Tanggapan Kuasa Hukum Plt Bupati Mimika Soal Surat Dakwaan : Banyak Yang Dilanggar

Sidang Plt Bup Mimika Perkara2
Sidang Perkara Plt Bupati Mimika, Johannes Rettob dan Silvi Herawaty di Pengadilan Tipikor Jayapura, Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Selasa (6/6/2023) / Foto: EHO

Koreri.com, Jayapura – Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan serta pengelolaan pesawat dan helikopter kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jayapura, Papua, Selasa (6/6/2023) siang.

Sidang kali ini yang dihadiri langsung Plt Bupati Mimika Johannes Rettob dan Direktur Asian One Silvy Herawati dengan agenda pembacaan dakwaan dan dilanjutkan dengan eksepsi Kuasa Hukum.

Sidang dipimpin Hakim Ketua Thobias Benggian, SH didampingi Hakim Anggota Linn Carol Hamadi, SH dan  Andi Asmuruf, SH, MH.

Kuasa Hukum Plt Bupati Mimika, Iwan Niode menanggapi surat dakwaan yang dibacakan JPU pada sidang yang digelar Selasa (6/6/2023).

“Jadi menurut Jaksa itu rangkaian dari kemarin, ketika proses putusan sela atas perkara yang membatalkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan kembali dan tadi sudah diagendakan dalam sidang hari ini,” terangnya kepada awak media, Selasa (6/6/2023).

Setelah dakwaan dibacakan, diakui Iwan, memang ada perubahan.

“Kalau sebelumnya itu dakwaan pertama terkait kasus korupsi dan dakwaan kedua dan ketiga menyangkut terkait Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN, red). Tetapi berdasarkan dakwaan yang sudah diajukan oleh Jaksa kemudian kami dari tim Penasehat Hukum mencermati dan mempelajari secara lebih dalam, ternyata banyak hal yang sangat prinsip yang sebetulnya sudah dilanggar oleh Jaksa dalam proses pembuatan surat dakwaan,” akuinya.

Iwan Niode Kuasa Hukum Plt Bup Mimika JR
Kuasa Hukum Plt Bupati Mimika, Iwan Niode saat memberikan keterangan pers / Foto : EHO

Menurut Iwan, surat dakwaan JPU bukan kelanjutan dari proses perkara di mana dakwaan itu di batalkan oleh Majelis Hakim melalui putusan sela di persidangan tanggal 27 April 2023.

“Kami menganggap ini dakwaan baru dengan pertimbangannya bahwa pertama, karena register perkaranya berbeda dari dakwaan lama. Apakah itu register perkara dari Kejaksaan pada perkara pertama 02 berbeda dengan perkara yang baru ini? Kemudian nomor register perkara untuk di pengadilan ketika pelimpahan berkas perkara itu juga berbeda.  Kalau perkara yang sekarang register perkara untuk Johanes Rettob itu nomor 9. Kalau yang dulu itu nomor 3 atau 4. Yang jelas nomor register perkaranya di pengadilan berbeda,” terangnya.

Kemudian pertimbangan yang kedua adalah Majelis Hakimnya juga berbeda.

“Kalau kemudian ini merupakan kelanjutan dari perkara kemarin harusnya register perkaranya tidak boleh berubah. Majelis Hakimnya juga tidak boleh berubah. Ketika ada perubahan, maka semua baik register perkara, majelis hakim kemudian berkas perkara juga berubah. Oleh karena itu, kita menganggap bahwa dakwaan ini yang diajukan Jaksa Penuntut Umum adalah dakwaan baru. Bukan lanjutan dari perkara yang lama,” sambungnya.

Karena itu, pihaknya selaku tim Kuasa Hukum Johannes Rettob mengajukan eksepsi untuk kemudian ada putusan sela.

“Kenapa kita meminta kepada Majelis Hakim bahwa atas eksepsi kami terhadap dakwaan yang tadi harus ada putusan sela? Karena ini dakwaan baru bukan dakwaan lama. Kalau menurut putusan Mahkamah Konstitusi, misalnya ada putusan sela terhadap dakwaan Jaksa maka kemudian penasehat mengajukan kembali eksepsi maka Majelis Hakim bisa memutus eksepsi itu pada putusan akhir. Tetapi menurut kami, ini tidak termasuk dalam putusan MK. Karena putusan MK berlaku terhadap perbaikan dakwaan. Perkara ini bukan perbaikan dakwaan,” terangnya.

Untuk itu, kembali tegas Iwan, pihaknya akan tetap keras kepada Majelis Hakim.

“Dan pada persidangan berikutnya, kami akan tetap meminta. Harus ada putusan sela, karena ini dakwaan baru. Apalagi dakwaan kami menyangkut dakwaan Ne Bis In Idem terhadap perkara yang sudah diputuskan kemarin kemudian dia hilangkan dakwaan kedua dan ketiga kemudian dia mengajukan kembali,” tegasnya.

Kasipenkum Kejati Papua Aguwan2i
Kasipenkum Kejati Papua Aguwani / Foto : EHO

Yang berikut, lanjut Iwan, adalah sprindik perkara ini KKN bukan perkara korupsi.

“Kalau perkara KKN dan korupsi itu berbeda dimana KKN di atur dalam peraturan sendiri dan perkara korupsi di atur dengan aturan sendiri. Sprindik dan berita acara perkara penyitaannya berdasarkan pidana korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak ada tindak pidana lain. Murni KKN,” tambahnya.

Oleh karena itu, Iwan menekankan bahwa eksepsi kuasa hukum terhadap sprindik harus di pertimbangkan oleh Majelis Hakim.

“Sekali lagi ini adalah dakwaan baru bukan dakwaan lanjutan dari perkara kemarin yang sudah di putuskan oleh majelis hakim melalui putusan sela,” pungkasnya.

Sementara itu, Kasie Penkum Kejaksaan Tinggi Papua Aguwani menegaskan langkah hukum yang dilakukan pihaknya sudah sesuai mekanisme atau SOP yang ada.

“Pada prinsipnya apa yang dilakukan  oleh Kejaksan Tinggi melalui Tim Penuntut Umum pada perkara dengan terdakwa Johannes Rettob dan Silvi Herawati itu sudah melalui mekanisme atau SOP yang ada. Maka kami secara institusi juga tidak terlalu menanggapi apa yang di sampaikan oleh panesehat hukum kedua terdakwa,” tegasnya.

Aguwani menekankan pula bahwa terkait dengan pasal yang sama dan terdakwa yang sama jelas satu hal yang berbeda.

“Karena dakwaan sebelumnya jelas beda karena ada pasal dengan unsur KKN yang baru kali ini penuntut umum masukan. Jadi, kalau dikatakan mengada-ada dan keliru oleh penasehat umum terdakwa, ya itu sah-sah saja. Itukan bagian dari pendapat penasehat hukum terdakwa,” pungkasnya.

SAV