as
as

Ngotot Perkarakan Rettob, Pengamat Hukum : Kejati Papua “Extraordinary Action”

IMG 20230523 WA0001
Gedung Kejaksaan Tinggi Papua, Kota Jayapura / Foto : Ist

Koreri.com, Jayapura – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua kembali memproses hukum perkara dugaan tindak pidana korupsi atas nama Plt Bupati Mimika Johannes Rettob dan Direktur PT. Asian One di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jayapura, Papua.

Perkara dugaan korupsi tersebut didaftarkan pada 9 Maret 2023 dan mulai disidangkan pada Selasa (23/5/2023) di Pengadilan Tipikor Jayapura.

as

Padahal, perkara ini baru saja kelar setelah sidang putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jayapura yang menolak surat dakwaan Jaksa dan menyatakan batal demi hukum pada 27 April lalu.

Menariknya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memilih tak menggunakan haknya sesuai KUHP untuk melakukan banding namun sebaliknya malah mengajukan kembali perkara tersebut.

Perkara yang sama kemudian didaftarkan kembali pada 9 Maret 2023 terhitung dua minggu setelah Majelis Hakim kabulkan eksepsi terdakwa.

Kabarnya, surat dakwaan yang telah ditolak itu diajukan kembali dengan sedikit dilakukan modifikasi agar terkesan berbeda dari yang sebelumnya.

Ngotot dan kekehnya JPU Kejati Papua ini kemudian mendatangkan sorotan publik hingga mengundang kecaman berbagai kalangan . Aroma “kasus pesanan“ pun menggema di jagad maya.

 

Kejati Papua Limpahkan Berkas Perkara 1
Bukti surat pelimpahan berkas perkara atas nama Johannes Rettob oleh Kejaksaan Negeri Mimika dan tanda terima Pengadilan Negeri Jayapura tertanggal 8 Mei 2023 / Foto : Ist

Sebelum berlanjut soal tanggapan terhadap manuver  JPU,  publik perlu mengetahui sesungguhnya seperti apa proyek yang kemudian didakwakan kepada JR dan Silvi Herawaty melakukan korupsi.

Proyek ini berupa pengadaan, pemasukan, perijinan dan pra operasi Pesawat terbang Grand Caravan dan Helikopter Airbus H-125 pada DPA Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika TA 2015 sebesar Rp85.708.991.200,-  dengan total harga Pesawat dan Helikopter sebesar Rp80.537.405.219 yang langsung dibayarkan ke pabrik dengan Metode Swakelola (Perpres 54 Tahun 2010 tentang tata cara pengadaan barang dan jasa Pemerintah).

Biaya Rp 5.171.485.981 digunakan untuk biaya Pra Operasi dan Operasional awal (Perijinan, perekrutan pilot, engginer, Ferry Flight, Gaji Kru dll) oleh PT. Asian One Air sebagai Perusahan penerbangan pemegang AOC 135.

Pesawat terbang grand caravan ada dan tercatat sebagai aset Pemkab Mimika dan terparkir di Bandara Mozes Kilangin Timika. Helikopter Airbus H-125 juga ada dan tercatat sebagai aset Pemkab Mimika dan terparkir di Bandara Mozes Kilangin Timika. Kedua Pesawat tersebut beroperasi di Timika dan Papua dalam melayani masyarakat mulai 2016 sampai 2022. Dan telah memberikan PAD sebesar Rp45.000.000.000.

Walaupun Rp21.848.875.000 belum terbayarkan yang menjadi utang yang diakui PT. Asian One Air kepada Pemkab Mimika karena beratnya biaya maintanance dan biaya operasional yang tinggi.

Fakta menarik lainnya, JPU Kejati Papua yang kemudian memperkarakan kasus ini tidak menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Kejati Papua malah menggandeng Akuntan Publik Independen untuk melakukan audit.

Hasilnya, auditor swasta ini mengklaim negara dirugikan sebesar Rp69.135.404.600,- dalam proyek itu.

