelasan baik langsung maupun dalam rapat-rapat resmi tentang kepemilikan Hak Ulayat, serta pembahasan divestasi saham 10 persen yang diperuntukan bagi Pemda Provinsi Papua dan pemilik Hak Ulayat Korban Permanen.

Dalam hal ini tertuang dalam perjanjian Induk yang diperkuat oleh Surat Kemendagri No. 188.31/966/Biro Hukum pada revisi Perdasi No.7 Tahun 2018 dimana untuk Hak Masyarakat Korban Permanen harus dimuat dalam Perdasi tentang Divestasi Papua Mandiri yang di buat oleh Pemprov Papua.

SEO

as