Mengenal Lebih Dekat Sosok Emanuel Kemong, Anak Seorang Peternak Sapi (Part 1)

Emanuel Kemong 1
Emanuel Kemong merupakan Calon Wakil Bupati Mimika yang berpasangan dengan Johannes Rettob (JOEL)

Koreri.com, Timika – Mimika sepanjang bulan ini, Juli 2024 terus diguyuri hujan yang berkepanjangan.

Namun entah mengapa, pada Selasa (13/7/2024) hujan seakan sedikit memberikan ruang agar matahari membiaskan sinarnya dengan sempurna menghangatkan negeri ini.

as

Saat itu hari baru saja dimulai, sementara waktu masih panjang dan di setiap sudut kota di sepanjang jalanan Kota Timika, aktivitas warga tampak bergairah seperti biasanya.

Di bilangan Jalan Samratulangi Timika, terlihat sosok sederhana dengan balutan kemeja putih dan celana coklat berjalan pelan menghampiriku.

Sosoknya yang kalem dan sangat bersahaja itu terlihat menggantungkan noken berwarna merah hitam di dadanya.

Kaca mata bening dan topi di kepalanya juga tidak terpisahkan, sangat mewakili ciri khasnya yang selama ini dikenal banyak orang.

Aku sempat berpikir, betapa sederhananya beliau ini. Dia seakan tidak pernah berubah, padahal dia adalah orang besar di negerinya Mimika.

Tidak heran dia sangat dicintai banyak orang, terutama masyarakatnya.

“Anak, selamat siang, ko sudah lama tunggu bapak? Bagaimana kabar?,” ujarnya sembari memberikan tangannya menyalamiku dengan gaya khas salaman orang Amungme.

“Ah bapak selamat siang. Anak juga baru saja tiba. Bapak terlihat tidak berubah sama sekali, masih sama seperti beberapa tahun lalu saat saya ketemu bapak di Kantor YPMAK,” ujarku padanya dan kami kemudian larut dalam banyak perbincangan di siang itu.

Sosok yang ada di depanku ini adalah seorang bapak yang sangat dicintai bukan hanya oleh anak-anaknya namun banyak anak di kabupaten ini.  Ini juga mungkin menjadi alasan pertemuanku dengannya terjadi tepat pada momen Hari Anak Nasional, 23 Juli 2024.

Sosok yang kutemui ini adalah Bapak EMANUEL KEMONG.

Beliau ini adalah seorang pensiunan guru, pemerhati pendidikan di Mimika, mantan Direktur YPMAK dan merupakan salah satu tokoh sentral masyarakat Amungme dan juga seorang bapak bagi ribuan anak-anak di Mimika.

Di atas meja bundar yang ditemani Kopi Amungme Gold yang dibuat salah satu bapak orang Toraja, kami berdua mulai bercerita banyak hal.

Emanuel Kemong adalah anak dari pasangan Adam Kemong (Mimika, Suku Amungme) dan Karla Alom (Ilaga, Suku Dani).

Kedua orangtuanya menikah di Ilaga, Kabupaten Puncak pada 1960 silam.

Ia merupakan anak pertama dari 7 bersaudara (2 laki-laki 5 perempuan).

“Bapak saya orang Amungme, mama saya orang Dani. Bapak dan mama punya 7 anak dan saya anak pertama. Hanya saya yang masih ada, 6 saudaraku yang lain sudah dipanggil pulang oleh Tuhan. Saat mereka hidup, mereka semua juga jadi orang yang berhasil. Saya selalu rindu mereka tapi inilah kehidupan yang harus kita semua jalani,” ungkapnya dengan senyum.

Emanuel Kemong memiliki isteri bernama Sipriana Kula.

Keduanya menikah di Kwamki Lama pada 1992 silam. Dari buah pernikahannya, ia dikaruniai Tuhan 6 orang anak, 2 laki-laki dan 4 anak perempuan.

“Semua sudah selesai sekolah tinggal nona yang bungsu saja. Dari mereka ada yang jadi polisi, pilot juga PNS dan yang satu mau jadi karyawan Freeport tapi masih menunggu panggilan,” ujarnya.

Ia mengisahkan, beberapa puluh tahun orang tuanya tinggal di gunung (wilayah Tembagapura) bersama keluarga besarnya yang lain.

Saat itu, di sana perang terus berkecamuk. Marga Kemong merupakan salah satu marga besar yang juga terkenal dalam kepiawaian berperang.

Perang yang terus terjadi banyak memakan korban, selain itu akses daerah sekitar wilayah Tembagapura yang terisolir membuat kehidupan di sana tidak semudah saat ini.

Karena keadaan tersebut, almarhum Moses Kilangin (toko besar Mimika) bersama beberapa misionaris Gereja Katolik berjalan kaki naik gunung untuk membawa masyarakat di seputaran wilayah Tembagapura dipindahkan ke Agimuga.

“Karena masalah perang saat itu, Bapak Kilangin masuk ke gunung karena situasi tidak aman sehingga beliau dengan misionaris bawa turun bapak dan banyak masyarakat ke Agimuga,” ujarnya.

Pada akhirnya sebagian besar masyarakat Amungme di gunung berhasil dipindahkan ke Agimuga. Walau demikian Adam Kemong ayahnya kala itu tidak ikut menetap di Agimuga. Ia mengikuti dan bekerja untuk para misionaris di Paniai.

“Bapak saya ikut terus pastor-pastor dari Belanda, tinggal di Kabupaten Paniai, Kampung Epouto. Di kampung inilah saya lahir tahun 1964 bersama dua saudara perempuan saya,” ujarnya.

Di Paniai, Adam Kemong diberi pekerjaan merawat sapi (sapi). Ia yang mengurusi semua jenis ternak sapi dan ternak lainnya, milik Gereja Katolik.

Setelah beberapa tahun bekerja sebagai peternak sapi, pada tahun 1968 kedua orangtua Emanuel Kemong memutuskan pindah ke Agimuga. Walau berat untuk melepaskan namun para misionaris akhirnya mengiyakan.

“Bapak saya waktu pindah itu dikasih dua ekor sapi jantan dan betina oleh misioner. Sapi dibawa ke Agimuga dengan pesawat dan diantar dua kali. Di Agimuga bapak piara sapi dan kami semua hidup dari itu. Bapak biasa ramas susu sapi di ember kecil baru mama jual ke masyarakat,” kenangnya.

Berbekal ilmu yang diberikan para misioner dan keuletannya selama bekerja di Paniai, ayahanda Emanuel Kemong mampu menjadi peternak sapi yang cekatan dan unggul. Sapi yang dipeliharanya terus berkembang dan menjadi banyak.

“Bapak saya juga ajak masyarakat untuk sama-sama dengan dia piara sapi. Dari 2 ekor itu berkembang sampai 20-an sapi. Mereka biasa jual susu sapi dan potong daging sapi jual ke para pastor dan suster (misioner) di gereja,” ujarnya.

“Mereka suka beli karena mereka orang barat dan kadang dikirim juga ke Kokonao. Uang itu kemudian dibagi sama-sama dengan masyarakat,” ungkapnya.

Selain sebagai peternak sapi, orangtua Emanuel Kemong juga berkebun.

Bahkan di Agimuga saat itu orang tuanya memiliki kebun kacang tanah yang cukup besar. Hasil kacang itu juga sering dijual dan dikirim hingga ke Kokonao.

(Bersambung……….. part 2)