Belum diketahui alasan apa dari institusi penegak hukum tersebut tak menggandeng BPK RI???

Informasi penting lainnya yang perlu publik ketahui, kasus ini mulanya diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2017 sampai dengan 2019 namun proses penyelidikannya tidak dilanjutkan.

KPK Periksa JR n Silvi Herawaty
Salah satu bukti proses pemeriksaan yang dilakukan KPK terhadap dugaan korupsi pengadaan pesawat dan helikopter Pemda Mimika yang dilaporkan sejak 2017 lalu / Doto : Ist

Kemudian pada 2020 dilaporkan kembali ke Kejaksaan Tinggi Papua namun tidak dilanjutkan proses penyelidikan kasusnya karena pernah diperiksa KPK.

Tahun 2021 dilaporkan kembali ke Polda Papua namun tidak dilanjutkan proses penyelidikannya karena dianggap tidak cukup bukti.

Tahun 2022 dilaporkan kembali ke Polda Papua, Kejaksaan Negeri Mimika, Kejaksaan Tinggi Papua dan DPRD Mimika.

DPRD kemudian membentuk Pansus dan telah selesai dilakukan pemeriksaan serta tidak dilanjutkan karena pesawat terbang dan helikopter semuanya ada dan beroperasi.

Begitu pula, Polda Papua melakukan penyelidikan atas kasus dugaan pencurian dan penggelapan helikopter dan telah diberhentikan penyelidikannya karena helikopter ada dan dikuasai penuh Pemkab Mimika sebagai pemilik.

Bahkan, tanggal 28 Februari 2023 Polda Papua resmi menghentikan penyelidikan kasus tersebut atas laporan pengaduan JENY O. USMANY, S.Pd, M.Pd yang diadukan sejak 19 Agustus 2022 karena tidak ditemukan adanya peristiwa pidana.

Bedanya, Kejaksaan Negeri Mimika bersama Kejati Papua lanjut melakukan penyelidikan dan penyidikan lalu menetapkan JR dan Silvi sebagai tersangka, menyidangkan keduanya sebagai terdakwa  hingga berujung surat dakwaan JPU ditolak Majelis Hakim dan menyatakan batal demi hukum dalam sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor Jayapura, 27 April 2023.

Polda Papua SP3 Kasus Pj Bupati Mimika
Penghentian dilakukan oleh Polda Papua berdasar Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) Nomor: SPPP/19/II/RES.1.11/2023 yang dikeluarkan oleh Penyidik Polda Papua tertanggal 28 Februari 2023 atas laporan pengaduan JENY O. USMANY, S.Pd, M.Pd yang adukan sejak 19 Agustus 2022 / Foto : Ist

Perkara Plt Bupati Mimika Bukan Tindak Pidana Korupsi

Berkaitan dengan ngototnya Kejati Papua yang kembali mendaftarkan perkara yang sama, Pengamat Hukum Yohanes Mere, SH langsung memberikan tanggapannnya.

Ia menyoroti dua poin penting eksepsi yang disampaikan Tim Hukum Plt Bupati Mimika Johannes Rettob yang kemudian diterima Majelis Hakim yaitu:

Pertama, dalam amar Putusan Eksepsi menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor Jayapura tidak mempunyai kewenangan absolut untuk mengadili perkara tersebut karena perkara yang didakwakan bukan sebagai Tindak Pidana Korupsi.

“Terkait dengan eksepsi kompetensi absolut, tidak bisa dilakukan upaya hukum berupa perbaikan surat dakwaan, hanya bisa dilakukan banding.  Jika memori banding sudah dicabut maka perkara ini harus dimulai dari penyidikan dengan bukti-bukti baru (novum). Jika tidak ada novum, maka berkualifikasi ne bis in idem,” urainya.

Ne Bis In Idem adalah perkara dengan obyek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama, diputus oleh Pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.

Kedua, dakwaan harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh.

“Dengan menghapus dakwaan kedua dan ketiga dalam surat dakwaan tidaklah merupakan langkah yang tepat sebagai counter terhadap kewenangan absolut,” tegasnya.

Dalam hal ini, JPU harus menyusun/membuat Surat Dakwaan menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP berisikan uraian yang cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.

“Cermat artinya bahwa JPU harus menguraikan dengan cermat ketentuan pidananya yang tepat dan jangan campur adukkan ketentuan pidananya dengan perdata. Jelas artinya, JPU harus mampu merumuskan unsur-unsur dari pasal yang didakwakan sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan materil/fakta yang dilakukan oleh terdakwa, harus jelas memuat semua unsur pasal pidana yang didakwakan. Sedangkan lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang ditentukan UU secara lengkap,” urainya.

IMG 20230427 WA0018
Sidang Lanjutan dengan agenda pembacaan Putusan Sela atas kasus Plt Bupati Mimika Johannes Rettob bertempat di Ruang Sidang Utama PN Jayapura kelas IA, Kamis (27/4/2023) / Foto : Istimewa

Pengamat dari Lembaga Law Firm S.Hadjarati, Yan Mere & Patners ini menegaskan tindakan JPU mencabut permohonan bandingnya menandakan JPU tidak mengajukan perlawanan/banding atas putusan tidak berwenang mengadili/ tidak berkompetensi absolut.

“Sehingga walaupun JPU mengajukan kembali Surat Dakwaannya yang telah diperbaiki maka Pengadilan tetap tidak bisa mengadili perkara itu karena tidak mempunyai kompetensi untuk mengadilinya sebab bukan merupaka tindak pidana korupsi,” tegasnya.

Extraordinary Action

Pengamat Hukum lainnya Karel Riry, SH., MTH., M.Apt turut menyoroti perkara Plt Bupati Mimika Johannes Rettob dan Direktur Asian One Silvi Herawaty.

Menurut Riry, dirinya telah memprediksi sejak awal bahwa kasus ini tidak akan lanjut sebagaimana hal itu ditegaskan melalui putusan sela yang dikeluarkan Majelis Hakim perkara Rettob dan Silvi.

“Karena kasus pak Retob ini berkaitan dengan penyidik atau pihak institusi penegak hukum KPK maupun Kepolisian sudah melakukan pemeriksaan dan kemudian tidak ditemukan adanya peristiwa pidana. Meski Jaksa kemudian menaikkan perkara ini namun akhirnya putusan sela dari Majelis Hakim menyatakan bahwa dakwaan itu kabur dan tidak dapat diterima atau dinyatakan batal demi hukum karena memang seharusnya begitu,” bebernya.

Alumnus Instituto Mexicano del Seguro Social ini kemudian menyinggung istilah Extraordinary Action soal tindakan Jaksa yang melampaui aturan.

“Kalau Jaksa kemudian ngotot kembali memperkarakan kasus ini, maka itu perlu dipertanyakan dan perlu dilihat. Bahwa ternyata pihak Kejaksaan dalam hal ini unsur penyidik dan penuntut telah melakukan tindakan yang disebut Extraordinary Action atau tindakan yang luar biasa,” tekannya.

Kaitannya dengan perkara ini, lanjut Riry bahwa Jaksa mengambil langkah dengan melihat bahwa tidak ada perbuatan pidana di sana tapi ada perbuatan hukum, yang seakan-akan ada perbuatan pidana.

“Tidak semua perbuatan hukum itu berkaitan dengan kerugian negara lalu dianggap sebuah kerugian negara. Contoh, misalnya ada bencana. Tidak ada anggaran untuk bencana tapi kebetulan bencana itu mengharuskan anggaran itu dialihkan. Dalam teori Manus Manistra yang dikemukakan oleh Yongkers itu dimungkinkan dan orang tidak bisa dihukum,” urainya.

Sidang Lanjutan Silwi Herawaty Putusan Sela
Sidang Lanjutan dengan agenda pembacaan Putusan Sela atas kasus terdakwa Silvi Herawaty bertempat di Ruang Sidang Utama PN Jayapura kelas IA, Kamis (27/4/2023) / Foto : Istimewa

Mantan Pengajar Hukum di Universitas Pattimura Ambon ini juga memberikan contoh lainnya untuk suatu kepentingan mendesak dari masyarakat.

“Contoh angkutan misalnya.  Peralatan angkutan baik udara, maupun laut misalnya untuk masyarakat ini harus diadakan. Kalau mengukur dengan nilai yang seharusnya, misalnya sepuluh rupiah ternyata nilainya dua belas rupiah.  Nah, dua rupiah ini setelah penambahan kalau dilihat dari aspek penggunaannya maka ada kerugian dua rupiah, kerugian negara. Tapi aspek kegunaannya kalau ini tidak ditambah dua rupiah maka alat angkut itu tidak pernah ada. Maka ada perbuatan hukum di sana tapi tidak merupakan tindakan pidana. Kalau jaksa melihat ini sebagai tindak pidana maka ini disebut Extraordinary Action. Mencari kesalahan di tempat yang seharusnya tidak ada kesalahan,” tegasnya.

Direktur Eklessia Law Firm ini juga mengaitkan “Extraordinary Action” ini kepada ngototnya Jaksa mengajukan surat dakwaan yang sama.

“Kalau sebuah putusan sela yang menyatakan eksepsi itu gugur, diterima, dakwaan itu harus gugur maka dengan serta merta dakwaan itu tidak bisa lagi dimajukan dalam persidangan. Artinya Jaksa harus menyusun dakwaan baru dengan menggunakan materi pendukung yang baru. Kalau dia bisa menggunakan lagi dakwaan yang sama maka putusan tetap Ne Bis In Idem artinya tidak bisa lagi dimajukan,” tegasnya.

Jika Jaksa tetap memaksakan maka hancurlah sistem hukum ini karena dakwaan jaksa pada awalnya kan acuan adalah hasil penyidikan dan unsur pasal sudah terpenuhi.

“Ternyata didalam persidangan ada eksepsi bahwa ternyata secara administratif seluruh prosedur dari mulai penyidikan sampai dengan penyusunan dakwaan itu tidak sesuai dengan yang semestinya maka kemudian Hakim memberikan pertimbangan dengan menyatakan bahwa dakwaan itu kabur,  obscure dan kemudian ditolak atau dinyatakan batal demi hukum. Maka jaksa sudah serta merta tidak bisa lagi mengemukakan dakwaan yang untuk kedua kalinya. Kalau Jaksa berupaya menaikkannya lagi, perlu dipertanyakan, ada apa dibalik ini semua?” bebernya.

“Pertanyaan kritisnya begini, logika hukum mana yang dipakai oleh Jaksa untuk meniadakan sebuah Reasoning Hakim yang menyatakan bahwa dakwaan itu adalah benar. Kan reasoning hakim itu sudah menyatakan bahwa kabur, tidak dapat diterima, batal demi hukum. Apa lagi yang mau dikemukakan. Jaksa harus membuat secara terang benderang. Substansi formalistiknya apa sebelum kita masuk di dalam materialnya? Pembuktian material berpatokan pada substansi formal. Sekarang kalau dia memaksakan kehendak, ya itu Extraordinary Action. Jadi sekarang tinggal di Hakim lagi,” pungkasnya seraya mendesak Tim Hukum Plt. Bupati Johannes Rettob untuk segera menyiapkan langkah hukum terhadap Jaksa.

“Lapor Jaksa, ada apa di balik ini? Jaksa sudah melakukan Extraordinary Action maka harus dikontrol etikanya. Jadi kode etiknya harus dilaporkan ke institusinya! Kalau ada niat jahat atau mens rea Jaksa sehingga ia begitu ngotot sekali terhadap kasus ini maka bisa dipidanakan bila menggunakan dokumen-dokumen yang tidak sesuai. Intinya harus lapor Polisi,” tukasnya.

EHO

as